top of page

MENILIK KONSEP DAN GAYA EDITING DALAM FILM-FILM DJADOEG DJAJAKOESOEMA

Diperbarui: 3 Feb 2021

ABSTRAK


Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memaparkan konsep dan gaya editing dalam film-film karya Djadug Djajakoeseoma.  Latar belakang penulisan ini karena masih sangat sedikit analisis teks film-film dari sutradara di Indonesia.  Metode penelitian kualitatif adalah metode yang dipilih untuk membahas permasalahan ini. Teknik pengumpulan datanya menggunakan studi dokumen dan studi kepustakaan. Teknik analisisnya menggunakan analisis data kualitatif. Sedangkan hasil analisisnya menunjukkan bahwa konsep dan teknik editing yang digunakan oleh Djajakoesoema tidak mengikuti rumus dan pola editing yang digunakan industri film Hollywood.


This paper aims to describe the editing concept and editing style which used in the Djadug Djajakoeseoma’s films. The background of this writing is because there is very little text analysis of the films from the director in Indonesia. Qualitative research method is the method chosen to explore this problem. Data collection techniques use document studies and literature studies, while analytical techniques using qualitative data analysis. The results of the analysis show that the concept and editing techniques used by Djajakoesoema not follow the formulas and editing patterns used in the Hollywood film industry.


Kata-kata kunci : continuity editing, alternatives to continuity editing, teknik editing.


I.  PENDAHULUAN


Bila menyebutkan tokoh perfilman atau pelopor perfilman Indonesia maka yang akan muncul di kepala masyarakat Indonesia adalah Usmar Ismail.  Walaupun nama Djadoeg Djajakoeosoema mungkin hanya segelintir orang yang tahu, akan tetapi sosok beliau sebagai seniman menjadi pengisi ruang yang penting dalam perfilman Indonesia.  Ibaratnya dalam dunia sepakbola Jerman Barat pada tahun 1970-an masyarakat lebih mengenal Franz Beckenbauer dan Gerd Müller, dibandingkan Gunter Netzer.  Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa Gunter Netzer lah yang menyuplai bola kepada Gerd Müller.


Sedari kecil tradisi wayang telah mengakar kuat dalam darah Djadoeg Djajakoesoema. Djadoeg kecil paling senang duduk dekat dalang saat menonton wayang.  Sebisa mungkin beliau tidak melewatkan pertunjukan wayang di wilayah Jawa Tengah. Walaupun sempat dilarang oleh ayahnya karena pertunjukan wayang yang biasanya selesai dini hari (Hoerip, 1995 : 2).  Jadi tidak heran kalau beliau adalah orang fanatik dengan seni tradisi terutama wayang. Nantinya pola-pola dalam wayang itu juga sangat mempengaruhi jukstaposisi dalam film-film beliau.


Satyagraha Hoerip dalam bukunya juga menggambarkan sosoknya yang tidak ingin tampil ke permukaan.  Beliau lebih  senang menjadi manusia di balik layar pertunjukan dan menjadi guru untuk membangun kesenian di Indonesia.  Hal itu terlihat dari keterlibatannya dalam Persatuan Sandiwara Amatir, Maya pada masa pendudukan Jepang (Hoerip, 1995 : 9). Pada masa Revolusi Fisik beliau turut mendirikan kelompok Seniman Merdeka (Hoerip, 1995 : 15) dan ketika di Yogyakarta beliau juga terlibat dalam sandiwara keliling untuk menghibur para pejuang. Selain itu juga mengajar dalam Panti Pegetahuan Film yang menjadi bagian dari Yayasan Stiching Hiburan Mataram. Bahkan beliau tetap mengajar setelah berubah nama  Kino Drama Atelier walaupun pengajarnya tinggal dua orang yaitu beliau sendiri dan sang pimpinan sekolah bernama Dr. Hu Yung (Hoerip, 1995 : 23-24).


Namun untuk berkesenian, seolah beliau adalah sosok yang tak kenal lelah membangun, melahirkan karya dan menjadi pembaharu.  Dalam perjalanan hidup beliau setidaknya ada dua hal besar yang beliau lakukan untuk kesenian Indonesia. Pertama,  revitalisasi seni tradisi Lenong Betawi di mana beliau bersama Soemantri Sastro Suwondho dan S. M. Ardan mencoba menghidupkan lagi kesenian Lenong Betawi dengan sumber daya yang sangat terbatas (Hoerip, 1995 : 69-72).  Selain itu beliau juga melakukan modernisasi terhadap kesenian Wayang Orang.  Beliau menerapkan azas-azas teater modern dalam Wayang Orang. Tidak sedikit tantangan yang menghadang. Beliau tetap terus dengan melakukan perubahan, misalnya terhadap dekorasi panggung. Dekorasi yang biasanya hanya menggunakan backdrop yang dilukis, dirubah menggunakan beberapa properti. Misalnya untuk menggambarkan hutan, diletakkan pohon atau dahan-dahan kayu.


