top of page

ANALISIS HERMENEUTIKA FILM DOKUMENTER "SHORT CUT"

ABSTRAK

Film Short Cut terasa biasa saja sebagai film dengan tipe observational documentary. Film ini bercerita tentang kelihaian seorang barber yang sedang memotong rambut seorang perempuan. Keunikannya adalah bahwa barber tersebut bertato dan bertindik. Metode penelitian yang akan digunakan dalam pengamatan ini metode penelitian kualitatif. Sumber datanya adalah film Short Cut yang disutradarai oleh Luigi Rizzo. Teknik pengumpulan datanya menggunakan studi kepustakaan dan dokumen, sedangkan analisis datanya menggunakan analisis hermeneutika radikal dari Jacques Derrida. Penggunaan teori tersebut menegaskan untuk tidak menilai seseorang dari penampilannya. Karena barber itu sangat piawai dalam menjalankan profesinya ketika mencukur rambut seorang perempuan. Selain itu, juga terungkap bahwa sang barber memiliki profesi lain.


Kata Kunci: observational documentary, barber, hermeneutika radikal




I. PENDAHULUAN

Short Cut merupakan film dokumenter dengan durasi sekitar 2 menit 37 detik. Film tersebut disutradarai oleh Luigi Rizzo yang menceritakan seorang barber (pencukur rambut) dengan penampilan yang nyentrik dan urakan. Barber tersebut mengenakan kemeja dengan motif kotak-kotak kecil yang bagian lengannya digulung setengah. Selain itu, beberapa bagian tubuhnya terdapat piercing serta tato yang bergambar tokoh kartun, burung hantu, dan kapal.



Gambar 1. Barber, Sumber: potongan adengan film Short Cut.
Gambar 2. Pelanggan Perempuan, Sumber: potongan adengan film Short Cut.










Luigi Rizzo sebagai sutradara memperlihatkan secara detail keterampilan barber dalam memotong rambut. Beberapa kali sinematografernya memperlihatkan detail-detail gambar untuk menunjukkan keahliannya dalam mencukur rambut. Tidak seperti biasanya, film ini adalah tidak menggunakan wawancara, narasi (voice-over commentary), dan intertitle. Tampak sekali bahwa penekanannya adalah menghadirkan peristiwa sebagai representasi langsung dari kehidupan manusia. Tentu saja hal itu sah saja sebagai sebuah karya film.Bila dilihat dalam kehidupan sehari-hari, barber yang memotong rambut seorang perempuan umumnya berjenis kelamin perempuan. Bila barber-nya seorang laki-laki, biasanya memiliki sifat lembut perempuan yang kental. Bahkan pada beberapa salon kecantikan, barber-nya adalah transgender. Hal-hal di atas sudah menjadi stereotip di masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah bagaimana pembuat film menunjukkan berbagai aspek di balik segala sesuatu yang terlihat dan terdengar di dalam film Short Cut tanpa kehilangan aspek estetikanya?



II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan dalam pengamatan ini. Sumber datanya adalah film berjudul Short Cut yang didapatkan dari media daring YouTube. Teknik pengumpulan datanya akan menggunakan studi dokumen dan studi kepustakaan. Data-data tersebut akan dikumpulkan melalui tinjauan literatur-literatur pada masa sekarang. Sementara, teori yang digunakan untuk analisis adalah teori hermeneutika dari Jacques Derrida. Hal tersebut bertujuan untuk membuka maksud dan makna yang terkandung di dalam film tersebut.



III. TINJAUAN TEORI

Untuk membahas film Short Cut, penulis pastinya membutuhkan teori sebagai pisau analisisnya. Selain untuk meletakan objek penelitiannya agar dapat dipetakan dengan jelas, juga untuk membedahnya. Untuk membedah film ini, penulis menggunakan teori hermeneutika radikal dari Jacques Derrida. Sementara, untuk memetakan estetika filmnya akan dibantu dengan teori yang dikemukakan oleh David Bordwell, Kristin Thompson, dan Jeff Smith. Teori estetika ini tertuang dalam buku Film Art: An Introduction. Selain itu, juga ada beberapa teori yang berkaitan dengan film dokumenter.



Teori Hermeneutika Jacques Derrida

Dalam buku Seni Memahami, F. Budi Hardiman mengakui telah memaksakan teori dekonstruksi Derrida sebagai bagian dari hermeneutika. Alasannya adalah bahwa dekonstruksi juga menjadi salah satu cara dalam membaca teks. Karena rumitnya penjelasan tentang dekonstruksi, maka Hardiman meminjam penjelasan Martin McQuillan untuk membantunya menjelaskan teori tersebut.


McQuillan menemukan bahwa dekonstruksi adalah sebentuk interpretasi teks, tetapi interpretasi itu tidak sama dengan yang sudah banyak dipahami orang selama ini. Dekonstruksi merupakan interpretasi teks secara radikal dan dapat disebut “hermeneutika radikal”. Menurut McQuillan ada lima strategi untuk memahami dekonstruksi.


