top of page

LE GRAND VOYAGE : MENEMUKAN KEMBALI SEBUAH HUBUNGAN DAN IDENTITAS

I. CERITA


Sudah sekitar 30 tahun keluarga Reda yang merupakan imigran muslim dari Maroko menetap di Crest, sebuah desa di Perancis Selatan. Saat sedang sibuk menghadapi ujian di sekolahnya, ia diminta menggantikan kakak tertuanya, Khalid untuk mengantarkan sang ayah menuju Mekkah yang ingin melaksanakan ibadah Haji. Permasalahannya, perjalanan tersebut harus ditempuh dengan mobil sesuai keinginan sang ayah, di mana jaraknya sekitar 5.000 km. Dengan berat hati Reda menyanggupi sebab selain merupakan perjalanan yang melelahkan, ia juga harus meninggalkan kekasih, Lisa. Dalam perjalanan tersebut berbagai rintangan harus dilalui berdua karena jalur yang dijelajahi melewati negara-negara seperti Italia, Slovenia, Kroasia, Yugoslavia, Bulgaria, Turki, Syria dan Yordania, lalu Arab Saudi. Terjadi banyak sekali pertengkaran yang menjadikan mobil seperti dunia tersendiri dalam kehidupan mereka dan terlihat bahwa hubungan antara ayah–anak ini sangatlah tidak harmonis. Saat berada di Bulgaria, Reda bertanya mengapa ayahnya tidak mau menggunakan pesawat udara, ayahnya cuma bilang bahwa sebenarnya ia ingin jalan kaki atau naik kuda namun itu tidak mungkin, sehingga yang paling baik adalah naik mobil karena menambah ketabahan dalam berhaji. Sampai akhirnya mereka sampai di Mekkah dan saat menjalankan haji pada hari pertama, Reda yang menunggu ayahnya pulang ke mobil mereka tidak kunjung datang. Keesokan harinya ia mencari ke pelosok kota dekat Masjidil Haram hingga membuat sedikit keributan dan akhirnya ditangkap polisi. Namun ia malah dibawa ke ruang jenazah yang akhirnya terlihat ayahnya terbujur kaku di antara mayat yang ada. Akhirnya Reda menjual mobilnya dan kembali menggunakan peswat udara.



II. ASPEK PENCERITAAN DALAM FILM


Film ber-genre road movie ini sebenarnya mengangkat tema yang dekat dengan keseharian penontonnya, yaitu keluarga dan lebih khususnya hubungan antara ayah dan anaknya. Sebagai imigran muslim dari Maroko, sang ayah masih mempertahankan tradisi keislamannya, sedangkan sang anak justru telah tercerabut dari akar budaya orang tuanya. Kesenjangan inilah yang digunakan oleh Ismaël Ferroukhi untuk mengolah ceritanya agar konfliknya dapat terus dipertahankan.


Seperti kebanyakan film Perancis, film ini mencoba untuk keluar dari pakem-pakem yang dibuat oleh Hollywood dan cenderung diikuti di banyak belahan dunia. Sebelum membahas lebih jauh, dalam buku Film Art : An Introduction, David Bordwell dan Kristin Thompson (2012 : 74-87) mencoba mengurai beberapa aspek naratif (penceritaan) dalam film yaitu tokoh, ruang, waktu, perkembangan cerita (plot dan story) serta penutup (closure). Unsur-unsur di atas memudahkan untuk menganalisis satu per satu seperti apa film tersebut.


Film pada umumnya, menggunakan satu tokoh atau karakter yang secara dominan menguasai penceritaan tersebut dan berfungsi sebagai agen kausalitas sehingga memungkinkan digulirkannya cerita. Film ini justru memunculkan dua tokoh sentral yaitu Reda dan ayahnya, di mana tidak ada yang dominan secara absolut sehingga bila ditinjau lebih jauh justru mereka berdua ini digambarkan seperti dua orang asing yang terpaksa menjadi satu dalam sebuah perjalanan panjang dan akhirnya bisa memahami karakter satu sama lain. Tidak ada protagonis maupun antagonis, sebab masing-masing dibuat secara abu-abu, misalnya Reda digambarkan sebagai anak yang modern namun mudah percaya pada orang asing. Sedangkan ayahnya yang sering menggunakan kata hati adalah seorang yang buta huruf dan cenderung keras kepala serta dengan pengalamannya banyak hal bisa dilakukannya.