II. PERMASALAHAN


Tenggelamnya nama Djadoeg Djajakoesoema di gelanggang perfilman Indonesia dibanding Usmar Ismail, membuat analisis teks dari film-film yang beliau hasilkan jarang dilakukan.  Dalam tulisan ini penulis membatasi permasalahan hanya pada aspek editing filmnya saja.  Kalaupun ada hal yang lain yang terbahas, nantinya tidak akan jauh keluar dari editing itu sendiri.  Ruang lingkup pembahasannya terdapat pada pertanyaan di bawah ini.     1. Konsep editing dan gaya editing apa yang digunakan Djadoeg Djajakoesoema dalam film-filmnya? 2. Keistimewaan editing seperti apa yang dimiliki dibandingkan film-film Hollywood pada masa itu?


III.  BAHAN DAN METODE


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.  Teknik pengumpulan datanya menggunakan studi dokumen dan studi kepustakaan. Studi dokumen dilakukan dengan menggunakan film-film yang disutradarai oleh Djajakoesoema. Ada tujuh film yang terentang antara tahun 1950 hingga 1970 yang digunakan untuk mengulas kepiawaian Djajakoesoema dalam memoles film-filmnya.  Tujuh film tersebut adalah Harimau Tjampa (1953), Tjambuk Api (1958),  Pak Prawiro (1958), Lahirnja  Gatotkatja (1960), Malin Kundang : Anak Durhaka (1971), dan terakhir Api Dibukit Menoreh : Gugurnya Tohpati (1971).


Studi kepustakaan digunakan untuk menentukan teori-teori editing film yang nantinya digunakan sebagai pisau analisis dari film-film di atas.  Teknik analisisnya menggunakan teknik analisis kualitatif dengan lebih menekankan pada teknik analisis mendalam (in-depth analysis).  Tujuannya bukan megeneralisasi namun lebih ditekankan pada hasil pemahaman penulis secara mendalam pada permasalahannya.


IV.  LANDASAN TEORI


Mengedit film bisa diibaratkan seperti seorang pengarang merangkai kalimat.  Peran editing di dalam film adalah mengoordinasi antara satu shot dengan shot selanjutnya. Koordinasi dalam editing sendiri terdiri atas seleksi, pemotongan, penyambungan dan penyusunan semua shot yang dimiliki.  Bila shot diibaratkan sebagai kata dan scene diibaratkan sebuah kalimat, maka mengedit film dapat  disandingkan dengan perilaku dalam bidang linguistik. Maksudnya adalah bahwa ketika menyusun dan merangkai shot-shot menjadi sebuah scene ibarat sintaksis dalam linguistik. Setiap scene yang dibentuk juga harus memiliki bobot makna seperti dalam semantik di mana setiap kalimat harus memiliki makna.


Aspek editing tidak dapat dilepaskan dari tradisi bentuk dan gaya film Sinema Hollywood Klasik yang menguasai banyak film dunia. Beberapa aspek penting dalam gaya film yang sesuai dengan tradisi Sinema Hollywood diantaranya aspek mise en scene yang menggunakan pendekatan realisme terutama setting, kostum, make up, dan propertinya; juga akting pemain yang alamiah. Dalam aspek sinematografi menggunakan gaya tata cahaya three point lighting; sedangkan dalam editing, landasan teori yang banyak digunakan adalah continuity editing.


Begitu banyak buku tentang produksi film ataupun editing film yang beredar. Akan tetapi belum ada buku yang melakukan pemetaan secara jelas teori editing itu sendiri.  Menurut pengamatan penulis, teori editing terbagi menjadi dua aspek.  Aspek pertama adalah teori editing yang berkaitan dengan seluruh unsur dalam film seperti penceritaan, mise en scene, sinematografi dan penataan suara.  Aspek kedua berkaitan dengan aspek yang lebih aplikatif dan berkaitan langsung dengan tidakan mengedit yaitu menyeleksi, memotong, menyambung dan menyusun shot-shot.


Penulis mengamati bahwa untuk aspek yang pertama dapat digunakan teori editing yang terdapat dalam buku Film Art : Introduction karya David Bordwell dan Kristin Thompson. Buku tersebut secara sistematis memaparkan adanya hubungan antar shot dalam setiap menyambungan yang disebut dengan dimensi editing. Selain dimensi ada konsep editing yang memaparkan aturan yang berlaku ketika membuat shot untuk membentuk scene ataupun sequence yang terbagi menjadi dua menjadi continuity editing dan alternatives to continuity editing.



