top of page

My Items

I'm a title. ​Click here to edit me.

PEMAHAMAN TENTANG FILM DOKUMENTER

PEMAHAMAN TENTANG FILM DOKUMENTER

Mendefiniskan film dokumenter bisa dibilang mudah, bisa dibilang sulit. Menjadi mudah bila hanya merujuk pada objeknya yaitu tokoh, ruang dan peristiwanya adalah nyata (tidak direkayasa). Tetapi bisa menjadi sulit ketika aspek kenyataan tersebut membutuhkan ilustrasi agar penonton bisa mendapatkan gambaran utuh filmnya. Seringkali ilustrasi tersebut mengharuskan pembuat film dokumenter merekonstruksi peristiwa atau mengambil stock-shot (dari pembuat filmnya sendiri atau orang lain). Penulis pertama kali mendengar definisi dokumenter dari seorang guru di Institut Kesenian Jakarta bernama R.B. Armantono. Dalam sebuah perkuliahan, beliau pernah memaparkan bahwa film dokumenter adalah suatu dokumentasi yang diolah secara kreatif dan bertujuan untuk mempengaruhi (mempersuasi) penontonnya. Dengan definisi ini, film dokumenter seringkali menjadi sangat dekat dengan film-film yang bernuansa propaganda. [1] Pertama kali terminologi ini dinyatakan oleh John Grierson yang kemudian dianggap sebagai “Bapak Dokumenter Inggris dan Kanada”. Pernyataannya yang terkenal bahwa film dokumenter merupakan perlakuan kreatif terhadap aktualitas ( creative treatment of actuality ). [2] Pernyataan ini diungkapkan ketika beliau mengulas film Moana karya Robert Flaherty. Ulasan tersebut dimuat pada harian The New York Sun tanggal 8 Februari 1926. [3] Definisi film dokumenter ini juga diulang kembali dalam esai beliau yang berjudul First Principle of Documentary yang dipublikasikan oleh Cinema Quaterly pada tahun 1932 hingga 1934. [4] Beliau memberi pandangan bahwa cara bercerita Robert Flaherty dalam film-filmnya tidak lagi mendongeng seperti yang dilakukan oleh Studio Hollywood. Beberapa definisi dari beberapa referensi di bawah ini hanya mencoba memberi gambaran terhadap definisi film dokumenter. Bila dilihat lebih luas, definisi Film Dokumenter pada banyak kamus atau ensiklopedia film terlalu menyederhanakan. Misalnya saja Ralph Singleton yang menyatakan bahwa dokumenter merupakan film yang merekam peristiwa sebenarnya yang menggunakan orang yang sebenarnya dan bukan aktor. [5] Brewer's Cinema: a Phrase and Fable Dictionary mendefiniskan film dokumenter sebagai sebuah film yang lebih menggambarkan fakta daripada fiksi. [6] Dalam The Film Encyclopedia , Ephraim Katz menyatakan bahwa dalam arti luas, dokumenter adalah film faktual menggambarkan peristiwa aktual dan orang-orang yang sebenarnya (nyata). [7] Sedangkan menurut Virginia Oakey dalam Dictionary of Film and Television Terms memaknai bahwa film dokumenter sebagai sebuah film yang menggambarkan peristiwa atau kejadian non-fiksi. Difilmkan di tempat kejadian sebenarnya ( on-the-spot ) dan disajikan dari sudut pandang tertentu. Bertujuan untuk memberikan informasi atau memberi opini terhadap subjek atau masalah tertentu [8] . Gerzon R. Ayawaila dalam bukunya yang berjudul Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi mendefinisikan film dokumenter sebagai film yang mendokumentasikan atau mempresentasikan kenyataan. [9] Dalam buku Documentary Storytelling , Sheila Curran Bernard menyatakan bahwa dokumenter adalah media membawa pemirsa ke dunia dan pengalaman baru melalui suguhan informasi faktual tentang manusia, ruang dan peristiwa yang nyata. Umumnya disajikan melalui penggunaan gambar dan artefak yang sebenarnya. [10] David Bordwell, Kristin Thompson dan Jeff Smith dalam buku mereka yang berjudul Film Art : an Introduction . Mereka menyinggung dalam buku teraebut bahwa film dokumenter adalah film yang membuat penontonnya berharap bahwa tokoh, ruang dan peristiwa yang diperlihatkan kepada mereka itu memang otentik ada atau sudah terjadi. Selain itu informasi yang disajikan tentang permasalahan yang diangkat dapat dipercaya. [11] William H. Phillips dalam bukunya Film: an Introduction mencoba menjelaskan lebih mendalam tentang definisi ini. Menurutnya, film dokumenter disebut juga sebagai film