Mendefiniskan film dokumenter bisa dibilang mudah, bisa dibilang sulit. Menjadi mudah bila hanya merujuk pada objeknya yaitu tokoh, ruang dan peristiwanya adalah nyata (tidak direkayasa). Tetapi bisa menjadi sulit ketika aspek kenyataan tersebut membutuhkan ilustrasi agar penonton bisa mendapatkan gambaran utuh filmnya. Seringkali ilustrasi tersebut mengharuskan pembuat film dokumenter merekonstruksi peristiwa atau mengambil stock-shot (dari pembuat filmnya sendiri atau orang lain). Penulis pertama kali mendengar definisi dokumenter dari seorang guru di Institut Kesenian Jakarta bernama R.B. Armantono. Dalam sebuah perkuliahan, beliau pernah memaparkan bahwa film dokumenter adalah suatu dokumentasi yang diolah secara kreatif dan bertujuan untuk mempengaruhi (mempersuasi) penontonnya. Dengan definisi ini, film dokumenter seringkali menjadi sangat dekat dengan film-film yang bernuansa propaganda.[1]
Pertama kali terminologi ini dinyatakan oleh John Grierson yang kemudian dianggap sebagai “Bapak Dokumenter Inggris dan Kanada”. Pernyataannya yang terkenal bahwa film dokumenter merupakan perlakuan kreatif terhadap aktualitas (creative treatment of actuality).[2] Pernyataan ini diungkapkan ketika beliau mengulas film Moana karya Robert Flaherty. Ulasan tersebut dimuat pada harian The New York Sun tanggal 8 Februari 1926.[3] Definisi film dokumenter ini juga diulang kembali dalam esai beliau yang berjudul First Principle of Documentary yang dipublikasikan oleh Cinema Quaterly pada tahun 1932 hingga 1934.[4] Beliau memberi pandangan bahwa cara bercerita Robert Flaherty dalam film-filmnya tidak lagi mendongeng seperti yang dilakukan oleh Studio Hollywood. Beberapa definisi dari beberapa referensi di bawah ini hanya mencoba memberi gambaran terhadap definisi film dokumenter.
Bila dilihat lebih luas, definisi Film Dokumenter pada banyak kamus atau ensiklopedia film terlalu menyederhanakan. Misalnya saja Ralph Singleton yang menyatakan bahwa dokumenter merupakan film yang merekam peristiwa sebenarnya yang menggunakan orang yang sebenarnya dan bukan aktor. [5] Brewer's Cinema: a Phrase and Fable Dictionary mendefiniskan film dokumenter sebagai sebuah film yang lebih menggambarkan fakta daripada fiksi.[6] Dalam The Film Encyclopedia, Ephraim Katz menyatakan bahwa dalam arti luas, dokumenter adalah film faktual menggambarkan peristiwa aktual dan orang-orang yang sebenarnya (nyata).[7] Sedangkan menurut Virginia Oakey dalam Dictionary of Film and Television Terms memaknai bahwa film dokumenter sebagai sebuah film yang menggambarkan peristiwa atau kejadian non-fiksi. Difilmkan di tempat kejadian sebenarnya (on-the-spot) dan disajikan dari sudut pandang tertentu. Bertujuan untuk memberikan informasi atau memberi opini terhadap subjek atau masalah tertentu[8].
Gerzon R. Ayawaila dalam bukunya yang berjudul Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi mendefinisikan film dokumenter sebagai film yang mendokumentasikan atau mempresentasikan kenyataan.[9] Dalam buku Documentary Storytelling, Sheila Curran Bernard menyatakan bahwa dokumenter adalah media membawa pemirsa ke dunia dan pengalaman baru melalui suguhan informasi faktual tentang manusia, ruang dan peristiwa yang nyata. Umumnya disajikan melalui penggunaan gambar dan artefak yang sebenarnya.[10]
David Bordwell, Kristin Thompson dan Jeff Smith dalam buku mereka yang berjudul Film Art : an Introduction. Mereka menyinggung dalam buku teraebut bahwa film dokumenter adalah film yang membuat penontonnya berharap bahwa tokoh, ruang dan peristiwa yang diperlihatkan kepada mereka itu memang otentik ada atau sudah terjadi. Selain itu informasi yang disajikan tentang permasalahan yang diangkat dapat dipercaya.[11]
William H. Phillips dalam bukunya Film: an Introduction mencoba menjelaskan lebih mendalam tentang definisi ini. Menurutnya, film dokumenter disebut juga sebagai film nonfiksi dan mengacu pada representasi film atau video dari subjek yang sebenarnya (bukan imajinasi). Pembuat film dokumenter memilih sendiri subjek film yang akan dibuat. Juga memilih cara pembuatannya. Mereka bisa membuat film dari footage yang mereka ambil; bisa membuat film dari footage yang sudah ada (stock-footage atau stock-shot); atau menggabungkan kedua jenis footage tersebut. Terkadang pembuat film dokumenter melakukan staging atau membuat pengadeganan kembali untuk membuat ulang peristiwa yang sudah terlewat. Biasanya mereka mengedit footage yang sudah dihasilkan. Mengutip dari Bill Nichols yang sempat menyinggung bahwa dokumenter tidak selalu menggunakan aspek teknik seperti dalam pembuatan film fiksi; terkadang tidak selalu membahas satu subjek atau masalah tertentu; dan bahkan tidak selalu menampilkan bentuk film atau gaya film tunggal.[12]