VI.1.  Dimensi Editing

Dimensi editing dalam paparan Bordwell terbagi menjadi empat dimensi yaitu dimensi grafis, dimensi ritmis, dimensi ruang dan dimensi waktu.   Dimensi Grafis adalah segala hal yang berkaitan dengan titik, garis, ruang, cahaya, warna, dan bentuk.  Dalam pelaksanaannya, kesadaran akan grafis ini harus dimiliki seluruh pembuat film. Sinergi antara sutradara, penata artistik, sinematografer dan penata suara dalam menciptakan shot akan sangat mempertimbangkan kesinambungan grafis (graphical continuity) antara shot satu dengan shot lainnya dalam satu scene. Bila kesinambungan grafis sulit diwujudkan, maka pembuat film akan menggunakan keterpaduan grafis (graphical match) berdasarkan kemiripan serta kedekatan unsur grafisnya.  Bila tidak memungkinkan pembuat film akan membenturkan antara shot satu dengan shot lain (graphical contrast) dengan menggunakan teknik penyambungan tertentu agar penonton tidak terganggu. Dimensi kedua adalah dimensi ritmis di mana ritme sebuah editing sangat ditentukan oleh aspek pergerakan kamera, pergerakan subjek, pembicaraan subjek juga pengaturan type of shot yang sedemikian rupa sehingga penonton nyaman atas runutan shot yang disusun.  Dimensi ketiga adalah dimensi ruang, di mana umumnya pembuat film menyiasati lokasi dan setting menggunakan type of shot dan camera angle untuk menciptakan ruang  yang sesuai dengan cerita. Terakhir adalah dimensi waktu yang terdiri dari real time yaitu waktu sebenarnya dalam satu plot cerita serta film time yaitu waktu yang berajalan dalam film sebagai siasat untuk mendukung cerita.  Film time sendiri terbagi menjadi time ellipsis, time expand dan temporal overlapping (Bordwell dan Thompson, 2008 : 220-231).


VI.2.  Konsep Editing

Bordwell membagi konsep editing menjadi dua continuity editing dan alternatives to continuity editing.  Konsep continuity editing memudahkan penonton untuk memahami ruang dan waktu yang disajikan oleh pembuatnya.  Konsep ini bertujuan untuk menciptakan kesinambungan ruang, gerak dan rasa melalui hubungan antar shot ataupun hubungan antar scene-nya untuk membangun cerita.  Continuity editing terbagi menjadi dua unsur yaitu kesinambungan ruang (spatial continuity) dan kesinambungan waktu (temporal continuity).  Aturan yang diterapkan dalam kesinambungan ruang adalah adanya prinsip 180 derajat, eyeline match, shot/reverse shot, screen direction, cut in, cross cutting dan terakhir match on action.  Aturan yang terakhir adalah yang sangat berhubungan dengan seorang editor. Setiap penyambungan kalau bias dibuat sehalus mungkin agar penonton tidak merasakan adanya potongan.


Aturan kedua dalam kesinambungan waktu (temporal continuity) yang terdiri dari urutan waktu (temporal order) sebagai aturan pertama.  Dalam aturan ini urutan waktu hanya ada linear dan non-linear.  Konsep continuity editing boleh saja menggunakan urutan waktu non-linear asalkan penonton dapat menangkap dengan jelas bahwa peristiwa yang menginterupsi adalah bagian tidak terpisahkan dari plot utamanya.  Kedua, durasi waktu (temporal duration) yang terdiri dari durasi cerita (story duration), durasi plot (plot duration) dan masa putar di layar (screen duration).  Ketiga, frekuensi waktu (temporal frequency) yang merupakan pengulangan secara fisik sebuah adegan atau sebuah shot yang fungsinya mempertegas atau memperkuat plot utama kalau digunakan dalam continuity editing (Bordwell dan Thompson, 2008 : 231-251).


Konsep kedua adalah alternatives to continuity editing.  Apabila ada unsur yang tidak menggunakan atau unsur yang dilanggar dalam aturan continuity editing, maka konsepnya akan berubah menjadi konsep alternatives to continuity editing.  Bordwell membagi dua wujud konsep ini yaitu kemungkinan grafis dan ritmis (possibilities of graphic and rhythmic) serta ketidaksinambungan ruang dan waktu (spatial and temporal discontinuity) yang di dalamnya menggunakan teknik editing jump cut dan non-diegetic insert (Bordwell dan Thompson, 2008 : 251-257).


