top of page

TERMINOLOGI DASAR: FILM

Diperbarui: 1 Feb 2022

Hampir setiap orang di dunia ini pastinya mengenal film. Setiap harinya sudah hampir dipastikan ada saja film yang diproduksi. Akan tetapi secara definisi ternyata menjadi tidak mudah karena ada beberapa istilah yang serupa. Terminologi film sendiri setidaknya merujuk pada dua hal. Pertama, bahan tipis yang dapat digulung dan memiliki lubang perforasi yang sering disebut film seluoid. Kedua, hasil perekaman menggunakan film seluloid yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Selain itu ada terminologi lain yang merujuk pada pengertian serupa dengan film yaitu cinema (sinema) dan movie. Oleh karena itu, setidaknya perlu dijelaskan posisi terminologi-terminologi di atas.


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan dalam bioskop). Selain itu juga dianggap sebagai lakon dari cerita gambar hidup.[1]


Bila mencoba melihat buku Filmmaker’s Dictionary yang disusun oleh Ralph Singleton, setidaknya ada lima pengertian yang merujuk pada kata film. Pertama, bahan transparan yang fleksibel, memiliki lubang dan dapat digulung. Berbahan daar selulosa triasetat dan besi oksida yang dilapisi emulsi peka cahaya. Kedua, bahan untuk merekam gambar yang bergerak. Ketiga, gambar bergerak. Keempat, secara umum berhubungan dengan bioskop. Kelima, bahan untuk membuat gambar bergerak.[2]


Sedangkan Virginia Oakey tidak jauh berbeda, yaitu bahan baku selaput tipis berbasis emulsi yang dilapisi asetat. Pada bagian tepi terdapat lubang perforasi. Digunakan untuk membuat imaji fotografi ketika terkena cahaya di kamera. Strip film juga digunakan ketika diproyeksikan melalui proyektor. Makna lain dari film adalah kata lain dari movie atau gambar bergerak.[3]


Dalam Brewer's Cinema: A Phrase and Fable Dictionary, dijelaskan bahwa film adalah selapis selulosa yang berlapis emulsi peka cahaya. Misalnya seperti yang digunakan dalam fotografi diam dan fotografi yang bergerak. Istilah ini di Inggris juga biasa digunakan untuk merujuk pada gambar bergerak. Sedangkan kata movie lebih umum digunakan di AmerikaSerikat.[4]


Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa film memiliki dua pengertian. Pertama, film adalah bahan baku seluloid yang wujudnya berupa selaput tipis dan berfungsi sebagai ruang penyimpananan hasil perekaman gambar. Kedua, film merupakan sebuah pertunjukan dalam wujud gambar yang bergerak atau gambar hidup.


Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa film juga memiliki nama lain yaitu sinema dan movie. Pembedaan peristilahan di atas secara tajam dilakukan oleh James Monaco dalam buku How to Read a Film yang diterjemahkan oleh Asrul Sani dengan judul Cara Menghayati Sebuah Film. Monaco memisahkan ketiga kata tersebut dengan konteksnya masing-masing.


Istilah movie lebih mengarah pada aspek ekonomi.[5] Beliau menjelaskan bahwa awal pemutaran cinématographe oleh Lumière Bersaudara di Paris, sudah ada aspek ekonomi. Masyarakat yang ingin menonton pertunjukan tersebut harus membayar 1 Franc Perancis. Negara Perancis sendiri juga memunculkan pengusaha bernama Charles Pathé. Setelah melihat pertunjukan yang dilakukan oleh Georges Méliès, Pathé merasa bahwa tontonan tersebut dapat diproduksi lebih banyak. Menggandeng seniman dari Amerika Serikat bernama Ferdinand Zecca, Charles Pathé melatih banyak orang untuk menjadi kamerawan, pemain, sutradara, dan set dekorator. Charles Pathe banyak mendistribusikan film-filmnya ke Amerika Serikat dan Eropa. Produknya memunculkan wabah nickleodeon di Amerika Serikat. Nickleodeon sendiri adalah tempat petunjukan seperti bioskop yang sangat sederhana. Dikelola oleh imigran Yahudi dari Eropa Barat. Mereka membuat tempat hiburan tersebut untuk para imigran yang menjadi pekerja kelas bawah, terutama para imigran dari Eropa Timur. Oleh karena itu, Charles Pathé dianggap sebagai peletak dasar industri film.