Pertama, kata “cara” atau “metode” sebenarnya tidak tepat untuk dekonstruksi. Derrida telah menyebutkan “pas de methode” atau tidak ada metode. Kedua, dekonstruksi berkaitan dengan kontaminasi oposisi biner atau pasangan makna yang berlawanan. Contohnya adalah pria-wanita, kultur-natur, maskulin-feminin dan lain-lain. Kemudian oposisi biner itu menjadi wanita-pria. Dekonstruksi menempuh dua tahap oposisi biner yang kemudian harus dibalikkan. Contoh-contoh di atas tadi kemudian setelah dibalik menjadi wanita-pria, natur-kultur, dan feminin-maskulin. Setelah dibalik, seluruh sistem pemikiran yang didikte oposisi biner itu harus disingkirkan, sehingga istilah-istilah dalam oposisi biner itu dipikirkan tanpa pemikiran biner lagi (Hardiman 278-279).


Ketiga, dekonstruksi tertarik dengan hal-hal yang terpinggirkan. Dalam oposisi-oposisi biner, seperti pria/wanita dan rasional/emosional ada istilah yang berada di pusat dan ada yang di pinggiran atau marjinal. Dekonstruksi tertarik dengan yang marjinal, misalnya wanita, emosional, terbelakang, dll. Hal tersebut bukan untuk membela mereka, tetapi untuk membiarkan bahwa marjinalisasi — dan juga sentralisasi — menjadi proses yang tidak konsisten dengan dirinya sendiri (Hardiman 270-280).


Keempat, dekonstruksi selalu berkaitan dengan sejarah. Artinya, dekonstruksi berciri historis, tetapi ciri tersebut tanpa sejarah. Konsep-konsep kesejarahannya tidak menginduk ke masa lalu, tetapi membiarkan hal-hal tersebut terkait dengan masa lalunya. Setiap istilah memiliki sejarahnya sendiri dan sudah diperlihatkan bahwa istilah-istilah yang diunggulkan juga tidak stabil, karena memiliki jaringan dengan hal-hal lain. Misalnya istilah subjek yang memiliki perbedaan pemahaman dalam teologi Yahudi dan Kristiani, Rene Descartes dengan cogito-nya, dan juga menurut Sigmund Freud atau Jacques Lacan (Hardiman 281).


Kelima, tidak ada yang bebas teks karena dekonstruksi tidak membedakan antara teks dan konteks. Semua yang dianggap konteks sebenarnya berada di dalam teks dan dapat diakses langsung. Dalam pembacaan dekonstruktif makna teks mengacu pada rangkaian jejak-jejak, yaitu konteks-konteks di dalam teks itu yang memberi teks itu makna (Hardiman 281-282).


Dekonstruksi berbeda dengan hermeneutika normal karena mengandaikan tiadanya makna asli sebuah teks dan juga ketidakmungkinan keutuhan makna teks. Oleh karena itu, sebuah teks dapat diinterpretasi sampai tidak terhingga dan karena itu pula dekonstruksi disebut hermeneutika radikal (Hardiman 285).


Menurut Derrida, makna dalam hermeneutika radikal selalu ditangguhkan dengan munculnya kemungkinan- kemungkinan makna lain. Oleh karena itu, tindakan memahami juga tidak pernah dipastikan, karena memahami itu sendiri merupakan kegiatan penangguhan. Hermeneutika radikal membiarkan makna tidak pernah definitif. Pertanyaan, “apakah makna teks dipahami?” akan dijawab dengan provokasi bahwa teks itu dipahami sekaligus tidak pernah dipahami. Karena cara-cara baca lain akan menangguhkan klaim pemahaman yang telah dicapai (Hardiman 306)



Teori Estetika Film

Estetika film dalam jurnal ini menggunakan teori yang ada dalam buku Film Art: An Introduction. Buku ini ditulis oleh David Bordwell, Kristin Thompson, dan Jeff Smith yang lebih mengarah pada teori produksi film. Ada beberapa aspek yang coba dipetakan oleh mereka dengan menyebutnya sebagai tipe, jenis, bentuk, dan gaya film.



A. Tipe Film

Pada klasifikasi ini, mereka melihat bahwa film bisa dikelompokan berdasarkan sumber ide atau cara menuangkan idenya. Penggunaan sumber ide secara imajinasi disebut film fiksi, sedangkan sumber ide yang berasal dari fakta disebut sebagai film dokumenter. Sementara, tipe film lain adalah film animasi yang cara menuangkan idenya dengan membuat benda mati atau tidak bergerak menjadi seolah-olah hidup. Pengambilan gambarnya dilakukan secara frame by frame dan teknik ini sekarang disebut stop motion (Bordwell et al. 389). Beberapa contoh film animasi adalah film Antz (1998) karya Eric Darnell dan Tim Johnson; Kung Fu Panda (2008) karya John Stevenson dan Mark Osborne; atau seri kartun seperti Scooby-Doo, Where Are You!, Shaun the Sheep, The Flintstones, Si Unyil, Muppet Show, dan sebagainya. Tipe film terakhir adalah film eksperimental atau sering juga disebut avant-garde film. Banyak alasan mengapa film eksperimental dibuat, misalnya ingin mengungkapkan pengalaman pribadi atau sudut pandang tertentu dengan cara tertentu yang eksentrik. Oleh karena itu, tipe ini sering tidak berkompromi dengan pasar seperti film-film fiksi (Bordwell et al. 371). Film eksperimental juga sering melawan tren film-film konvensional dan tidak berusaha ke arus utama (mainstream) atau distribusi tradisional. Para pembuat film ini seringkali mendorong media film agar dapat menjelajahi banyak kemungkinan. Kebanyakan film tipe ini dibuat dengan biaya rendah dengan durasi pendek, walaupun ada yang berdurasi panjang. Beberapa contoh dari film eksperimental adalah film Lichtspiel: Opus I (1921) dan Lichtspiel: Opus II (1922) karya Walter Ruttmann; Rhythmus 21 (1921) dan Rhythmus 23 (1923) karya Hans Richter; serta Desistfilm (1954) dan Mothlight (1963) karya Stan Brakhage.