Apabila dua aspek di atas berhubungan dengan seluruh personil utama dalam pembuatan film, maka pada aspek selanjutnya lebih berhubungan dengan tindakan seorang editor dalam memperlakukan shot-shot yang dimilikinya.



VI.3.  Teknik dan Gaya Penyambungan (Cutting Technique dan Cutting Style)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 1437), teknik dipahami sebagai metode, cara atau system untuk mengerjakan sesuatu. Berarti teknik penyambungan adalah metode dalam melakukan penyambungan. Dalam hal ini ada dua macam teknik penyambungan yaitu cut to cut dan optical effect. Teknik cut to cut sendiri terdiri atas match cut dan cut away.  Sedangkan optical effect terdiri atas fade, dissolve dan wipe.  Sedangkan gaya adalah ragam dalam wujud cara, rupa, bentuk, dan sebagainya yang bersifat khusus.  


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 443) juga menyebutkan bahwa gaya penyambungan berarti cara penyambungan yang memiliki kekhasan. Dalam pembuatan film gaya penyambungan juga terbagi dua menjadi penyambungan yang halus dan tidak disadari oleh penonton (invisible cutting) dan penyambungan yang disadari oleh penonton (visible cutting).



VI.4.  Teknik dan Gaya Editing (Editing Technique dan Editing Style)

Teknik editing adalah metode, cara atau sistem dalam mengedit film. Sedangkan gaya adalah teknik editing yang memiliki kekhasan dan digunakan secara dominan di dalam sebuah film. Teknik editing sendiri banyak ragamnya seperti sequence shot, cutting to continuity, classical cutting, thematic montage, abstract cutting, continuity cutting (Giannetti, 2001 : 136), jump cut, non-diegetic insert dan lain sebagainya. Bila satu teknik editing dominan digunakan dalam sebuah film, maka teknik tersebut tidak lagi disebut teknik editing akan tetapi berubah menjadi gaya editing.


Keempat landasan teori di atas adalah yang akan digunakan dalam membedah dan membahas film-film karya Djadoeg Djajakoesoema. Alasan adalah bahwa keempat teori di atas lebih sistematik dan dapat terjangkau oleh pembuat film ataupun khalayak pemerhati film.


V.  PEMBAHASAN


V.1. Dimensi Editing

Dimensi editing yang paling menonjol dalam beberapa film Djadoeg Djajakoesoema adalah dimensi grafis. Penyebanya adalah bahwa dalam semua film yang menjadi bahan untuk penulisan ini menggunakan teknik day-for-night shooting, yaitu pengambilan gambar dan suara pada siang hari untuk menggambarkan malam hari, biasanya digunakan filter khusus (Giannetti, 2001 : 534). Rata-rata kesinambungan grafisnya terjaga dengan baik.  Akan tetapi Djadoeg Djajakoesoema terlalu nekat untuk memperlihatkan adegan malam dalam wujud siang.  Penataan cahayanya lebih tampak seperti siang hari dari pada malam hari. Yang membedakan antara adegan siang dan adegan malam hanya pada brightness yang sedikit lebih rendah.


Pada adegan banjir dalam film Pak Prawiro dan film Api Dibukit Menoreh : Gugurnya Tohpati perbedaan antara adegan siang dan adegan malam sangatlah tipis, sehingga penonton sulit membedakan bila tidak ada informasi dari dialognya.  Pendapat tentang hal ini pernah diungkapkan dalam surat kabar Harian Kami tertanggal 6 Oktober 1971 yang menyatakan bahwa sinematografer film Api Dibukit Menoreh : Gugurnya Tohpati ini bisa dikatakan tidak baik karena sukar membedakan mana adegan siang dan mana adegan malam. Padahal skenarionya lumayan dan penyutradaraannya tidak buruk (Hoerip, 1995 : 51).


Pada film Malin Kundang : Anak Durhaka terlihat pada adegan ibu dan adik Malin Kundang yang sedang berjalan di luar rumahnya di mana sang adik membawa obor dan adegan pertempuran kedua antara Nahkoda Lengkap dengan bajak laut bernama Nahkoda Hitam. Ketika adegan pertempurannya, brightness cahayanya memang dibuat lebih redup. Akan tetapi ketika ada insert established shot dua kapal yang saling mendekat, brightness-nya lebih tampak seperti siang hari.  Dengan kata lain terdapat graphical contrast pada adegan pertempuran tersebut yang mengganggu kenyamanan penontonya.  Perbedaan brightness yang tipis antara adegan siang dan adegan malam ini juga terdapat secara menyeluruh pada film-film lainnya seperti film Harimau Tjampa dan Tjamboek Api, terutama pada adegan perkelahiannya yang beberapa adegan terjadi pada malam hari.

