top of page

KESALAHAN PEMIKIRAN TENTANG RISET DALAM PEMBUATAN FILM DOKUMENTER

Diperbarui: 24 Jul 2020


ABSTRAK


Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memaparkan posisi ide dan riset dalam pembuatan film, terutama film dokumenter. Latar belakang penulisan ini karena masih banyak kesalahan pemikiran tentang riset bila dihubungkan dengan ide filmnya.  Metode penelitian kualitatif adalah metode yang dipilih untuk membahas permasalahan ini. Teknik pengumpulan datanya menggunakan teknik observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Teknik analisis data kualitatif yang digunakan untuk membahas permasalahannya. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa ada kesalahan pemikiran tentang riset yang berkaitan dengan ide dalam membuat film terutama film dokumenter.



This paper aims to explain the position of ideas and research in the filmmaking, especially documentary. Background of this writing because there are still many error of thought about research when associated with the idea in the filmmaking. Qualitative research method is the method chosen to discuss this problem. Data collection techniques using observation techniques, interviews and literature study. Qualitative data analysis techniques used to discuss the problem. The results of this analysis, indicate that there are errors of thought about research related to the idea of filmmaking, especially documentaries.



Kata-kata kunci : ide, riset, dokumenter.


I. PENDAHULUAN



Pengalaman penulis mengajar mata kuliah Film Dokumenter menjadi pemicu dalam membuat tulisan ini.  Ada dua pertanyaan yang selalu penulis ajukan kepada mahasiswa.  Pertama, cara memperoleh ide dan bagaimana pengembangannya.  Kedua, pentingnya riset di dalam pembuatan film dokumenter.  Hampir seluruh mahasiswa di kelas tersebut menjawab bahwa ide bisa didapatkan dengan cara apapun dan di manapun.  Setelah itu tidak ada pembahasan lagi tentang bagaimana ide tersebut harus diolah. Sedangkan jawaban mengenai riset. Hampir seluruh mahasiwa menjawab kalau riset dalam membuat film dokumenter itu adalah keharusan. Ada pula yang menjawab lebih keras dengan mengatakan bahwa riset itu wajib hukumnya dalam membuat film dokumenter. Ketika ditanyakan definisi riset dan fungsinya, banyak yang tidak dapat menjawab dengan tepat.  Bahkan ada yang menjawab bahwa fungsi untuk “sekedar” mengetahui permasalahan yang akan diangkat.  Jawaban dari mahasiswa yang seringkali dangkal ini menggelitik untuk mendiskusikan permasalahan sederhana.



Istilah “dokumenter” pertama kali dimunculkan oleh John Grierson, ilmuwan sosial Skotlandia yang merupakan spesialis dalam psikologi propaganda.  Grierson merujuk pada  film nonfiksi karya Robert Flaherty yaitu Nanook of the North (1922) dan Moana (1926). Flaherty sendiri adalah seorang insinyur pertambangan Amerika Serikat yang melakukan perekaman dan pencatatan dengan pendekatan etnografi terhadap keluarga Eskimo pada tahun 1915.  Secara tidak sengaja beliau membakar negative footage miliknya sepanjang 30.000 feet. Beliau percaya bahwa ada sesuatu yang harus diceritakan sehingga dilakukan pengambilan gambar ulang pada lokasi yang sama (Rabiger, 2004 : 20).



Kalau mau dihitung secara waktu sebenarnya film dokumenter sudah dibuat di Inggris pada awal 1900-an. Setidaknya ada dua film yang diproduksi  pada masa itu. Pertama, A Visit to Peek Frean and Co.’s Biscuit Works (1906). Film ini produksi oleh Cricks & Martin Films yang menceritakan proses produksi hingga distribusi biskuit pada masa itu.  Kedua, A Day in the Life of a Coal Miner (1910) yang diproduksi oleh Kineto Films. Film tersebut menceritakan tentang proses penambangan batu bara di Inggris.  Uniknya adegan awal dan akhirnya merupakan adegan yang sengaja dibuat. Adegan awal tampak seorang suami yang hendak berangkat kerja diantar oleh isteri dan anak bayinya.  Sedangkan adegan akhirnya adalah sang suami pulang kerja dan disambut oleh isteri dan anak bayinya di depan pagar rumahnya. Kedua film ini merupakan bagian dari gerakan School of Brighton di Inggris yang banyak membuat film fiksi dari tahun 1896. Sayangnya arsip-arsip film ini baru diketemukan sekitar 1970-an bersamaan dengan film-film fiksi karya dari Robert Paul, James Williamson, George Albert Smith, Cecil Hepworth dan sebagainya. Isu tentang School of Brighton ini baru diangkat lagi pada kongres The International Federation of Film Archives (FIAF) di Brighton pada tahun 1978 (Thompson dan Bordwell, 2003 : 32).