Berbicara ruang dalam film ini, secara brilian Ismaël Ferroukhi membagi dua, pertama, adalah wilayah–wilayah (kota, desa, jalan hutan dan sebagainya) yang mereka jelajahi adalah sebagai ruang realitas di mana mereka tinggal saat itu. Sang sutradara sering menggunakan lanskap untuk menangkap serta menyajikan rasa luas dari jarak yang harus ditempuh. Kedua, menjadikan mobil yang mereka tumpangi sebagai dunia di mana mereka berinteraksi, sehingga di mobil dan sekitarnya itulah mereka berdua menjadi keluarga lagi, saling memahami lagi dan menjadi ayah–anak lagi. Sebagai contoh, untuk memperlihatkan perbedaan antara ayah–anak tersebut, pintu mobil dibuat berbeda warna dan sangat kontras yaitu pintu mobil ayah berwarna oranye di antara warna biru. Hal ini menggambarkan bahwa sang ayah yang tradisional, dikepung oleh hal banyak hal yang modern.


Waktu yang dipilih memang merujuk pada masa kini, artinya di sekitar tahun 2000-an, baik dari mobil yang digunakan, kostum, properti seperti telpon selular dan sebagainya. Akan tetapi, bagaimanapun juga dalam dialog–dialog yang dimunculkan di beberapa adegan justru terikat pada permasalahan masa lalu walaupun, seperti saat Reda bertanya mengapa ayahnya tidak menggunakan pesawat udara, di mana sang ayah menjawab bahwa : “Air laut bila sudah di udara maka rasanya akan menjadi hambar, sehingga untuk berhaji lebih berjalan kaki daripada naik kuda, lebih baik naik kuda dari pada naik mobil, lebih baik naik mobil daripada naik kapal laut dan lebih baik naik kapal laut daripada naik kapal terbang. Kakekmu saat berhaji naik keledai dari kampungnya di Maroko dan di mana sejak saat itu ayah Reda selalu menunggunya pulang dan selalu pergi ke bukit agar menjadi orang pertama yang melihatnya pulang dari haji.” Selain itu ada properti berupa sabuk yang digunakan untuk menyimpan uang cadangan oleh ayahnya, padahal seharusnya saat ini persoalan uang sudah bisa dipecahkan menggunakan traveler’s cheque atau automatic teller machine (ATM), namun ayah Reda masih membiasakan diri menyimpan uang ditempat yang nyaris tidak diperhatikan oleh orang.


Seperti road movie kebanyakan, film ini menggunakan plot yang disusun secara linear dan progresif. Tidak ada satupun gambar yang menunjukkan adanya flashback ataupun flashforward yang menjadikan strukturnya menjadi bolak-balik. Sedangkan struktur penceritaan yang digunakan adalah sturktur Art Cinema Naration yang menjadi lawan dari Struktur Hollywood Klasik atau dikenal di Indonesia dengan istilah Struktur Tiga Babak. Kalau pembabakan di Hollywood membagi menjadi tiga babak besar (opening, middle dan ending) dan harus ada kenaikan tensi secara bertahap, maka film ini dibiarkan berjalan datar seperti layaknya kehidupan manusia sehari-hari. Saat mereka harus saling diam, maka sang sutradara tidak akan mencari–cari peristiwa yang sedemikian rupa yang membuat mereka harus menaikkan ketegangan. Bahkan ketika harus ada letupan kecil, maka letupan tersebut memang terjadi dalam keseharian, misalnya ketika sampai di Syria, Reda minta untuk dibelikan daging, lalu ayahnya membelikan seekor kambing yang mereka masukan mobil dan membuat Reda marah-marah, namun saat mau disembelih Reda secara tidak sengaja malah membuat kambing itu terlepas dan mereka tidak jadi makan daging ataupun saat Reda mabuk dan membawa seorang pelacur, sang ayah marah besar, sampai tidak mau masuk mobil.