nonfiksi dan mengacu pada representasi film atau video dari subjek yang sebenarnya (bukan imajinasi). Pembuat film dokumenter memilih sendiri subjek film yang akan dibuat. Juga memilih cara pembuatannya. Mereka bisa membuat film dari footage yang mereka ambil; bisa membuat film dari footage yang sudah ada ( stock-footage atau stock-shot ); atau menggabungkan kedua jenis footage tersebut. Terkadang pembuat film dokumenter melakukan staging atau membuat pengadeganan kembali untuk membuat ulang peristiwa yang sudah terlewat. Biasanya mereka mengedit footage yang sudah dihasilkan. Mengutip dari Bill Nichols yang sempat menyinggung bahwa dokumenter tidak selalu menggunakan aspek teknik seperti dalam pembuatan film fiksi; terkadang tidak selalu membahas satu subjek atau masalah tertentu; dan bahkan tidak selalu menampilkan bentuk film atau gaya film tunggal. [12] Frank Eugene Beaver dalam Dictionary of Film Term : The Aesthetic Companion to Film Analysis , film dokumenter adalah film nonfiksi. Biasanya diambil di lokasi yang sebenarnya dan menggunakan orang yang sebenarnya (bukan aktor). Permasalahan yang diangkat secara tematis adalah sejarah, ilmiah, sosial atau lingkungan. Tujuan utama pembuat film dokumenter adalah untuk memberi informasi, mencerahkan, mendidik, membujuk dan juga memberikan wawasan tentang dunia tempat kita hidup. [13] Frank Beaver juga mengutip dari World Union of Documentary yang mendefinisikan film dokumenter sebagai film yang metode pembuatan filmnya merekam segala aspek realitas. Objek pengambilan gambarnya adalah segala sesuatu yang bersifat faktual. Terkadang dapat dibenarkan menggunakan rekonstruksi (pemeragaan) yang baik. Tujuan penggunaan hal ini adalah untuk beberapa alasan. Pertama , supaya filmnya menjadi lebih menarik karena dapat melibatkan aspek emosi penonton. Kedua , untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman penonton. Ketiga , untuk memberikan solusi permasalahan dalam film tersebut, baik dalam bidang ekonomi, budaya dan hubungan antar manusia. [14] Warren Buckland menyebutkan setidaknya ada tiga aspek yang harus dipenuhi agar sebuah film dapat dapat disebut dokumenter. Pertama , peristiwa di dalam filmnya seharusnya tidak direkayasa dan dapat memberi lebih dari apa yang direkam. Dalam film fiksi, peristiwa direkam untuk tujuan yang jelas yaitu sebagai ekpresi di dalam film. Sedangkan dalam film dokumenter peristiwa-peristiwa itu secara alamiah memiliki kebebasan dan terpisah dari perekayasaan peristiwa di dalam sinema. Hal inilah yang memperlihatkan keotentikan peristiwanya. Kedua , film dokumenter secara konvensional dipahami sebagai film non-fiksi. Dengan kata lain harus dapat dibedakan secara jelas dengan film fiksi. Dunia yang digambarkan di dalam film dokumenter adalah dunia nyata bukan imajiner. Ketiga , sering diasumsikan bahwa pembuat film dokumenter hanya mengamati dan merekam secara obyektif peristiwa–peristiwa nyata. [15] Setidaknya ada dua hal yang bisa diambil dari berbagai pendapat di atas. Pertama , sesuatu yang merupakan fakta dan nyata ( real ). Unsur-unsur film dokumenter seperti subjek, ruang dan peristiwa harus otentik ada atau pernah ada serta bukan imajinasi. Kedua , aspek perekayasaan. Film dokumenter sudah seharusnya meniadakan aspek rekayasa di dalamnya. Hal inilah yang kemudian mentasbihkan film dokumenter sebagai salah satu film non-fiksi. Juga memberi batas yang jelas dengan film fiksi. Walaupun banyak film fiksi berdasarkan fakta, akan tetapi biasanya ada unsur perekayasaan melalui imajinasi pembuatnya. Penggunaan rekonstruksi (pemeragaan) di dalam film dokumenter dapat dibenarkan dengan tujuan memberikan ilustrasi ruang, subjek dan peristiwa yang terjadi agar penonton dapat memahami peristiwanya secara utuh. Terutama bila peristiwanya sudah terlewat, ruangnya sudah tidak ada atau subjeknya juga sudah tidak ada. ---
[1] Perkuliahan R.B. Armantono: Penulisan Skenario Film Dokumenter dan Iklan di Fakultas Film dan Televisi – Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1996.