B. Jenis Film

Klasifikasi kedua adalah jenis film yang di dalam dunia perfilman dikenal dengan genre. Kata yang dari bahasa Perancis ini terkait dengan kata genus dalam ilmu Biologi yang merupakan klasifikasi terhadap tumbuhan dan hewan. Beberapa genre film pada film fiksi adalah film melodrama, komedi, western, detektif, gangster, adventure, road movie, horor, fiksi ilmiah (science fiction), musikal, dan sebagainya (Bordwell et al. 329). Industri film Hollywood adalah yang mengawali munculnya genre dalam film fiksi, karena menyadari bahwa setiap orang memiliki selera filmnya masing-masing.


David Bordwell dan kawan-kawannya mencoba membuat klasifikasi terhadap genre film dokumenter, meskipun tidak mendetail. Genre tersebut menurut mereka terdiri dari film kompilasi, film wawancara (talking-head film), direct cinema, cinéma-vérité, film alam (nature), film potret, atau penggabungan beberapa genre tersebut (356-357). Genre yang dikemukakan di atas terkesan membingungkan, karena mencampuradukkan antara klasifikasi jenis dengan gaya pembuatannya.


Ada beberapa teoritisi yang mencoba mengklasifikasikan sebagai genre, misalnya Patricia Aufderheide dalam buku Documentary Film: A Very Short Introduction serta Dave Monahan dan Richard Barsam dalam buku Looking at Movies: An Introduction to Film. Genre film dokumenter oleh Patricia Aufderheide dibagi enam dengan tinjauan representasi realitas subjeknya. Genre tersebut adalah public affair, propaganda pemerintah, advokasi, sejarah, etnografi, dan alam (56-117). Sementara, Dave Monahan dan Richard Barsam membagi genre menjadi empat dari perspektif maksud pembuatannya. Genre tersebut adalah faktual, instruksional, persuasif, dan propaganda (62-63).


Bagaimanapun, genre dalam film dokumenter belum menjadi kesepakatan secara umum di dunia film. Klasifikasi yang mulai banyak digunakan adalah papark Bill Nichols yang menggunakan istilah moda film dokumenter. Klasifikasinya adalah poetic documentary, expository documentary, observational documentary, participatory documentary, reflexive documentary, dan performative documentary (Buckland, 153-176). Klasifikasi ini lebih banyak disepakati oleh pembuat film dengan menyebutnya sebagai gaya dokumenter.


Poetic documentary adalah cara merepresentasikan realitas melalui rangkaian fragmen; menggunakan impresi yang subjektif; aksi yang tidak koheren; dan asosiasi yang longgar. Moda ini menekankan suasana hati, ritme, dan pengaruh yang lebih dari sekadar menampilkan pengetahuan atau tindakan persuasi. Moda ini tidak menggunakan pendekatan continuity editing serta tidak menampilkan setting waktu dan tempat yang sangat spesifik. Penonton mengikuti alurnya untuk mengeksplorasi asosiasi dan pola yang melibatkan ritme temporal dan jukstaposisi shot (Nichols, 102).


Moda kedua adalah expository documentary yang menekankan ciri khasnya pada voice-over commentary yang dikombinasikan dengan rangkaian shot dan bertujuan agar lebih deskriptif serta informatif. Voice-over commentary berisi serangkaian fakta atau argumen yang memberi informasi abstrak, terutama karena tidak dapat dilakukan oleh gambar. Voice-over commentary juga bisa memberi komentar terhadap aksi atau peristiwa dalam gambar yang tidak dipahami penonton (Buckland 156).


Observational documentary merupakan film yang tidak ada campur tangan pembuatnya dalam peristiwa yang sedang dibuat. Moda ini dikenal dengan Direct Cinema yang tidak menggunakan voice-over commentary, intertitle, dan wawancara. Penekanannya lebih menghadirkan potongan kehidupan atau representasi langsung dari peristiwa dalam kehidupan. Tujuannya adalah untuk sekadar mengamati peristiwa yang sedang berlangsung. Alasan penekanannya adalah perekaman peristiwa dalam waktu yang sebenarnya (real time) (Buckland 161-162).


Participatory documentary menuntun penonton saat menyaksikan ‘sejarah dunia’ yang diwakili oleh seseorang. Pembuat film masuk ke dalam frame dan menjadi aktor sosial serta mengkonfigurasi secara argumentatif peristiwanya (Nichols, 116). Kehadiran pembuat film lebih menonjol dibandingkan dengan tiga moda sebelumnya, karena pembuat film berinteraksi langsung dengan orang atau peristiwa yang sedang diangkat. Konten dalam participatory documentary umumnya didasarkan padawawancara yang bertujuan agar memperoleh komentar menarik atau tanggapan khusus dari orang-orang yang difilmkan. Pembuat film dapat menyandingkan atau membandingkan antara satu opini dengan opini lain kepada penonton, sehingga dapat memberi penawaran sudut pandang yang seimbang (Buckland 163-164).