Dikarenakan permasalahan di atas, akhirnya yang diakui sebagai film dokumenter pertama tetaplah film Nanook of the North.  Bagaimanapun film-film dari Robert Flaherty tersebut sangat dekat dengan riset etnografi dan akhirnya mempengaruhi pembuatan film dokumenter selanjutnya. John Grierson dan kawan-kawannya mendorong General Post Office (GPO) di Inggris membuat film dokumenter dengan beragam subjek. Usaha John Grierson berhasil karena pada akhirnya General Post Office (GPO) membuat unit film sendiri di dalam perusahaan. Film yang  berhasil diproduksi adalah karya Basil Wright dan Harry Watt berjudul Night Mail (1936).  Basil Wright juga memroduksi Song of Ceylon (1934) untuk Dewan Propaganda Teh Ceylon di koloni Inggris yang sekarang bernama Srilangka. Dalam film tersebut Basil Wright membahas perdagangan teh secara singkat. Fokus permasalahannya lebih diarahkan pada keindahan kebudayaan Srilangka (Thompson dan Bordwell, 2003 : 312-313). Akhirnya film tersebut lebih terasa seperti film etnografi dibanding sebagai film propaganda.



Pada 1930-an film-film dokumenter yang diproduksi lebih banyak film-film dokumenter propaganda, baik dari pihak pemerintah ataupun pihak swasta.  Pada dasawarsa tersebut, Jerman di bawah pemerintahan Partai Nazi membuat film-film dokumenter yang diprakarsai oleh Leni Riefenstahl. Beberapa film diproduksi misalnya Triumph of the Wheel (1935) dan Olympia (1938).  Setelah peristiwa di Pearl Harbor, Pemerintah Amerika Serikat melalui Pentagon meminta sutradara terkemuka dari Colombia Pictures yaitu Frank Capra untuk membuat serangkaian film propaganda. Tujuannya untuk menyemangati para tentara Amerika mengapa negara mereka berada dalam perang dan mengapa mereka wajib untuk membantu negara-negara asing dalam perang melawan negara-negara fasis seperti Jerman, Italia dan Jepang.  Frank Capra sendiri bergabung dengan militer dengan pangkat mayor.  Frank sudah menonton Triumph of the Will karya Leni Riefenstahl. Diputuskannya bahwa cara terbaik untuk membakar semangat tentara Amerika Serikat adalah dengan menggambarkan kekuatan musuh. Frank Capra mengombinasikan rekaman yang diambil dari bahasa Jerman dengan materi dari pihak Sekutu. Akhirnya dibuatlah film seri yang berjudul Why We Fight yang terdiri dari tujuh film yaitu Prelude to War (1942), The Nazis Strike (1942), Divide and Conquer (1943), The Battle of Britain (1943) , The Battle of Russia (1943), The Battle of China (1944) dan pada tahun 1945 diproduksi film yang terakhir berjudul War Comes to America (Thompson dan Bordwell, 2003 : 313).



Setelah Perang Dunia II, banyak ahli ilmu pengetahuan alam dan sosial berbondong-bondong menggunakan film sebagai media untuk presentasi hasil riset mereka. Hasilnya tidak tampak sebagai laporan riset, bahkan lebih terlihat bentuk ekspresi yang berbeda dari film-film fiksi. Beberapa ahli tersebut adalah Jacques-Yves Cousteau, seorang oseanografer Perancis bernama membuat dua film berjudul The Silent World (1956) dan World Without Sun (1964).  Tahun 1950 film etnografi dihidupkan kembali oleh seorang antropolog Amerika bernama John Marshall. Standar yang lebih profesional mulai diterapkannya melebihi standar yang digunakan oleh Robert Flaherty. Mereka mulai mencari dan mendekati suku-suku di berbagai negara.  Penekanan filmnya adalah drama kehidupan suku-suku tersebut juga benturan manusia dengan alamnya. John Marshall yang dibantu oleh antropolog Robert Gardner membuat film The Hunters (1956) yang menceritakan kebiasaan suku asli padang pasir Kalihari. Mereka mengikuti anggota suku tersebut yang berburu jerapah. Film ini dianggap menganut tradisi Robert Flaherty. Robert Gardner sendiri melanjutkan membuat film antropologi berjudul Dead Birds (1963) yang menceritakan tentang suku Dani di Papua saat mereka bertempur dalam sebuah peperangan.