[2] Michael Rabiger, Directing the Documentary , Edisi Keempat, (Burlington: Focal Press. 2004). hal. 4.

[3] Ephraim Katz, The International Film Encyclopedia , (London : Macmillan Publishers. 1980). hal 345.

[4] Frank Eugene Beaver, Dictionary of Film Term : The Aesthetic Companion to Film Analysis , (New York: Twayne Publishers. 1994 ). hal. 120.

[5] Ralph S. Singleton, Filmmaker’s Dictionary, (Los Angeles : Lone Eagle Publishing Co. 1990). hal. 50.

[6] Brewer's Cinema: A Phrase and Fable Dictionary . (London: Cassell.1995). hal.164.

[7] Ephraim Katz,. Documentary. The Film Encyclopedia 7th Edition: The Complete Guide to Film and the Film Industry , (New York: Collins Reference. 2012). hal. 604.

[8] Virginia Oakey, Dictionary of Film and Television Terms , (New York: Barnes & Noble. 1983) hal. 56.

[9] Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi .. (Jakarta: FFTV-IKJ Press. 2008). hal. 11.

[10] Sheila Curran Bernard, Documentary Storytelling, Edisi Kedua, (Burlington : Focal Press. 2007). hal. 2.

[11] David Bordwell, Kristin Thompson dan Jeff Smith, Film Art : an Introduction , Edisi Kesebelas (Chicago: MacGraw-Hill. 2017). hal. 351.

[12] William H. Phillips, Film: an Introduction , (London: Palgrave Macmillan. 2009). hal. 364.

[13] Frank Beaver, Dictionary of Film Terms: The Aesthetic Companion to Film Analysis , (New York: Twayne Publisher. 1994). hal. 119.

[14] Ibid., hal. 120.

[15] Warren Buckland, Film Studies , (Chicago: MacGraw-Hill. 2003). hal. 103.

ANALISIS HERMENEUTIKA FILM DOKUMENTER "SHORT CUT"

ANALISIS HERMENEUTIKA FILM DOKUMENTER "SHORT CUT"