Reflexive documentary memiliki ciri yaitu pembuat filmnya mencoba menantang pembuatan film dokumenter sebagai sarana dalam mengungkapkan kebenaran. Moda ini menunjukkan cara pembuatan film dan tidak hanya berpura-pura menghadirkan potongan realitas. Artinya, proses pembuatan film merupakan fokus atau perhatian utama dibanding peristiwanya. Ketika kehadiran pembuat film diketahui penonton dalam participatory documentary, maka reflexive documentary menunjukkan bahwa proses pembuatan filmnya diketahui oleh penonton (Buckland 169-170)


Moda terakhir adalah performative documentary yang berbeda cara menangkap dunianya seperti bentuk dokumenter lainnya. Moda ini berstatus paradoks, karena bertujuan mewakili dunia secara tidak langsung. Performative documentary memunculkan suasana (mood) secara tradisional yang ditemukan dalam film fiksi. Tujuannya adalah untuk menyajikan fakta di dalam filmnya secara subjektif, ekspresif, bergaya, menggugah, dan mendalam (Buckland 171-172).



C. Bentuk dan Gaya Film (Film Form and Style)

Klasifikasi ini merupakan satu kesatuan yang dianggap sebagai teori estetika dari David Bordwell dan kawan-kawannya, yaitu bentuk film (film form) dan gaya film (film style). Bentuk film (film form) berkaitan dengan aspek-aspek penceritaan atau naratif. Sementara, gaya film (film style) berkaitan dengan aspek-aspek teknis film yang digunakan secara sistematis.



a. Bentuk Film (Film Form)

Bordwell dan kawan-kawannya menyatakan bahwa bentuk film terbagi menjadi dua, yaitu bentuk naratif dan non naratif serta memiliki komponen cerita, plot, subjek atau tokoh, ruang, waktu, dan struktur dramatik. Bentuk naratif diartikan sebagai rangkaian peristiwa di dalam film yang dihubungkan oleh kausalitas (sebab-akibat) serta terjadi di dalam ruang dan waktu (73). Sementara, bentuk non naratif adalah film yang peristiwanya tidak selalu memiliki hubungan dengan sebab-akibat; belum tentu menggunakan tokoh sentral; atau tidak menggunakan ruang dan waktu yang jelas. Dalam film dokumenter, bentuk non naratif diklasifikasikan menjadi categorical form dan rhetorical form. Categorical form adalah ketika pembuat film menggunakan bentuk kategorisasi yang cenderung menggunakan pola pengembangan cerita yang sederhana. Kategorisasinya bisa dari permasalahan kecil ke besar, lokal ke nasional, atau pribadi ke publik (Bordwell et al. 358). Rhetorical form menyajikan argumen yang eksplisit dan persuasif yang bertujuan untuk membujuk penonton agar setuju dengan opini yang disajikan. Penonton bisa setuju dan bertindak berdasarkan opini tersebut ataupun sebaliknya (Bordwell et al. 364).



b. Gaya Film (Film Style)

Terdapat dua teknik dalam pengaturan pengambilan gambar saat membuat shot, yaitu mise-en-scène dan sinematografi. Kemudian ada editing yang merupakan pertimbangan teknik ketika menyusun satu shot  ke shot selanjutnya. Selain itu, terdapat peran suara dalam kaitannya dengan shot  yang menjadi pertimbangan oleh pembuat film (Bordwell et al. 111).



Mise-en-Scène

Mise-en-scène  diambil dari terminologi teater Perancis yang berarti staging on action atau menempatkan aksi di atas panggung. Hal tersebut mengacu pada penataan elemen-elemen visual yang terdapat di dalam frame atau layar (Giannetti 47). Dari semua teknik film, mise-en-scène merupakan aspek yang sangat diperhatikan penonton (Bordwell et al. 112). Contohnya penonton yang terpengaruh dengan gaya rambut tokoh Molly Jensen dalam film Ghost (1991) karya Jerry Zucker. Penonton juga akan mengingat papan skateboard Marty McFly yang digunakan untuk melarikan diri dari perundung di sekolahnya dalam film Back to the Future (1985) karya Robert Zemeckis. Mise-en-scène memiliki komponen sebagai sarana pilihan dan kontrol, yaitu setting dan properti; kostum dan makeup; staging; dan lighting. Staging mencakup akting para pemain dan juga gerak saat pengambilan gambar (Bordwell et al. 115).


● Sinematografi

Sinematografi merupakan proses pengambilan gambar yang bergerak (Hall 1). Secara harfiah dapat diartikan melukis gerak dengan cahaya, tetapi menurut Blain Brown bisa juga dipahami sebagai proses menulis gerakan dengan cahaya. Prosesnya lebih dari proses fotografi belaka, karena juga harus mengambil ide, kata, aksi, emosi, nada (tone), dan semua bentuk komunikasi nonverbal lainnya. Setelah itu diterjemahkan ke dalam bentuk visual. Sementara, teknik sinematografi merupakan keseluruhan metode dan teknik yang digunakan sinematografer untuk menambahkan lapisan makna dan subteks dari konten film, baik permainan aktor, setting, dialog, dan lain-lain (2). Sinematografer akan bekerja sama dengan sutradara ketika membentuk mood dan dari film. Mood bisa diibaratkan sebagai tujuan dari pencapaian aspek visual yang wujud bisa berupa rasa, suasana, atau nuansa. Sementara, look merupakan instrumen dalam mewujudkan mood yang terdiri dari  framing, camera placement, lighting, tonalitas, dan komposisi visual.