 

Akan tetapi ada yang menarik pada film Malin Kundang : Anak Durhaka yaitu ketika Malin Kundang dewasa kembali ke kampungnya untuk pertama kalinya. Sang sutradara membiarkan kostum yang penuh warna menyolok dipakai warga kampung maupun awak kapal saat adegan makan bersama di dekat pantai.   Secara grafis tampak sekali perbedaan dengan adegan sebelum dan sesudahnya di mana warna kostumnya cenderung netral. Djajakoesoema seolah menyiratkan pesan bahwa adegan makan bersama itu adalah titik balik seorang Malin Kundang.  Pada adegan sebelumnya, kapal Nahkoda Lengkap berlayar dekat Kampung Muara.  Sang nahkoda mengajak Malin untuk menjenguk ibunya, namun secara mengejutkan Malin mengatakan bahwa ibunya tidaklah penting.


Untuk dimensi yang lain cenderung lebih biasa.  Pada dimensi ritmisnya, pacing adegan lebih ditentukan gerak subjek dibandingkan dibandingkan pada penyambungannya (cutting).  Ritme film terasa cepat atau lambat benar-benar ditentukan oleh gerak subjek.  Bahkan ritme adegannya terkadang terasa tersendat atau patah karena penyambungannya menggunakan visible cutting dengan penyambungan yang kasar. Contohnya pada film Harimau Tjampa ketika adegan perkelahian antara Guru Saleh dengan beberapa anak buah Datuk Langit.


Koeksistensi spasial pada dimensi ruang jarang sekali dibentuk dalam film-film Djadoeg Djajakoesoema.  Tetapi dalam film-filmnya, beliau cukup konsisten dan kreatif dalam mengolah opening sequence (babak pembuka).  Dalam film Harimau Tjampa beberapa established shot suasana pedesaan di Sumatera Barat dengan Rumah Gadangnya dirangkai sedemikian rupa untuk menginformasikan ruang ceritanya (story space).  Dalam film Api Dibukit Menoreh : Gugurnya Tohpati dan Tjamboek Api juga menggunakan rangkaian established shot.  Pada film Api Dibukit Menoreh : Gugurnya Tohpati, mise en scene-nya dua orang yang sedang memacu kuda di daerah perbukitan. Sedangkan pada Tjamboek Api, dikombinasikan secara bergantian beberapa orang yang sedang berlatih tanding bersenjatakan cambuk dengan wilayah perbukitan. Shot-shot tersebut dirangkai untuk memberi informasi tentang ruang cerita serta pengenalan situasi.  Berbeda lagi dalam film Pak Prawiro, penggunaan established shot tetap dijaga tetapi mise en scene-nya cukup aneh yaitu Pramuka yang sedang mengadakan pelatihan di tempat perkemahan.  Padahal hubungan dengan filmnya bahwa Indrasti (Aminah Cendrakasih) adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru yang menyibukan diri dengan melatih Pramuka.  Jukstaposisi opening sequence beberapa filmnya kebanyakan dipadukan (superimposing) dengan judul film dan credit title. Hal ini menyebabkan informasi ruang ceritanya menjadi tidak terlalu terasa.


Terakhir dari hubungan antar shot adalah dimensi waktu. Bentukan real time dalam film-film Djadoeg Djajakoesoema banyak yang sama durasinya dengan durasi di layarnya karena kecenderungan penggunaan long take.  Sedangkan film time yang banyak digunakan dalam enam film di atas adalah time ellipsis. Film time tersebut cenderung digunakan untuk pemilihan plot-plot agar waktunya lebih efisiensi.  Maksudnya, agar plot yang dipilih dapat berfungsi dengan baik dan tidak bertele-tele.



V.2. Teknik dan Gaya Penyambungan

Teknik penyambungan yang banyak digunakan dalam film-film Djajakoesoema adalah cut to cut terutama cut away. Hal ini dapat dimaklumi karena banyak sekali shot yang dibuat dibiarkan sampai suatu aksi (action) selesai.  Hal tersebut dapat dilihat dari adegan-adegan perkelahian pada film Harimau Tjampa dan Tjambuk Api. Sedangkan untuk optical effect penggunaanya lebih formal dan mendasar.  Misalnya fade in digunakan sebagai pembuka film dan fade outfade in digunakan untuk pergantian babak (sequence) dan ini pun tidak banyak.  Dissolve tampak digunakan seperti ala kadarnya.  Dalam film Malin Kundang : Anak Durhaka, saat Malin kecil mulai menjadi awak kapal digunakan dissolve to dissolve yang dikombinasikan dengan cut away untuk menunjukan pergantian waktu yang cepat dan menginformasikan karakter Malin kecil rajin bekerja.