Pada tahun 1946, antropolog muda Perancis bernama Jean Rouch sudah menggunakan kamera 16mm saat penelitian pertamanya ke Niger. Pada kunjungan berikutnya dibawanya pula alat perekam suara yang portabel.  Pengaruh Jean Rouch mulai terasa dan dainggap kontroversial saat membuat film The Mad Masters (1957).  Bahkan saat berada di Ghana pada tahun 1955, dia meminta Para pendeta sekte Hauka untuk memfilmkan upacara yang mereka lakukan. Jean Rouch mendapatkan hasil upacara yang hiruk pikuk, anggota sekte dalam kondisi trans, anggota sekte dengan busa di mulut serta anggota yang sedang memakan anjing.  Film ini seperti mentasbihkan potret Benua Afrika yang primitif. Padahal siang harinya para anggota sekte tersebut bekerja sebagai buruh pelabuhan atau penggembala ternak.  Dalam ritual itu, seseorang bisa menjadi kapten tentara, gubernur, perempuan Perancis yang elegan dan sebagainya. Tesis doktor Jean Rouch berpendapat bahwa mereka memarodikan penguasa kolonial. Walaupun ditentang di berbagai negara, namun Jean Rouch justru membuat film berikutnya Me, a Black Man (1959),  bercerita tentang orang-orang di Pantai Gading yang secara sadar meniru kehidupan barat (Thompson dan Bordwell, 2003 : 482-483).



Dengan sedikit paparan sejarah di atas, film dokumenter sangat wajar bila dianggap sangat dengan riset.  Harus diakui bahwa banyak peneliti yang menggunakan kamera film atau video sebagai instrumen untuk mengumpulan data dalam tahap observasi. Tidak sedikit pula yang mengolah footage hasil observasi itu menjadi film. Mereka yang berprofesi peneliti sangatlah wajar memanfaatkan alat untuk mepermudah tugas mereka.  Dalam banyak buku-buku ajar tentang produksi dokumenter juga banyak yang mencantumkan riset sebagai salah satu tahapan yang harus dilalui.  Akan tetapi, perlu diingat bahwa antara meriset dan membuat film adalah dua hal yang berbeda. Masing-masing memiliki cara dan aturan yang berbeda.


II. PERMASALAHAN.



Dialog dosen dan mahasiwa di kelas tersebut merupakan fenomena yang hingga sekarang masih terjadi, setidaknya di negara Indonesia.  Kedekatan film dokumenter dengan penelitian etnografi juga tidak dapat dipungkiri.  Tidak seharusnya budaya dan kaidah riset peneliti yang membuat film, menjadikan pembuat film terpenjara dalam mendapatkan ide untuk film mereka. Masih banyak yang bingung dalam mencari ide lalu mengolah ide tersebut.  Kebanyakan dari pembuat film lebih repot melakukan riset dibanding memastikan ide mereka. Setidaknya ada dua pertanyaan mengenai ide dan hubungannya dengan riset.

1.     Ide seperti apakah yang sebaiknya digunakan dalam membuat film dokumenter?

2.     Bagaimana hubungan ide dengan riset dalam produksi sebuah film dokumenter?


III. BAHAN DAN METODE


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan datanya menggunakan teknik observasi, wawancara dan studi kepustakaan.  Informan yang diwawancara adalah Aria Kusuma Dewa sebagai sutradara dan penulis skenariodari film-filmnya sendiri.  Observasi dilakukan sejak tahun 1994 hingga sekarang. Pada tahun 1994, penulis mulai berkecimpung dalam produksi film dokumenter. Pada masa tersebut penulis menjalani profesi sebagai juru tulis skenario, penulis transkrip wawancara, pencatat materi syuting dan juga menjadi editor film. Oleh karena itu, instrumen dalam melakukan observasi tersebut tentu saja diri penulis sendiri. Sedangkan pada pengumpulan data yang menggunakan studi kepustakaan, penulis lebih banyak mendapatkannya dari buku-buku tentang cara menulis karya sastra dan karya non-fiksi. Buku-buku film yang mengulas tentang ide sangatlah sedikit yang bisa didapatkan sebagai bahan pengumpulan data penilitian ini.



Untuk teknik analisisnya akan digunakan teknik analisis kualitatif yang menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah. Lebih jauh akan digunakan teknik analisis mendalam (in-depth analysis) dengan mengkaji permasalahannya secara Tujuan dari teknik ini bukan suatu generalisasi tetapi pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah (Moleong, 2007 : 307-308).