Sekali lagi, perkembangan cerita film ini dibuat datar dan tidak dipaksakan untuk selalu terjadi konflik, sebab dari perbedaan kedua tokoh ini saja sebenarnya sudah tercipta konflik dengan sendirinya tanpa harus selalu ditampakkan. Uniknya pembuat film ini sempat memperlihatkan dialog–dialog yang akhirnya bisa menjadi senjata makan tuan bagi yang berbicara. Pada awal film saat Reda menancap gas, sang ayah menegurnya dengan mengatakan bahwa hanya orang mati yang terburu–buru, di mana kalimat digunakan oleh Reda untuk menyerang ayahnya ketika sang ayah bilang ingin cepat sampai di Mekkah. Contoh lain adalah ketika mereka berdua tersesat di sebuah jalan hutan di Yugoslavia, Reda yang sedang membaca peta kesal karena sang ayah tetap saja ingin meneruskan lewat jalur tersebut. Sampai kemudian muncul kalimat, “ Apa ayah bisa baca–tulis?” Adegan ketika di sebuah hotel dan ayahnya merasa uangnya dicuri oleh Mustapha – seseorang yang menolong mereka di Turki – kata–kata Reda menjadi bumerang sebab ayahnya lalu mengatakan bahwa Reda bisa menulis dan membaca namun tidak bisa memahami hidup.


Closure yang disuguhkan dalam film ini unhappy ending dan tentu saja banyak penonton yang kurang menyukai. Ending-nya sang ayah meninggal dunia di Mekkah, sampai Reda harus memandikan mayatnya. Namun pembuat filmnya memperlihatkan betul bagaimana Reda akhirnya bisa memahami ayahnya bahkan sedikit kultur Islamnya justru karena dia sudah kehilangan orang yang dicintainya serta dilihatnya beribu orang berbondong-bondong dari berbagai suku dan ras hanya untuk melanksanakan haji. Ada perilaku kecil yang berubah dari Reda dan hal itu diperlihatkan oleh sang sutradara yaitu ketika ia mau menaiki taksi, disempatkannya memberi sedekah kepada seorang pengemis, padahal saat di Yordania ia sempat memarahi ayahnya karena memberi sedekah kepada seorang perempuan miskin yang menyebabkan pertengakaran hebat.



III. ASPEK SOSIAL – BUDAYA


Keluarga adalah struktur masyarakat paling kecil, bahkan ketika interaksi sosial dua anggotanya yaitu ayah dan anak bermasalah, maka kemudian bisa merubah banyak hal dalam kehidupan mereka. Dengan gamblang, Ismaël Ferroukhi memperlihatkan adanya salah satu persoalan paling mendasar manusia yaitu komunikasi. Awalnya sang anak menolak mengantarkan ayahnya karena ia sedang menghadapi ujian di sekolahnya, selain bahwa ia juga berat meninggalkan pacarnya. Dalam teori pertukaran, biasanya seseorang akan mau melakukan sesuatu untuk orang lain bila ada imbalan yang sepadan (Salim, 2008 : 46-60). Tentu saja Reda merasa tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali lelah dan ia juga sudah mencoba mencari alasan, namun tetap saja harus ada yang mengantarkan ayahnya ke Mekkah, selain bahwa ia harus patuh sebab bagaimanapun mereka tetaplah orang tuanya (Salim, 2008 : 56).


Seperti sudah disinggung di atas bahwa dalam perjalanan mereka seperti dua orang asing yang baru bertemu atau setidaknya seperti orang yang sudah mengenal namun sedang bermusuhan. Tentu saja permasalah dasar mereka adalah komunikasi, di mana dua tokoh ini akhirnya harus berkomunikasi secara personal terutama komunikasi tatap muka (face to face commnunication) sehingga tidak memerlukan media dan cenderung intim (Effendy, 1985 : 160). Walaupun pada awalnya mereka cenderung kikuk dan kurang lancar – bahkan lebih banyak petengkarannya dibandingkan pembicaraan normal –, namun secara perlahan ada peningkatan kualitas pembicaraan. Misalnya saat Reda bertanya mengapa ayahnya tidak memilih menggunakan pesawat terbang atau ketika ia menanyakan apa pentingnya pergi ke Mekkah. Walaupun ayahnya menjelaskan secara normatif, namun dialog itu diakhiri dengan kalimat : “Aku tak mungkin bisa sampai Mekkah tanpamu dan mendapatkan aku mendapatkan banyak pejalaran dari perjalanan ini.”