Untuk gaya penyambungannya, film-filmnya banyak menggunakan visible cutting terutama untuk adegan-adegan perkelahian.  Walaupun ada juga penggunaan invisible cutting seperti pada adegan perkelahian antara Lukman dan Biran dalam film Harimau Tjampa, di mana penyambunganya sangat memperhatikan kesinambungan geraknya (match on action).



V.3. Konsep dan Gaya Editing

Film-film Djadoeg Djajakoesoema lebih banyak menggunakan konsepsi editing alternatives to continuity editing.  Dalam peletakan kameranya beliau mengingatkan pada Yasujiro Ozu yang tidak peduli dengan aturan-aturan continuity editing yang sudah sejak lama menjadi tradisi dalam industri film Hollywood. Ada perbedaan yang mendasar antara Ozu dengan Djajakoesoema. Ozu cenderung konsisten menggunakan aturan 360 derajat dan ketidakpeduliannya dengan screen direction dalam semua filmnya. Sedangkan Djajakoesoema lebih tidak konsisten karena beliau punya kecenderungan bahwa bila suatu adegan yang dibuat sudah sampai pesannya maka itu cukup untuk beliau.  Ketidakkonsistenan dalam konsepsi editing inilah yang menjadi ciri beliau.  Salah satu kekuatannya adalah menyutradarai pemain karena dasar teater yang sangat kuat dalam darah beliau.  Adegan-adegan yang dibuat beliau tidak pernah menggunakan satu teknik editing tertentu. Hal ini menyebabkan gaya editing film-filmnya sangatlah sulit ditentukan bahkan untuk satu film. Tentu saja karena tidak adanya teknik editing yang menjadi kekhasan dan dominan.



V.3.1. Adegan Pembicaraan (Dialogue Scene)

Dalam film Pak Prawiro, pada adegan dialog antara Pak Prawiro dengan isterinya yang menyuguhkan susu kambing,  tampak digunakan teknik continuity cutting yaitu yaitu penyambungan yang mencoba mempertahankan keluwesan suatu peristiwa tanpa menunjukkan semuanya secara harfiah (Giannetti, 2001 : 134). Bisa juga diartikan sebagai cara mengedit untuk menjaga aliran peristiwa dalam urutan logis (Oakey, 1983 : 43). Secara decoupage sudah sangat menarik untuk masanya. Shot awal menggunakan choreography shot dari shot gelas lalu kamera track right dengan mengoreksi komposisi untuk menangkap Bu Prawiro mengantarkan susu kambing yang sudah direbusnya dan berhenti saat Pak Prawiro akan menyucup susu di gelas. Shot-shot selanjutnya adalah shot/reverse shot dengan ritme yang konstan. Teknik yang sama juga digunakan dalam film Api di Bukit Menoreh : Gugurnya Tohpati yaitu ketika Sedayu baru sampai di Sangkal Putung dan menyampaikan pesan dari kakaknya, Untoro.  Setelah itu terjadi perbincangan strategi untuk menghadapi Tohpati dan pasukannya. Shot yang dibuat lebih banyak  three shot atau group shot, kecuali ketika perbincangan mengarah kepada Sedayu, maka shot-nya dibuat close up Sedayu yang sedang menunduk.  Hal ini tampak sekali bahwa Sedayu adalah tokoh penting walaupun sangat rendah hati.


Dalam adegan dialog yang lain, digunakan teknik sequence shot yaitu sebuah shot yang berdurasi panjang dan biasanya melibatkan gerak subjek dan/atau  gerak kamera yang umumnya dibuat untuk menghilangkan keharusan melakukan penyambungan shot yang lebih padat, terutama ketika aksi tokoh sangat menuntut keterlibatan yang intens dari penonton (Oakey, 1983 : 158). Contohnya dalam film ketika adegan Api di Bukit Menoreh : Gugurnya Tohpati yaitu pada adegan Mirah mengajak Sedayu dan Sidanti pergi ke pasar. Sidanti yang cemburu kepada Sedayu menyerang dengan kata-kata yang keras mengajak untuk berkelahi. Type of shot yang digunakan adalah three shot antara Sidanti dan Sedayu yang berhadapan dengan Mirah. Teknik sequence shot digunakan tanpa sekalipun ada insert shot dan penekanan dramatik lebih menggunakan intonasi dan artikulasi dialog tokoh Sidanti.  Begitu pula adegan Malin Kundang yang mulai serakah ketika di dalam gua harta karun dalam film Malin Kundang : Anak Durhaka, sebelum membunuhi orang-orang yang akan menjadi penghalangnya ada dialog panjang yang dibiarkan menjadi seperti dalam adegan pada panggung teater.  Hal ini wajar karena para pemainnya banyak yang sudah matang di panggung teater.