IV.  PEMBAHASAN TENTANG IDE



Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi ide ada dua. Pertama, rancangan yang tersusun di dalam pikiran. Kedua, perasaan yang benar-benar menyelimuti pikiran. Dalam banyak buku, pelatihan film maupun ruang-ruang diskusi kreatif, ide bisa didapatkan denganbanyak cara, kapanpun dan di manapun tempatnya. Seorang pembuat film, bisa mendapatkan ide untuk filmnya darifenomena yang dilihat dan didengar; membaca tulisan orang lain; diskusi dengan orang lain; rekreasi atau memanfaatkan waktu luang; bertanya dan mendengar pertanyaan orang lain; mengamati dan melibatkan diri dengan kegiatan tertentu; bahkan menonton film yang dibuat orang lain.Namun yang paling banyak adalah pengalaman hidup diri sendiri atau ide-ide yang muncul di sekitar pembuat film. Seperti yang dilakukan oleh Francois Truffaut yang membuat film 400 Blows berdasarkan pengalaman masa kecilnya.



Untuk menjawab permasalahan pertama, dapat dilihat dari jawaban pertama tentang meraih ide yaitu pengalaman hidup. Tentunya pengalaman hidup pembuat filmnya. Dalam kehidupan seseorang, sebenarnya banyak fenomena yang mereka alami dan pahami.  Akan tetapi terkadang pengalaman hidup yang telah mereka pahami tersebut dianggap tidak lagi menarik untuk diangkat menjadi film. Akhirnya banyak pembuat film yang mengangkat permasalahan yang mereka anggap menarik. Dengan kata lain ada pembuat film, terutama para pemula seringkali terlalu terkonsentrasi untuk menghadirkan ide-ide yang bombastis. Namun sayangnya banyak permasalahan itu jauh dari jangkauan pemahamannya.Dengan kata lain, seorang pembuat film tidak bisa dalam kondisi tahu saja namun harus dalam kondisi paham terhadap idenya. 


Ada garis yang tegas antara kondisi tahu dan kondisi paham. Secara harfiah tahu berarti mengerti akan sesuatu yang diperoleh karena seorang pembuat film melihat, mendengar, mengalami suatu hal dan sebagainya. Seseorang mendapatkan suatu pengetahuan dengan menggunakan metode empiris dan merekamnya di dalam ingatannya. Sedangkan paham berarti bahwa berpengetahuan banyak yang selaras dalam pikiran dan perasaan sebelum mengolahnya. Dalam kondisi paham, seseorang mampu meletakkan segala pengetahuannya pada porsi dan tempatnya, bahkan mampu menjelaskan kembali kepada orang lain.



Salah satu cara untuk memeriksa tingkat pemahaman seseorang tentang suatu permasalahan adalah menggunakan brainwriting atau pemetaan pikiran (mind mapping). Caranya adalah menuangkan semua hal yang diketahui sampai tidak ada lagi yang bisa dituliskan. Menurut Joyce Wycoff, pemetaan pikiran seringkali dapat menjamin seseorang menata gagasannya (Hernowo, 2003 : 137). Kalaupun pembuat film tidak langsung dapat menata gagasannya, paling tidak kondisi itu dapat memperlihatkan tingkat pemahaman seseorang terhadap ide atau permasalahan yang akan diangkat menjadi film.



Ide seringkali tidak dapat begitu saja diolah menjadi karya film. Banyak pula ide yang harus diolah terlebih dahulu agar dapat dirubah atau diselaraskan dengan cerita yang akan disusun.  Hal ini seperti yang dilakukan oleh Aria Kusuma Dewa, sutradara yang membuat film Identitas. Film tersebut diilhami oleh pengalamanya saat ditangkap Satuan Polisi Pamong Praja karena lupa membawa KTP.  Ide tersebut diolah sedemikian rupa hingga terbentuk menjadi cerita yang sangat berbeda dari ide awalnya. Menurutnya ide itu ada di sekitar kita. Mulai dari sepasang suami-isteri yang bertengkar mengenai biaya sekolah anaknya, tetangga yang menggunjingkan tentang tetangga lainnya, guru honorer yang juga berprofesi pengemudi ojek daring dan lain sebagainya. 


Sekali lagi, ketika hendak membuat film, seseorang sebaiknya dalam posisi paham terhadap permasalahan atau ide yang mau diangkat. Selain itu, agar dapat mengembangkan ide tersebut seorang pembuat film dituntut memiliki akar pengetahuan serta wawasan mengenai materi yang dibuatnya atau sesuatu yang menjadi objeknya (Pranoto, 2006 : 17).  Juga perkembangan ilmu pengetahuan dan fenomena di dalam masyarakat yang terjadi pada masa kini juga harus diikuti untuk memperluas wawasannya (Sofyan, 2006 : 77). Pada masa sekarang ini sarananya justru sangatlah banyak untuk bisa menambah pengetahuan dan wawasan.  Sarana yang lebih dahulu muncul seperti buku, majalah, film, televisi dan sebagainya masih bisa digunakan. Apalagi sarana yang sudah umum digunakan sekarang ini yaitu internet. Pembuat film dapat menjelajahi pengetahuan yang begitu luasnya secara lebih mudah. Kedua hal sangat membantu pembuat film dalam kemampuan kognitifnya. Namun ada hal yang lain yang harus dimiliki saat pematangan ide, di mana pembuat film harus bersikap terbuka.  Artinya siap menerima rangsangan dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal), baik berupa masukan, kritikan dan sebagainya (Sofyan, 2006 : 79).