Framing

Framing  menurut Dave Monahan dan Richard Barsam adalah proses ketika seorang sinematografer menentukan segala sesuatu yang akan muncul di batas frame  pada sebuah shot (429) Wujudnya berupa batas berbentuk persegi panjang yang terjadi karena lensa kamera. Pembuat film bisa menentukan lebar dari persegi panjang itu (Bordwell et al. 181). Framing terdiri dari beberapa aspek, yaitu aspect ratio, type of shot, dan camera angle. Aspect ratio merupakan perbandingan antara tinggi dan lebar layar atau frame (Monahan & Barsam 425). Dalam dunia film dan televisi terdapat beberapa macam wujudnya, yaitu 1.33:1 atau 1.375:1 (Academy Standard); 1.66:1 (Europe Widescreen Standard); 1.85:1 (American Widescreen Standard); 2.35:1 sampai dengan 2.45:1 (CinemaScope) (Bordwell et al. 181). Sementara pada penyiaran televisi terdapat 4:3 yang disebut Standard Definition Television dan 16:9 yang dikenal dengan High Definition Television  (Zettl 108). American Widescreen Standard merupakan aspect ratio yang banyak digunakan sebagai standar film komersial.


Framing juga bisa membuat penonton merasa jauh atau dekat dengan subjek yang dilihat. Aspek framing  ini sering disebut type of shot yang ukurannya skala tubuh manusia dalam suatu shot. Lanskap atau pemandangan kota dari atas biasanya diambil menggunakan extreme long shot. Ketika tokoh dalam film sudah terlihat, namun lanskap sebagai latar belakangnya tetap mendominasi. Setelah itu, ketika pengambilan gambar seseorang dimulai dari lutut sampai kepala, maka framing ini disebut medium long shot  atau knee shot. Sementara medium shot  adalah framing tokoh dari pinggang sampai kepala, sehingga gestur dan ekspresinya lebih tampak. Ukuran shot dari dada ke atas sampai kepala disebut medium close-up, sedangkan close-up hanya menampilkan bagian kepala, kaki, tangan, atau objek kecil. Tujuannya untuk penekanan ekspresi wajah, detail isyarat, atau objek penting. Ukuran terakhir adalah extreme close-up  yang mengisolasi sebagian wajah dengan memperbesar objek (Bordwell et al. 189).


Saat pembuat film melakukan framing yang berhubungan dengan sudut tertentu pada subjek, hal itu disebut camera angle. Macam-macamnya adalah eye level, high angle, dan low angle. Eye level   adalah camera angle yang posisi lensa kameranya sejajar dengan mata tokoh. High angle merupakan camera angle yang posisi lensa kameranya di atas mata tokoh. Sementara, low angle  adalah camera angle  yang posisi lensa kameranya di bawah dengan mata tokoh. Ada beberapa camera angle khusus yang digunakan oleh pembuat film, yaitu  top angle, bird eye view, frog eye view,  dan dutch angle. Top angle dan bird eye view adalah camera angle yang posisi lensa kameranya di atas mata tokoh secara ekstrem, bahkan top angle posisinya tegak lurus ke bawah. Frog eye view  menggunakan posisi lensa kamera di bawah mata tokoh secara ekstrem. Sementara, dutch angle  adalah ketika framing-nya dimiringkan ke kiri atau kanan dan juga dikenal dengan canted angle atau  crazy angle.



Camera Placement

Camera placement merupakan peletakan kamera pada titik tertentu yang menjadi keputusan kunci dalam bercerita. Keputusan ini menentukan segala sesuatu yang dilihat penonton, sehingga lebih dari sekadar untuk mendapatkan gambar yang bagus. Segala hal yang tidak dilihat penonton juga sama pentingnya dengan yang mereka lihat (Brown, 302). Camera placement ini berkaitan dengan keputusan dalam menggerakan kamera dan lensanya atau tidak. Ada dua macam yang digunakan oleh pembuat film, yaitu kamera statis (camera static) yang dikenal juga dengan still framing dan mobile framing. Terminologi mobile framing dipilih karena dari aspek kamera yang dapat bergerak bukan hanya badan kameranya, namun lensa juga dapat digerakan. Terutama kalau menggunakan lensa variable focal length atau lebih dikenal dengan lensa zoom. Beberapa macam mobile framing adalah pan-shot, tilt-shot, track shot, crane shot, handheld camera, dan zooming


Tonalitas

Tonalitas adalah pertimbangan terhadap cahaya yang digunakan pada film, sedangkan lighting merupakan komponen mise-en-scène yang berhubungan dengan sinematografi. Sinematografer menjadi pihak yang berkewajiban mengatur lighting  pada suatu produksi film, terutama untuk mengontrol tonalitasnya. Tiga aspek tonalitas yang diatur dalam film adalah eksposur (brightness), kontras, dan warna (Bordwell et al.159).