V.3.2. Adegan Perkelahian (Fighting Scene)

Contoh paling jelas ketidakkonsistenan penggunaan teknik editing adegan perkelahian yaitu dalam film Harimau Tjampa.  Setidaknya ada tiga teknik editing yang beliau gunakan. Pertama,  saat Guru Saleh dikeroyok beberapa anak buah Datuk Langit, teknik editing yang digunakan adalah dynamic cutting yaitu teknik editing yang materi shot-nya dikontraskan sedemikian rupa untuk memberikan ekspresi yang signifikan (Katz, 1990 : 371). Ritmenya seperti sengaja dibuat patah atau tersendat karena penyambungan antar shot-nya yang kasar.

Kedua, ketika Lukman mulai menguasai jurus silat dan melakukan latih tanding, beliau menggunakan teknik sequence shot. Lebih unik teknik ini ketika digunakan dalam film Lahirnja Gatotkatja karena menjadikan adegannya lebih mirip pertunjukan wayang orang. Namun tetap memiliki perbedaan karena blocking dan gesture pemainnya menggunakan pendekatan yang alamiah. Artinya tidak seperti wayang orang yang lebih cenderung menggunakan gerak berwujud tarian.   Ketiga, perkelahian antara Lukman dan Biran setelah mereka berjudi, teknik editing yang digunakan adalah continuity cutting


Berbeda lagi dalam film Api di Bukit Menoreh : Gugurnya Tohpati di mana pada adegan perkelahian awal antara beberapa orang dari laskar Jipang dengan Untoro, Djajakoesoema menggunakan teknik intercut yaitu teknik editing dimana dua atau lebih peristiwanya disambung secara berselang-seling secara bergantian dan sering menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terkait satu sama lain (Phillips, 2009 : 678). Pada adegan tersebut penyambungannya dilakukan secara berselang-seling antara perkelahian Untoro dengan tentara Jipang dan Sedayu yang ketakutan sambil memegangi kekang kuda.  Teknik ini juga digunakan dalam Malin Kundang : Anak Durhaka pada adegan perkelahian terakhir ketika Malin menolak ibunya, adegan perkelahian antara Mualim Dunia dengan awak kapal Malin Kundang disambung secara berselang-seling secara bergantian dengan adegan Malin yang melarikan diri bersama isteri dan beberapa awak kapalnya yang lain.  



V.3.3. Sisipan Komedi

Sepintas film-film Djadoeg Djajakoesoema akan selalu dianggap serius.  Akan tetapi bila diperhatikan lebih teliti, beliau terkadang menyelipkan unsur komedi yang tidak terduga.  Dalam film Tjamboek Api pada adegan perkelahian di warung antara dua pemuda dengan Nurman yang dianggap antek  Suro, Djajakoesoema menyisipkan unsur komedi. Tekniknya menggunakan dynamic cutting dan pada adegan itu dua kali beliau melakukannya.  Pemuda 1 tersungkur ke lantai karena Nurman menghindari pukulannya kemudian disusul oleh Pemuda 2.  Pemuda 1 mengira bahwa Pemuda 2 itu adalah Nurman, seketika itu juga langsung memukul. Sadar kalau salah memukul orang, Pemuda 1 langsung menghentikan pukulannya dan mereka berdua melihat menoleh ke arah Nurman yang siap menyerang. Dua pemuda itu akhirnya mengeroyok Nurman dan terjadi pergumulan di lantai. Posisi Nurman ada di bawah dan sedang dicekik oleh Pemuda 1.  Anehnya Pemuda 2 justru mencekik Pemuda 1, bukan membatu kawannya mencekik Nurman.  Sejenak kemudian ia baru sadar kalau yang dicekik adalah kawannya.

Film Pak Prawiro yang memang benuansa komedi tidak luput adanya kejutan dari Djajakoesoema.  Pada adegan ketika seorang nenek hampir pingsan karena ketakutan merasa kepalanya dipegang oleh setan yang sebenarnya tangan Pak Prawiro.  Nenek tersebut lari ke dapur lalu dipegangi oleh beberapa ibu. Sang nenek ditawari untuk minum teh, akan tetapi menolak dan malah meminta kopi sebelum jatuh pingsan.  Walaupun teknik editingnya menggunakan sequence shot namun cletukan-nya yang meminta kopi dari pada teh tetap lucu karena kekuatan akting pemainnya.