Dalam pembuatan sebuah film, ada masa di mana muncul ide-ide lain di benak pembuat film.  Oleh karena itu dibutuhkan pengaturan ide agar tidak mengganggu ide yang sedang digarap. Pertama, pembuat film harus setia terhadap ide yang sedang digarap. Kedua, ide baru yang muncul cukup dicatat di tempat lain agar tidak mengganggu ide yang sedang digarap. Bila satu garapan film telah selesai, maka aksi selanjutnya adalah melakukan pendataan dan pengelompokan ide-ide yang telah dicatat. Pengelompokan atau klasifikasi ide itu dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu ide utama dan pendukung ide utama. Hal tersebut harus dipraktikan secara berulang dan terus-menerus agar menjadi bagian dari perilaku pembuat film (Tabroni, 2007 : 35-37).



V. POSISI RISET DALAM PEMBUATAN FILM



Mengulas kembali tentang pembuat film yang mendapatkan ide yang menarik dan bombastis tetapi tidak dipahami.  Tidak ada yang salah bila pembuat film dalam posisi tersebut.  Agar film tetap dapat dibuat, maka ada satu cara yang dapat digunakan agar ide tersebut dapat dipahami.  Cara itu adalah riset atau penelitian terhadap ide tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 1213), riset berarti penyelidikan suatu masalah secara bersistem, kritis dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian mendapatkan fakta yang baru atau melakukan penafsiran yang lebih baik. Sedangkan menurut Sutrisno Hadi yang  merupakan seorang penulis buku-buku tentang metodologi penelitian, penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan dengan menggunakan prosedur dan metode-metode ilmiah (Alhamda, 2016 : 1).



Disebutkan dalam Buku Ajar Metlit dan Stastistik karya Syukra Alhamda bahwa tujuan atau fungsi riset ada empat yaitu memperoleh pemahaman tentang suatu masalah atau fenomeno; menjelaskan masalah atau fenomena; meramalkan fenomena yang mungkin akan terjadi di masa depan; dan mengontrol fenomena sosial (Alhamda, 2016 : 17-18). Sedangkan dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif, Lexy J. Moleong memaparkan mengenai fungsi dan pemanfaatan penelitian kualitatif.  Ada sekitar limabelas poin yang beliau paparkan, akan tetapi setidaknya ada empat poin yang mengulas tentang fungsi riset untuk memahami sesuatu.  Antara lain beliau menyebutkan bahwa riset memiliki fungsi untuk memahami isu-isu yang sensitif; memahami isu-isu yang rumit serta prosesnya; memahami isu-isu yang rinci tentang situasi dan realitas yang sedang dihadapi oleh seseorang; dan terakhir yaitu untuk memahami fenomena yang sampai sekarang belum diketahui (Moleong, 2007 : 7).



Kalau dilihat dari definisi dan fungsi atau tujuan dari sebuah riset setidaknya adalah untuk memahami suatu masalah atau fenomena.  Kalau ditarik ke wilayah pembuatan film dokumenter, maka fungsi riset adalah untuk membuat paham tentang ide atau masalah yang akan diangkat menjadi sebuah film. Semakin rendah tingkat pemahaman pembuat film terhadap ide dan permasalahanya, maka semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk riset. 


Dengan tegas dapat dikatakan bahwa fungsi riset adalah untuk membuat paham terhadap permasalahan yang akan diangkat ke dalam filmkan. Jadi tidak menjadi keharusan untuk melakukan riset ketika akan membuat film.  Kesalahan pemikiran ini paling sering terjadi ketika akan membuat film dokumenter. Kebanyakan pembuatnya seperti memiliki kewajiban untuk melakukan riset sebelum membuat film mereka. Padahal ide untuk membuat film tidak harus sesuatu yang dianggap menarik saja.  Akan tetapi ide yang akan dibuat film juga dapat tentang hal-hal yang sudah dipahami seperti keseharian orang tua, hobi, tradisi yang biasa diikuti atau bahkan tentang keseharian diri kita sendiri. Untuk ide-ide yang seperti itu riset justru tidak diperlukan lagi.