Kontras adalah pada perbedaan area yang paling gelap dan paling terang pada suatu shot, karena mata penonton sangat peka terhadap perbedaan warna, bentuk, tekstur, dan aspek lain dari sebuah shot. Kontras dalam gambar membantu sinematografer dalam mengarahkan mata penonton ke bagian-bagian penting dari frame. Hal ini dapat memberikan kualitas emosi dan ekspresi pada shot. Kualitas ekspresi dan emosi ini yang mengarah pada mood, seperti gembira, ceria, muram, atau takut (Bordwell et al. 160).


Eksposur (brightness) dapat dipahami sebagai pengaturan jumlah cahaya yang akan melewati lensa kamera. Terkadang penonton melihat eksposur yang terlalu gelap, misalnya untuk menunjukkan bagian sumur tua yang sudah tidak terpakai. Bisa juga digunakan pada peristiwa yang terlalu terang untuk menggambarkan ruang surga (Bordwell et al. 160). Meskipun demikian, pembuat film akan selalu mencoba eksposur yang seimbang dan sesuai penceritaan dalam film.


Sementara, warna adalah unsur rupa yang memberikan nuansa untuk terciptanya karya seni tertentu, sehingga dapat menampilkan karya yang menarik dan menyenangkan (Kurniawan & Hidayatullah 33). Sejak awal, seniman visual sudah memakai warna dengan tujuan simbolis dan mungkin didapatkan melalui kebudayaannya. Implikasinya mungkin mirip bila diterapkan pada masyarakat yang berbeda, namun secara umum cool colors seperti biru, hijau, atau ungu dapat menunjukkan ketenangan dan sikap acuh tak acuh. Warm colors seperti merah, kuning, atau oranye menunjukkan rangsangan, agresivitas, atau kekerasan. Warna-warna tersebut cenderung tampak menonjol di bagian gambar (Giannetti 23).


Komposisi Visual

Komposisi visual adalah penataan segala elemen visual di dalam frame dengan berbagai cara. Tujuannya untuk membuat gambar menjadi utuh, sehingga menarik perhatian penonton dan mereka merasa nyaman. Integrasi antar elemen diperoleh dengan mengkomposisikan massa, cahaya, dan warna. pengaturan yang dilakukan adalah untuk membuat penonton (Ward 10). Ada beberapa komposisi visual yang sering digunakan oleh pembuat film, misalnya rule of thirds, golden ratio, balanced composition, unbalanced composition, dan lain-lain.



Editing

Editing tidak hanya penyambungan shot-shot untuk kebutuhan cerita, namun juga menjadi upaya untuk mengontrol psikologi penonton (Pudovkin, 75). Editing sendiri adalah kekuatan kreatif yang fundamental, karena melalui teknik tersebut, gambar yang tidak berhubungan bisa direkayasa sedemikian rupa sehingga menjadi serangkaian gambar yang tampak hidup (Pudovkin, 25). Sementara, David Bordwell dan rekan-rekannya mengatakan bahwa editing merupakan penyuntingan dan perakitan shot-shot dengan jukstaposisi yang diinginkan pembuat filmnya. Sesudah memotong shot hingga ukuran yang tepat, lalu editor akan memutuskan shot yang disambungkan (217).


Pendekatan editing terdiri dari dua macam, yaitu continuity editing dan alternatives to continuity editing. Continuity editing  merupakan penyusunan shot-shot  yang didukung oleh mise-en-scène, sinematografi, dan berdasarkan kesinambungan cerita (Bordwell et al. 230). Editing tidak hanya penyambungan antar shot, tapi juga mempertimbangkan keterhubungan antar shot-nya (dimensi editing), yaitu dimensi grafis, ritmis, ruang, dan waktu (Bordwell et al. 219). Continuity editing  bertujuan memberikan informasi cerita dengan jelas melalui rangkaian shot  (Bordwell et al. 230). Sementara, fungsi dalam penceritaan adalah untuk menunjang pemilihan on-screen space dan off-screen space.


Pendekatan continuity editing terbagi menjadi dua aspek besar, yaitu spatial continuity dan temporal continuity. Spatial continuity memperhatikan beberapa persyaratan, yaitu kaidah 180°, establish shot, re-establish shot, screen direction, eyeline match, shot/reverse shot, serta match on action. Sementara, temporal continuity harus memperhatikan temporal order (urutan waktu), temporal frequency (pengulangan waktu), dan temporal duration (durasi). Temporal duration juga dibagi menjadi tiga macam, yaitu story duration  atau rentang waktu peristiwa terjadi; plot duration;  dan screen duration atau masa putar di layar (Bordwell et al. 251). Pendekatan kedua adalah alternatives to continuity editing yang merupakan penyambungan shot-shot dengan kemungkinan lain dari continuity editing (Bordwell et al. 252). Caranya adalah melanggar satu, dua, atau semua syarat yang menjadi ketentuan dalam pendekatan continuity editing. Ada pembuat film yang menggunakannya dengan sengaja dan ada juga yang filmnya memang tidak memungkin untuk menggunakan continuity editing,  contohnya film dokumenter atau film eksperimental.



● Suara

Suara pada film naratif bisa bersumber dari dalam layar atau luar layar dan bisa juga bersumber dari dalam atau luar ruang cerita. Oleh karena itu, suara selalu menjadi bagian dari ritual menonton film (Phillips 159-189). Tim Harrison menyatakan bahwa suara bisa menjadi instrumen yang ampuh dalam menciptakan perasaan luas suatu lingkungan dalam dimensi cerita (160). William H. Phillips membagi unsur suara menjadi spoken words, sound effects, music, dan silence (162). Sementara, David Bordwell dan rekan-rekannya membagi unsur suara menjadi speech, music, dan noise (267).