Frank Eugene Beaver dalam Dictionary of Film Term : The Aesthetic Companion to Film Analysis, film dokumenter adalah film nonfiksi. Biasanya diambil di lokasi yang sebenarnya dan menggunakan orang yang sebenarnya (bukan aktor). Permasalahan yang diangkat secara tematis adalah sejarah, ilmiah, sosial atau lingkungan. Tujuan utama pembuat film dokumenter adalah untuk memberi informasi, mencerahkan, mendidik, membujuk dan juga memberikan wawasan tentang dunia tempat kita hidup.[13]
Frank Beaver juga mengutip dari World Union of Documentary yang mendefinisikan film dokumenter sebagai film yang metode pembuatan filmnya merekam segala aspek realitas. Objek pengambilan gambarnya adalah segala sesuatu yang bersifat faktual. Terkadang dapat dibenarkan menggunakan rekonstruksi (pemeragaan) yang baik. Tujuan penggunaan hal ini adalah untuk beberapa alasan. Pertama, supaya filmnya menjadi lebih menarik karena dapat melibatkan aspek emosi penonton. Kedua, untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman penonton. Ketiga, untuk memberikan solusi permasalahan dalam film tersebut, baik dalam bidang ekonomi, budaya dan hubungan antar manusia.[14]
Warren Buckland menyebutkan setidaknya ada tiga aspek yang harus dipenuhi agar sebuah film dapat dapat disebut dokumenter. Pertama, peristiwa di dalam filmnya seharusnya tidak direkayasa dan dapat memberi lebih dari apa yang direkam. Dalam film fiksi, peristiwa direkam untuk tujuan yang jelas yaitu sebagai ekpresi di dalam film. Sedangkan dalam film dokumenter peristiwa-peristiwa itu secara alamiah memiliki kebebasan dan terpisah dari perekayasaan peristiwa di dalam sinema. Hal inilah yang memperlihatkan keotentikan peristiwanya. Kedua, film dokumenter secara konvensional dipahami sebagai film non-fiksi. Dengan kata lain harus dapat dibedakan secara jelas dengan film fiksi. Dunia yang digambarkan di dalam film dokumenter adalah dunia nyata bukan imajiner. Ketiga, sering diasumsikan bahwa pembuat film dokumenter hanya mengamati dan merekam secara obyektif peristiwa–peristiwa nyata.[15]
Setidaknya ada dua hal yang bisa diambil dari berbagai pendapat di atas. Pertama, sesuatu yang merupakan fakta dan nyata (real). Unsur-unsur film dokumenter seperti subjek, ruang dan peristiwa harus otentik ada atau pernah ada serta bukan imajinasi. Kedua, aspek perekayasaan. Film dokumenter sudah seharusnya meniadakan aspek rekayasa di dalamnya. Hal inilah yang kemudian mentasbihkan film dokumenter sebagai salah satu film non-fiksi. Juga memberi batas yang jelas dengan film fiksi. Walaupun banyak film fiksi berdasarkan fakta, akan tetapi biasanya ada unsur perekayasaan melalui imajinasi pembuatnya.
Penggunaan rekonstruksi (pemeragaan) di dalam film dokumenter dapat dibenarkan dengan tujuan memberikan ilustrasi ruang, subjek dan peristiwa yang terjadi agar penonton dapat memahami peristiwanya secara utuh. Terutama bila peristiwanya sudah terlewat, ruangnya sudah tidak ada atau subjeknya juga sudah tidak ada.
---
[1] Perkuliahan R.B. Armantono: Penulisan Skenario Film Dokumenter dan Iklan di Fakultas Film dan Televisi – Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1996. [2] Michael Rabiger, Directing the Documentary, Edisi Keempat, (Burlington: Focal Press. 2004). hal. 4. [3] Ephraim Katz, The International Film Encyclopedia, (London : Macmillan Publishers. 1980). hal 345. [4] Frank Eugene Beaver, Dictionary of Film Term : The Aesthetic Companion to Film Analysis, (New York: Twayne Publishers. 1994 ). hal. 120. [5] Ralph S. Singleton, Filmmaker’s Dictionary, (Los Angeles : Lone Eagle Publishing Co. 1990). hal. 50. [6] Brewer's Cinema: A Phrase and Fable Dictionary. (London: Cassell.1995). hal.164. [7] Ephraim Katz,. Documentary. The Film Encyclopedia 7th Edition: The Complete Guide to Film and the Film Industry, (New York: Collins Reference. 2012). hal. 604. [8] Virginia Oakey, Dictionary of Film and Television Terms, (New York: Barnes & Noble. 1983) hal. 56. [9] Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi.. (Jakarta: FFTV-IKJ Press. 2008). hal. 11. [10] Sheila Curran Bernard, Documentary Storytelling, Edisi Kedua, (Burlington : Focal Press. 2007). hal. 2. [11] David Bordwell, Kristin Thompson dan Jeff Smith, Film Art : an Introduction, Edisi Kesebelas (Chicago: MacGraw-Hill. 2017). hal. 351. [12] William H. Phillips, Film: an Introduction, (London: Palgrave Macmillan. 2009). hal. 364. [13] Frank Beaver, Dictionary of Film Terms: The Aesthetic Companion to Film Analysis, (New York: Twayne Publisher. 1994). hal. 119. [14] Ibid., hal. 120. [15] Warren Buckland, Film Studies, (Chicago: MacGraw-Hill. 2003). hal. 103.
Commenti