Permasalahan yang paling serius adalah dalam pembuatan film dokumenter. Riset yang dilakukan untuk memahami permasalahan, seringkali tidak lengkap. Tahapan yang paling sering dilakukan hanya sampai tahap pengumpulan data saja. Baik hanya wawancara ataupun studi dokumen. Padahal ada tahapan lain yang seharusnya dilakukan. Kalau dikelompokan secara umum, setidaknya masih ada tahapan klasifikasi data; verifikasi data bila diperlukan; analisis data; dan terakhir yaitu  laporan riset.



Maraknya penggunaan teknologi video digital pada akhir 1990-an menjadi salah satu momentum penting dalam pembuatan film, terutama film dokumenter.  Bisa dibilang bahwa pada masa itulah banyak pembuat film mulai menggunakan kamera video ketika melakukan riset. Baik ketika wawancara atau ketika observasi.  Memang tidak ada yang melarang membawa kamera video ketika melakukan riset . Akan tetapi hal itu seringkali membuat bias tujuan dari riset.  Apakah proses penggunaan kamera video tersebut berfungsi untuk riset atau  untuk shooting filmnya?  Bila keperluannya untuk wawancara, maka alat perekam suara dan catatan lapangan sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk mendapatkan data.  Sedangkan bila tujuannya untuk observasi, kamera foto juga sangat cukup sebagai gambaran data riset.  Sebab bila keperluannya untuk shooting, maka pada tahap tersebut pembuat filmnya belum memiliki skenario sebagai acuan pengambilan gambar dan suara.



Ada beberapa permasalahan yang muncul karena kesalahan di atas.  Pertama, penulisan skenario yang cenderung hanya formalitas.  Banyak penulis skenarionya tidak memahami teknis penulisan skenario untuk film dokumenter. Treatment atau skenario dokumenter yang dibuat lebih cenderung berisi rangkuman data riset yang telah dikumpulkan. Akhirnya skenario atau treatment tersebut tidak dapat menjadi panduan untuk shooting dan cenderung diabaikan oleh camera person atau sinematografernya. Yang terjadi kemudian adalah bahwa gambar dan suara yang diambil saat shooting adalah semua peristiwa, semua setting dan semua subjek yang diasumsikan penting oleh sinematografer atau camera person.  Shooting dengan cara di atas sering disebut “shooting sapu jagat”,bila menggunakan anekdot yang muncul adalah

Kedua, setelah melakukan observasi dan/atau wawancara menggunakan kamera video, umumnya sutradara dan produser langsung menyerahkan materi yang didapatkan kepada editor.  Seringkali pula sang editor tidak lagi melakukan logging materiyaitu pencatatan terhadap gambar dan suara yang didapatkan saat observasi. Bahkan data wawancara yang didapatkan juga tidak dicatat ulang (transkrip wawancara). Kebanyakan editor pun langsung memotong dan menyusun data wawancara yang dibutuhkan.  Dikarenakan skenario atau treatment yang telah dibuat tidak dapat menjadi acuan untuk editing, maka editor yang akhirnya mereka-reka cerita film tersebut. Dengan kata lain, yang akhirnya membuat cerita film tersebut adalah editor.



Setelah laporan riset selesai, data tidak begitu saja dapat difilmkan.  Banyak pembuat film dokumenter langsung membuat skenario hanya menggunakan ide dasar dan tidak jarang disertai data-data yang didapatkan dari riset yang belum lengkap tahapannya. Sebenarnya ide dasar data-data riset tersebut harus dikerucutkan terlebih dahulu agar pembahasannya bisa lebih fokus. 


Ide dasar atau data-data riset seharusnya dirubah menjadi ide pokok atau premis lebih dahulu. Ide pokok dirumuskan dalam satu kalimat pernyataan yang merupakan sebuah kalimat perenungan yang ingin disampaikan oleh pembuat film kepada penontonnya.  Bobot ide pokok sangat dipengaruhi kedalaman pemikiran dan keluasan jangkauannya. Semakin mendalam pemikirannya, juga semakin luas jangkauan pemikirannya, maka akan semakin universal hasil renungan yang ingin disampaikan kepada penonton. Hal ini yang diharapkan menjadikan semakin berbobot ide pokoknya (Armantono dan Paramitha, 2013 : 30). Sedangkan dianggap premis sebagaiya jantung cerita sebuah film yang pasti menggambarkan ide film tersebut secara komprehensif.  Premis inilah yang nantinya akan mengatur konsep film dan biasanya dibuat dalam kalimat yang paling sederhana (Costello, 2004 : 38). Terkadang dituliskan secara abstrak oleh seorang penulis skenario dalam wujud moral, filosofis, spiritual ataupun intelektual  (Dethridge, 2003 : 50).