Speech atau spoken words adalah bentuk suara dengan atributnya yang keluar dari tokoh dalam film. Suara tersebut dapat berwujud dialogue, monologue, dan narration. Dialogue  adalah pembicaraan dari dua orang atau lebih yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, tujuan, dan impian karakter. Secara umum, dialoguemenggunakan percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Monologue atau sejenis dialog yang disampaikan atau diekspresikan oleh satu orang untuk diri sendiri. Sementara, monologue adalah pembicaraan dari satu orang dan yang diekspresikan secara langsung kepada penonton disebut direct address (Phillips, 162-166). Jenis ketiga adalah narration yang merupakan komentar atau cerita tentang subjek dalam film dan umumnya dilakukan oleh seseorang di luar ruang cerita (Phillips, 681).


IV. PEMBAHASAN

Film Short Cut sepintas tampak kurang menarik, karena film-film seperti ini sudah banyak yang membuatnya. Bila ditinjau dari tipe filmnya, film ini adalah film dokumenter dengan bentuk filmnya (film form) adalah film non naratif berupa categorical film.  Genre filmnya adalah film faktual (factual film) dan moda yang digunakan adalah observational documentary. Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa film dengan moda ini memiliki ciri yang kuat, yaitu pembuat filmnya tidak melakukan intervensi pada peristiwa yang sedang dibuat. Modus dari tipe ini adalah tidak adanya wawancara, voice-over commentary, dan intertitle.


Bila dilihat lebih dalam dari komponen bentuk filmnya (film form), maka cerita film ini sangat sederhana, yaitu seorang barber laki-laki yang sedang menata rambut pelanggannya. Kebetulan pelanggan tersebut adalah seorang perempuan. Oleh karena itu, subjeknya hanya ada dua, yaitu barber dan pelanggannya. Story space-nya terjadi di suatu kota dan plot space-nya terjadi di sebuah salon. Film ini menggunakan struktur dramatik yang datar dengan temporal order yang kronologis tanpa menggunakan temporal frequency. Story duration-nya sekitar 30 menit dengan screen duration 2 menit 37 detik.


Pada gaya filmnya (film style) film ini tidak menggunakan tiga aspek yang sering digunakan oleh expository documentary, yaitu voice-over commentary, wawancara, atau intertitles. Film ini hanya mengandalkan sound effects saja, seperti gesekan telapak tangan, gesekan dua mata gunting, keheningan dan sebagainya. Suara-suara tersebut dapat memberi nuansa yang hangat dan tenang. Walaupun terkadang loudness dari sound effects saat barber mencukur rambut pelanggannya seringkali diperdengarkan lebih keras dibanding suara lain. Pendekatan editing-nya menggunakan alternatives to continuity editing yang tidak mengindahkan kaidah 180 derajat dan hal ini sangat berpengaruh pada arah pandang dari subjeknya, terutama screen direction dan eyeline match. Shot/reverse shot dan match on action juga tidak digunakan, sehingga cutting-nya terasa melompat-lompat dari satu shot  ke shot  yang lain. Hanya saja editor film ini sangat terampil memainkan ritme dengan mengatur jukstaposisi setiap shot-nya, sehingga penonton tidak merasakan lompatan di setiap penyambungannya. Establish shot hanya digunakan sekali saat pemotongan rambut selesai.


Kekuatan film ini sesungguhnya ada pada mise-en-scène dan sinematografinya. Pada mise-en-scène, tokoh utama film ini diperlihatkan sebagai figur dengan dandanan nyentrik, namun tetap tampak urakan. Ia berpakaian rapi dengan kostum berupa kemeja bermotif kotak-kotak berwarna biru. Selain itu, ia juga memakai topi homburg di kepalanya. Secara makeup tokoh tersebut memiliki banyak tato serta terdapat piercing di kedua telinganya dan bibirnya.


Dari awal film sudah diperlihatkan aksi sang barber yang sangat piawai memainkan guntingnya. Tokoh lain yang menjadi pelanggan adalah seorang perempuan. Hal ini menunjukkan kontradiksi persepsi yang beredar di masyarakat bahwa orang yang urakan dianggap tidak mungkin melakukan pekerjaan yang sifatnya halus. Pada aspek staging ditunjukkan gestur dan mimik yang tenang dari perempuan yang dicukurnya. Hal ini membuktikan bahwa konsumen perempuan tersebut sangat percaya. Pada bagian akhir film, juga diperlihatkan mimik wajah yang sumringah dari pelanggan perempuan ketika selesai dicukur. Hal tersebut memberi arti kepuasan dari tokoh perempuan tersebut. Selain itu, juga menunjukkan bahwa sang barber sudah sangat berpengalaman.


Seperti yang dijelaskan oleh Martin McQuillan, setidaknya ada beberapa strategi yang digunakan dalam teori dekonstruksi, yaitu adanya pasangan makna yang berlawanan; terpinggirkan (marjinal); dan berciri historis atau teks tersebut terkait dengan masa lalunya. Dari paparan di atas bisa dilihat bahwa ada ciri historis, yaitu kebanyakan yang mencukur rambut perempuan adalah perempuan juga atau laki-laki yang feminin. Hal tersebut juga membuktikan adanya pasangan makna yang berlawanan. Tentunya barber laki-laki yang tampak urakan seperti ini tidak banyak jumlahnya.