Saat dalam perjalanan, Reda banyak belajar bagaimana menolong orang lain tanpa harus memandang statusnya terutama saat ada seorang perempuan tua yang tiba-tiba masuk ke dalam mobil dan minta diantar ke Delichi. Reda memakinya karena dianggap bukan sesuatu yang menguntungkan, sedangkan ayahnya membiarkan dan memintanya untuk mencarikan tempat yang dimaksud. Saat mereka meninggalkan perempuan itu restoran sebuah hotel, Reda berlari seperti orang panik, takut perempuan itu mengikutinya lagi. Ayahnya hanya mengatakan bahwa perempuan itu mengerti kalau mereka berdua tidak berkenan perempuan itu ikut. Selain itu ada adegan lain saat uang mereka menipis, sang ayah malah memberi sedekah kepada seorang perempuan miskin yang akhirnya uang tersebut direbut lagi oleh Reda dan membuat berang ayahnya sampai ia ditampar.


Juga saat bertemu Mustapha, orang Turki yang menolong mereka saat berurusan dengan kantor imigrasi Turki serta mengaku pernah tinggal lama di Perancis. Reda sangat gembira sebab bisa minum bir bersama dan menganggapnya sebagai orang yang baik. Namun tidak demikian dengan sang ayah yang menengarai ada kepentingan tertentu dibalik kebaikan Mustapha dan teabakan itu benar sebab akhirnya Mustapha memaksa ikut dalam perjalanan ke Mekkah, di mana nantinya akan membebani keuangan mereka. Namun saat di Yordania, Reda menemukan uang tersebut. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya Mustapha dijebak oleh sang ayah agar tidak ikut dalam perjalanan mereka sampai ke Mekkah dan perbuatan ayahnya ini memperlihatkan betul bahwa sang sutradara tidak menjadikan tokohnya adalah orang yang benar-benar suci.


Komunikasi tatap muka memang bertujuan memang bertujuan atau berdampak adanya perubahan pendapat, perilaku dan sikap dari komunikan (Effendy, 1985 : 160). Hal ini terbukti dengan adanya perubahan sikap dan perilaku Reda dari yang sangat tidak peduli pada tradisi nenek moyangnya, kemudian menjadi lebih bersikap bijak serta peduli pada sekitarnya, setidaknya pada ayahnya. Adegan Reda mencari ayahnya dan memberi sedekah kepada pengemis memperlihatkan perubahan tersebut. Akan tetapi sang sutradara seperti tidak ingin berlebihan menunjukkan perubahan ini sehingga perubahan perilaku tokoh utama memang menjadi kurang terasa.



IV. ANALISIS


Secara umum film ini adalah film yang baik dan bagus, sebab aspek tradisi Islam yang diangkat, terlihat bahwa unsur ini sangat dekat dengan pembuatnya. Tentu saja di sana–sini ada saja kekurangannya, misalnya saja dalam film penonton kurang diberikan informasi akan pentingnya seorang muslim melaksanakan haji, padahal dalam dialog–dialog yang ada masih memungkinkan untuk disisipkan. Selain itu banyak yang tidak terungkap, terutama alasan–alasan sang ayah membiarkan seorang perempuan menumpang dan tidak membiarkan seorang lelaki menumpang mobilnya padahal sudah menolongnya.


Secara durasi, film ini juga terasa terlalu cepat di mana masih banyak aspek yang masih bisa dieksplorasi terutama perubahan perilaku Reda supaya lebih menambah kuat dampak dari hasil perjalanan itu. Selain itu adegan–adegan yang lebih membicarakan keluarga mereka sendiri kurang diangkat sebab hal ini akan memperlihatkan film ini menjadi lebih alami, artinya tidak sekedar sebuah perjalanan jauh semata.



V. DAFTAR PUSTAKA


Bordwell, David dan Thompson, Kristin, Film Art : An Introduction. Edisi Kesepuluh, (New York : MacGraw-Hill Book Companies. 2012).


Salim, Agus, Pengantar Sosiologi Mikro, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2008).


Effendy, Onong Uchyana, Ilmu Komunikasi : Teori Dan Praktek, (Bandung : Remadja Karya CV. 1985).



Catatan :

Tulisan ini tidak pernah dimuat di manapun

10 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page