Setelah memiliki ide pokok, langkah selanjutnya adalah menetapkan tema atau logline. Apabila ide pokok merupakan sebuah kalimat perenungan, maka tema adalah formulasi cerita dalam satu atau dua kalimat pernyataan yang menjelaskan isi atau inti film tersebut (Armantono dan Paramitha, 2013 : 24). Bila premis merupakan kalimat abstrak, maka logline adalah kalimat kongkrit yang menggambarkan film tersebut. Definisi sederhananya dapat dimengerti melalui sebuah pertanyaan, yaitu : “Film yang dibuat bercerita tentang apa?“ Logline dapat membantu seseorang yang sedang membuat film untuk mempertahankan fokus penceritaannya (McCutcheon, 2014 : 17).



Dalam film fiksi, yang perlu diperhatikan dalam membuat logline adalah film ini tentang siapa? (karakter); apa yang diinginkan atau yang menjadi tujuan karakter? (goal); dan yang terakhir, usaha apa yang dilakukan karakter untuk mencapai tujuannya? (konflik) (McCutcheon, 2014 : 17).  Sedangkan kalau diadaptasi ke dalam film dokumenter, maka logline dapat diformulasikan menjadi film ini tentang apa atau siapa? (subjek);  apa yang diinginkan atau yang menjadi tujuan dari subjek? (goal); dan yang terakhir, usaha apa atau proses seperti apa yang dilalui karakter subjek? (permasalahan).



Sangat mungkin dalam film dokumenter, subjek filmnya bukan satu orang tetapi lebih dari satu orang.  Bisa juga subjek filmnya benda yang kongkrit, seperti rumah, cangkir, terminal; juga dapat berupa benda yang abstrak misalnya strategi perang, ideologi dan sebagainya.



Beberapa contoh dari ide pokok dan tema dari film-film yang dibuat dengan berbagai subjeknya.



1.   Bila subjeknya seseorang tentang seseorang atau kelompok orang  yang melakukan suatu tindakan tertentu maka penulisan temanya adalah “tentang seseorang atau kelompok orang yang melakukan sesuatu”.



Contoh I

Judul          : Quicky

Ide Pokok  : Mencari jalan lain untuk hidup.

Tema          :

Seorang sarjana yang menjadi pengusaha dengan mendirikan kedai unik dan

murah di sebuah kampus.



Premis       : Bertahan Hidup.

Logline        :

Tentang seorang sarjana yang membuka warung unik dan murah di kampus almamaternya sebagai alternatif untuk mengatasi sulitnya mendapatkan pekerjaan di ibukota.  



Contoh II

Judul          : Suara Dari Pesisir.

Ide Pokok  : Suara kami dari pinggir laut.

Tema          :

Tentang masyarakat Muara Gembong yang terkena dampak abrasi air laut dan tidak diperhatikan oleh pemerintah setempat.

 


Premis       : Di Balik Kebisuan Pinggiran Laut.

Logline       :

Tentang upaya masyarakat Muara Gembong mengatasi sendiri permasalahan dampak abrasi di wilayah mereka dan tidak pernah lagi berharap penanganan pemerintah daerah setempat.



Contoh III

Judul          : Nggela Manggo

Ide Pokok  : Rumah kedua para perantau.

Tema          :

Tentang perkumpulan para perantau dari Nggela, Ende - Nusa Tenggara Timur di Jabodetabek yang mengadakan pertemuan setiap dua bulan dan menganggap perkumpulan tersebut sebagai rumah kedua mereka.



Premis       : Rumah Kedua.

Logline        :

Tentang perkumpulan para perantau dari Nggela, Ende - Nusa Tenggara Timur yang berada di Jabodetabek di mana mereka menganggap menganggap perkumpulan tersebut sebagai rumah kedua karena mereka dapat melepas rindu pada kampung halamannya ketika berkumpul setiap dua bulan sekali.


2.   Bila subjeknya tentang sesuatu yang kongkrit ataupun abstrak, maka cara penulisan temanya adalah “tentang sesuatu yang terpaparkan seperti ini”.



Contoh I

Judul          : Rambu Solok.

Ide pokok  : Upacara penyempurnaan kematian

Tema          :

Tentang ritual mengantarkan jenazah menuju tempat peristirahatan terakhir bersama leluhur.


Premis       : Menyempurnakan kematian

Logline       :

Tentang tahapan upacara Rambu Solo beserta fungsi dan filosofinya sebagai ritual mengantarkan jenazah menuju peristirahatan terakhir di mana mereka akan bersatu dengan para leluhurnya.