Strategi tersebut diperkuat dengan banyaknya penggunaan type of shot berukuran close-up  dan extreme close-up. Balutan change focus lensa kamera juga memperkuat kepiawaian tokoh tersebut dalam mencukur rambut perempuan. Penonton seperti dibiarkan melihat lukisan pointilisme. Dari awal film, penggunaan close-up dan extreme close-up tidak memberi kesempatan penonton melihat tempat besar yang menjadi setting ruang tersebut. Setelah semua aksi selesai, kemudian penonton diperlihatkan ruang yang lebih luas menggunakan two shot yang berwujud medium shot.



Gambar 3. Poster Bad Brains, Sumber: potongan adengan film Short Cut
Gambar 4. Bass Gitar, Sumber: potongan adengan film Short Cut










Dalam film ini juga ditunjukkan beberapa properti yang tidak berkaitan dengan peristiwa mencukur. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa sinematografernya terkadang melakukan change focus pada benda-benda di dekat sang barber, yaitu poster band hardcore-punk asal Amerika Serikat, Bad Brains (Gambar 3) dan bass gitar (Gambar 4). Hal ini dapat menunjukkan identitasnya sebagai pemain bass gitar, baik sebagai hobi ataupun sebagai anggota suatu band hardcore-punk. Bila ingin diinterpretasikan lebih definitif, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh tersebut memiliki dua profesi, yaitu pemain bass gitar pada sebuah band dan barber. Hal ini selaras dengan strategi kelima yang menjelaskan bahwa konteks-konteks di dalam teks itu yang memberi teks itu makna. Bila menggunakan interpretasi dari Derrida, maka pemaknaan yang penulis lakukan di atas sangatlah subjektif. Sangat mungkin pengamat lain bisa melihat dengan lebih jauh dan cermat. Beberapa aspek ilmu film yang penulis sebutkan juga sangat subjektif. Walaupun memang sangat mungkin ada pemaknaan yang sama dengan pengamat lain. Penulis menggunakan pepatah, “Don’t judge a book by its cover” untuk menyimpulkan pesan dari film ini. Tokoh yang terlihat urakan ternyata sangat mampu dan lihai menjalankan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh perempuan.


V. SIMPULAN

Film Short Cut adalah film dokumenter bergenre film faktual dengan moda observational documentary.  Film yang berdurasi pendek ini memanjakan penonton dengan sinematografi, editing, dan penataan suara yang baik. Staging   dalam  mise-en-scène-nya juga sangat menunjukkan kepiawaian tokoh dalam mencukur seorang perempuan. Walaupun penampilannya berbanding terbalik penampilan para barber yang ada dalam konvensi masyarakat. Hal ini selaras dengan strategi adanya pasangan makna yang berlawanan; terpinggirkan (marjinal); dan berciri historis atau teks tersebut terkait dengan masa lalunya. Pada sisi lain, pembuat film juga memperlihatkan makna secara implisit bahwa barber tersebut juga berprofesi sebagai pemain bass gitar di suatu band. Sebenarnya sangat mudah menangkap pesan utama film ini, yaitu jangan menilai seseorang dari tampilan luarnya.



VII. KEPUSTAKAAN

Aufderheide, Patricia. Documentary Film: A Very Short Introduction. Oxford University Press, 2007.


Dave, Monahan, and Barsam Richard. Looking at Movies. 7th ed., New York: W.W. Norton & Company, 2021.


Bordwell, David, et al. Film Art: An Introduction. 12th ed., New York: McGraw-Hill, 2021.


Brown, Blain. Cinematography Theory and Practice: Image Making for Cinematographers and Directors. 3rd ed., New York: Routledge, 2016.


Buckland, Warren. Film Studies: An Introduction. 2nd ed.,  London: Teach Yourself Publisher, 2015.


Giannetti, Louis. Understanding Movies. 14th ed., New Jersey: Pearson, 2017.


Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.


Harrison, Tim. Sound Design for Film. Lanham: Crowood Press, 2021.


Hifni, Ahmad. Hermeneutika Moderat: Teori Penafsiran Teks dalam Pandangan Paul Ricoeur dan Al-Jurjani. Kuningan: Nusa Litera Inspirasi, 2018.


Kurniawan, Agung dan Riyan Hidayatullah. Estetika Seni. Yogyakarta: Arttex, 2016.


Nichols, Bill.  Introduction to Documentary. Bloomington: Indiana University Press, 2001.


Phillips, William H. Film: An Introduction. 12th ed., Boston: Bedford/St. Martin’s, 2009.


Pudovkin, Vsevolod Illarionovich. Film Technique and Film Acting. New York: Grove Press Inc., 1960.


Susanto, Edi.  Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar. Jakarta: Kencana, 2016.


Zettl, Herbert. Video Basics. 8th ed.,  Boston: Cengage Learning, 2017.





Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Imaji Volume 15 Nomor 1 pada halaman 28-41. Diterbitkan pada bulan Maret 2024 oleh Fakultas Film dan Televisi – Insitut Kesenian Jakarta.


ISSN 1907-3097

DOI: 10.52290/i.v15i1.16828 | JURNAL IMAJI


I: 10.52290/i.v15i1.16828 | JURNAL IMAJI



1 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page