Istilah sinema (cinema) merujuk pada aspek estetika karya-karya dari para pembuat film.[6] Teknologi film yang berkembang, terus-menerus melahirkan eksperimentasi. Hampir bersamaan dengan Lumière Bersaudara, para fotografer di wilayah Brighton, Inggris membuat banyak film. Kumpulan mereka sering disebut dengan Brighton School. Walaupun teknologinya masih sederhana namun pencapaian teknis mereka banyak yang masih digunakan hingga sekarang. Pertengahan dekade 1910-an, para seniman di Eropa seperti di Perancis, Jerman, Italia dan negara-negara Skandinavia juga banyak melakukan eksperimen. Misalnya saja di Perancis, perusahaan Gaumont sudah mengadaptasi novel (Film D’art). Sineas di Swedia mengangkat keindahan alam di negaranya. Sineas Denmark menceritakan alam Afrika yang dibuat di studio dalam film-film mereka.


Para seniman seni rupa di beberapa negara Eropa Barat bahkan ada yang menggunakan sinema sebagai pengganti media kanvas. Sebut saja Hans Richter dan Walter Ruttman dari Jerman; Luis Bunuel dan Salvador Dali dari Spanyol; serta Louis Delluc, Abel Gance, Germaine Dulac, Marcel L'Herbier dan Jean Epstein dari Perancis. Mereka akhirnya melahirkan gerakan dalam perfilman seperti film impresionisme, ekspresionisme, film dada, film surealisme, sinema murni (pure cinema), film abstrak dan sebagainya.


Istilah yang ketiga adalah film, yang merujuk pada aspek politik. James Monaco memandang bahwa, pemilihan pendekatan realisme oleh seorang sutradara, umumnya bertujuan untuk mengurangi jarak antara subjek di dalam film dengan penontonnya. Sutradara juga bisa menggunakan pendekatan ekspresionisme untuk mengarahkan penonton agar tercapai perubahan pemikiran. Keputusan estetis tersebut pada dasarnya bersifat politis. Sangat kentara bahwa rujukannya adalah keterhubungan antara sutradara, subjek film, media film dan penontonnya.[7]


James Monaco menambahkan bahwa setiap film yang dipertontonkan mengandung setidaknya satu dari tiga hal. Pertama, tingkat ontologis yaitu kandungan nilai dalam film yang cenderung membongkar nilai-nilai tradisional kebudayaan. Kedua, tingkat mimetis yaitu bahwa film merupakan cerminan realitas atau bisa juga melahirkan kembali realitas. Ketiga, tingkat inheren yaitu sifat komunikatif film yang sangat padat memberikan suatu dimensi politik yang wajar pada hubungan antara film dan penontonnya.


Walaupun sedikit berbeda, para sutradara New Wave dari Perancis memiliki pendapat yang justru menguatkan pendapat James Monaco tersebut. Sutradara bernama Jean Luc Godard pernah menyatakan bahwa setiap seni film yang diproduksi merupakan hasil dari struktur masyarakat di mana senimannya hidup dan seorang seniman harus terlibat dalam masalah-masalah sosial-politik bukan dalam artian tradisional. Perbedaan pandangannya adalah bahwa menurut mereka seni hanya memiliki satu fungsi yaitu untuk menghibur manusia. Keberadaan seniman adalah untuk mengatur fungsi seni tersebut. Terutama pada masa sekarang, di mana anggota masyarakat yang memiliki waktu senggang bertambah banyak.[8]



[1] Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 414. [2] Ralph Singleton, Filmmaker’s Dictionary (Los Angeles : Lone Eagle Publishing Co. 1990), hal. 70. [3] Virginia Oakey, Dictionary of Film and Television Terms, (New York: Barnes & Noble. 1983), hal. 116. [4] Jonathan Law (Ed.), Brewer's Cinema: A Phrase and Fable Dictionary (London: Cassell 1995), hal. 197. [5] James Monaco, Penerjemah Asrul Sani, Cara Menghayati Sebuah Film (Jakarta: Yayasan Citra 1984), hal. 238. [6] Ibid., hal. 258. [7] Ibid. hal. 261. [8] David Albert Peransi, Film/Media/Seni (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005), hal.119-120.

166 tampilan0 komentar
bottom of page