Contoh II

Judul          : Oma(h) Singgah.

Ide Pokok  : Tempat penampungan sementara para lansia.

Tema          :

Tentang rumah singgah yang menjadi tempat tinggal sementara para waria berusia lanjut.


Premis       : Rumah terakhir waria lanjut usia.

Logline       :

Tentang rumah singgah yang menjadi tempat tinggal sementara parawaria yang berusia senja, diceritakan usaha mereka menghadapi hidup mereka sehari-hari bersama-sama dan upaya untuk membuat rumah singgah mereka menjadi yayasan.




Setelah itu diseleksi aspek-aspek mana saja yang akan dimasukkan ke dalam story line. Yang perlu diingat adalah ketika membuat sinopsis harus digunakan “bahasa filmis” yaitu deskripsi secara visual peristiwa yang nantinya akan disajikan di dalam film.  Unsur suara boleh dituliskan apabila sangat penting.  Penggunaan “bahasa filmis” bertujuan agar potensi visual dari permasalahan yang diangkat dapat lebih dimunculkan terlebih dahulu. Tujuannya agar tidak tumpang tindih informasi – informasi visual dan informasi verbal – yang nantinya akan disampaikan di dalam film.  “Bahasa filmis”  ini perlu terus diingatkan agar ketika penulisan treatment ataupun skenario, sehingga antara unsur visual dan unsur suara dapat lebih berimbang serta terjaga fungsinya masing-masing.



VI.  KESIMPULAN



Simpulan dari pembahasan di atas adalah bahwa pembuat film harus berada pada tingkat paham terhadap ide dan permasalahannya ketika  hendak membuat film terutama film dokumenter.  Ketika ide dan permasalahannya kurang atau tidak dipahami, maka dibutuhkan riset.  Artinya salah satu fungsi riset dalam fungsi yang luas adalah untuk membuat paham terhadap sesuatu. Dalam melakukan riset, metode dan prosedurnya harus dipatuhi sehingga data-data yang didapatkan adalah data-data “matang”. Diharapkan dengan pemahaman yang tinggi terhadap ide dan permasalahannya, pembuat film tidak lagi mengandalkan dan menyandarkan filmnya pada informasi verbal, baik dalam bentuk dialog maupun wawancara.  Unsur visual juga akhirnya kembali pada tempatnya dalam bahasa sinematik.  Misalnya dalam film dokumenter, unsur visual tidak lagi hanya sebagai pelengkap wawancara belaka.  Artinya unsur visual dan unsur suara memiliki peran masing-masing di dalam sebuah film.



VII. DAFTAR PUSTAKA



Buku :



Alhamda, Syukra, Buku Ajar Metlit dan Stastistik, (Yogyakarta, Deepublish : 2016).


Armantono, RB dan Paramitha, Suryana, Skenario: Teknik Penulisan Struktur Cerita Film, (Jakarta, FFTV-IKJ Press : 2013).


Costello, John, Writing a Screenplay, (Harpenden, Pocketessentials : 2004).


Dethridge, Lisa, Writing Your Screenplay, (Crows Nest, Allen and Unwin : 2003).


Hernowo, Quantum Writing : Cara Cepat Nan Bermafaat Untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis, (Bandung, Penerbit MLC : 2003).


McCutcheon, Pamela S., Writing the Fiction Synopsis : a Step by Step Approach, (Memphis, Bell Bridge Books : 2014).


Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosda Karya : 2007).


Pranoto, Naning, Creative Writing : 72 Jurus Seni Mengarang, (Jakarta, Primamedia Pustaka : 2006).


Rabiger, Michael, Directing The Documentary, (Burlington, Focal Press: 2004).


Sofyan, Ahmadi, Jangan Takut Menulis, (Jakarta, Prestasi Pustakaraya Publisher : 2006).

Tabroni, Roni, Proses Kreatif Menulis Di Media Massa : Dari Memburu Ide Hingga Menjaring Media, (Bandung, Penerbit Nuansa : 2007).


Thompson, Kristin dan Bordwell, David, Film History: An Introduction, (New York, McGraw-Hill : 2003)


Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa - Departemen Pendidikan Nasional : 2008).


Sumber lain :


Wawancara dengan Aria Kusuma Dewa di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan pada tanggal 23 September 2012.





Catatan :


Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Imaji Edisi 10, Nomor 2 pada halaman 93-102. Diterbitkan pada bulan Juli 2018 oleh Fakultas Film dan Televisi – Insitut Kesenian Jakarta.

ISSN 1907-3097

123 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page