Masih dari film Pak Prawiro, Djajakoesoema menggunakan teknik editing thematic montage yang disambungnya tanpa jeda pada adegan di kereta api.   Seorang ibu muda dianggap Pak Prawiro tidak memiliki kesantunan karena pura-pura sakit dan tidak memberikan tempat duduk untuknya.  Tiba-tiba saja Pak Prawiro nembang sebuah lagu berbahasa Jawa dan sang ibu tetap tidak peduli walaupun ditertawakan oleh orang-orang di sekitarnya. Tiba-tiba saja karakter ibu muda itu disambung menggunakan dissolve menjadi sosok Sembodro, sedangkan Pak Prawiro sendiri berubah kostum dan make up-nya menjadi tokoh Burisrowo. Adegan Pak Prawiro menyanyi diakhiri oleh dengan menakuti dengan tingkah seperti buto (rakasasa) dan ibu muda itu akhirnya meninggalkan tempat duduknya.



V.3.3. Sisipan Musikal

Selain dalam film Pak Prawiro pada adegan Burisrowo dan Sembodro, Djajakoesoema juga memberi kejutan dalam film Tjamboek Api, dengan adanya adegan musikal. Menggunakan iringan musik dalam dimensi suara non-diegetic sound.  Pertama, Ketika Marni bernyanyi bersama anak-anak yang memgang angklung. Kedua,  ketika Kasan mengairi ladang singkongnya dengan ember berpengungkit.  Awalnya Kasan menyanyi sendiri dan akhirnya datang Marni yang akhirnya dua sejoli tersebut menyanyi bersama.

Sedikit berbeda dengan yang di atas, pada film Harimau Tjampa beliau menggunakan lagu pengantar pada setiap awal adegan. Terutama setiap berganti babaknya (sequence).  


V.3.4. Wayang Orang dan Pertunjukan Ketoprak Modern

Sequence shot merupakan teknik editing yang cukup banyak digunakan dalam film Lahrinja Gatotkatja.  Uniknya dengan teknik tersebut, Djajakoesoema memberi nuansa musik gamelan secara konsisten dari awal hingga akhir.   Akhirnya film tersebut terasa seperti pertunjukan Wayang Orang dengan gerak subjek yang alamiah.

Tidak sampai di situ, film Pak Prawiro juga diperlakukan sama dengan film Lahirja Gatotkatja.  Juga menggunakan alunan musik gamelan yang ada hampir di setiap adegan.  Film ini akhirnya seperti memindahkan pertunjukan Ketoprak ke dalam layar perak


V. Kesimpulan

Film-film Djadoeg Djajakoesoema sepintas seolah-olah tidak memiliki keistimewaan. Memang terasa dari teknik editing yang digunakannya,  di mana beliau tidak pernah menggunakannya secara konsisten.  Akan tetapi ketidakkonsistenan inilah yang justru menjadi kelebihan beliau karena dengan hal tersebut beliau menjadi sangat bebas dalam berkreasi. Wujud Wayang Orang modern dalam film Lahirnja Gatotkatja; wujud Ketoprak modern dalam film Pak Prawiro; sisipan komedi dalam film Tjamboek Api dan Pak Prawiro; sisipan musikal dalam Tjamboek Api dan masih banyak yang lainnya adalah bukti keratifitas beliau yang tak kenal batas dan membuat film-film beliau sebenarnya istimewa.


VII. Daftar Pustaka


Bordwell, David dan Thompson, Kristin, Film Art : An Introduction, (New York, McGraw-Hill : 2008)


Giannetti, Louis, Understanding Movies, Edisi Kesembilan, (New Jersey, Prentice Hall : 2001)


Hoerip, Stayagraha, Dua Dunia Djadoeg Djajakoesoema, (Jakarta, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta : 1995)


Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa - Departemen Pendidikan Nasional : 2008).


Katz, Ephraim, The Film Encyclopedia, (New York, Harper and Row Publisher : 1990).


Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosda Karya : 2007).


Oakey, Virginia, Dictionary of Film and Television Terms, (New York, Barnes and Noble Books : 1983)


Phillips, William H., Film : An Introduction, (Hampshire, Palgrave MacMillan : 2009)





Catatan:


Tulisan ini dimuat dalam buku berjudul D. Djajakusuma : Memandang Film dan Seni Tradisi pada halaman 127-147. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan yang diterbitkan oleh IKJ Press dan FFTV-IKJ Press dalam rangka Dies Natalis Institut Kesenian Jakarta ke-48 tahun.

16 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page