ABSTRAK Film Short Cut  terasa biasa saja sebagai film dengan tipe observational documentary. Film ini bercerita tentang kelihaian seorang barber yang sedang memotong rambut seorang perempuan. Keunikannya adalah bahwa barber tersebut bertato dan bertindik. Metode penelitian yang akan digunakan dalam pengamatan ini metode penelitian kualitatif. Sumber datanya adalah film Short Cut  yang disutradarai oleh Luigi Rizzo. Teknik pengumpulan datanya menggunakan studi kepustakaan dan dokumen, sedangkan analisis datanya menggunakan analisis hermeneutika radikal dari Jacques Derrida. Penggunaan teori tersebut menegaskan untuk tidak menilai seseorang dari penampilannya. Karena barber itu sangat piawai dalam menjalankan profesinya ketika mencukur rambut seorang perempuan. Selain itu, juga terungkap bahwa sang barber memiliki profesi lain. Kata Kunci:  observational documentary , barber, hermeneutika radikal I. PENDAHULUAN Short Cut merupakan film dokumenter dengan durasi sekitar 2 menit 37 detik. Film tersebut disutradarai oleh Luigi Rizzo yang menceritakan seorang barber (pencukur rambut) dengan penampilan yang nyentrik dan urakan. Barber tersebut mengenakan kemeja dengan motif kotak-kotak kecil yang bagian lengannya digulung setengah. Selain itu, beberapa bagian tubuhnya terdapat piercing serta tato yang bergambar tokoh kartun, burung hantu, dan kapal. Luigi Rizzo sebagai sutradara memperlihatkan secara detail keterampilan barber dalam memotong rambut. Beberapa kali sinematografernya memperlihatkan detail-detail gambar untuk menunjukkan keahliannya dalam mencukur rambut. Tidak seperti biasanya, film ini adalah tidak menggunakan wawancara, narasi ( voice-over commentary ), dan intertitle . Tampak sekali bahwa penekanannya adalah menghadirkan peristiwa sebagai representasi langsung dari kehidupan manusia. Tentu saja hal itu sah saja sebagai sebuah karya film.Bila dilihat dalam kehidupan sehari-hari, barber yang memotong rambut seorang perempuan umumnya berjenis kelamin perempuan. Bila barber-nya seorang laki-laki, biasanya memiliki sifat lembut perempuan yang kental. Bahkan pada beberapa salon kecantikan, barber-nya adalah transgender. Hal-hal di atas sudah menjadi stereotip di masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah bagaimana pembuat film menunjukkan berbagai aspek di balik segala sesuatu yang terlihat dan terdengar di dalam film Short Cut tanpa kehilangan aspek estetikanya? II. METODE PENELITIAN Metode penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan dalam pengamatan ini. Sumber datanya adalah film berjudul Short Cut yang didapatkan dari media daring YouTube. Teknik pengumpulan datanya akan menggunakan studi dokumen dan studi kepustakaan. Data-data tersebut akan dikumpulkan melalui tinjauan literatur-literatur pada masa sekarang. Sementara, teori yang digunakan untuk analisis adalah teori hermeneutika dari Jacques Derrida. Hal tersebut bertujuan untuk membuka maksud dan makna yang terkandung di dalam film tersebut. III. TINJAUAN TEORI Untuk membahas film Short Cut , penulis pastinya membutuhkan teori sebagai pisau analisisnya. Selain untuk meletakan objek penelitiannya agar dapat dipetakan dengan jelas, juga untuk membedahnya. Untuk membedah film ini, penulis menggunakan teori hermeneutika radikal dari Jacques Derrida. Sementara, untuk memetakan estetika filmnya akan dibantu dengan teori yang dikemukakan oleh David Bordwell, Kristin Thompson, dan Jeff Smith. Teori estetika ini tertuang dalam buku Film Art: An Introduction . Selain itu, juga ada beberapa teori yang berkaitan dengan film dokumenter. Teori Hermeneutika Jacques Derrida Dalam buku Seni Memahami , F. Budi Hardiman mengakui telah memaksakan teori dekonstruksi Derrida sebagai bagian dari hermeneutika. Alasannya adalah bahwa dekonstruksi juga menjadi salah satu cara dalam membaca teks. Karena rumitnya penjelasan tentang dekonstruksi, maka Hardiman meminjam penjelasan Martin McQuillan untuk membantunya menjelaskan teori tersebut. McQuillan menemukan bahwa dekonstruksi adalah sebentuk interpretasi teks, tetapi interpretasi itu tidak sama dengan yang sudah banyak dipahami orang selama ini. Dekonstruksi merupakan interpretasi teks secara radikal dan dapat disebut “hermeneutika radikal”. Menurut McQuillan ada lima strategi untuk memahami dekonstruksi. Pertama, kata “cara” atau “metode” sebenarnya tidak tepat untuk dekonstruksi. Derrida telah menyebutkan “ pas de methode ” atau tidak ada metode. Kedua, dekonstruksi berkaitan dengan kontaminasi oposisi biner atau pasangan makna yang berlawanan. Contohnya adalah pria-wanita, kultur-natur, maskulin-feminin dan lain-lain. Kemudian oposisi biner itu menjadi wanita-pria. Dekonstruksi menempuh dua tahap oposisi biner yang kemudian harus dibalikkan. Contoh-contoh di atas tadi kemudian setelah dibalik menjadi wanita-pria, natur-kultur, dan feminin-maskulin. Setelah dibalik, seluruh sistem pemikiran yang didikte oposisi biner itu harus disingkirkan, sehingga istilah-istilah dalam oposisi biner itu dipikirkan tanpa pemikiran biner lagi (Hardiman 278-279). Ketiga, dekonstruksi tertarik dengan hal-hal yang terpinggirkan. Dalam oposisi-oposisi biner, seperti pria/wanita dan rasional/emosional ada istilah yang berada di pusat dan ada yang di pinggiran atau marjinal. Dekonstruksi tertarik dengan yang marjinal, misalnya wanita, emosional, terbelakang, dll. Hal tersebut bukan untuk membela mereka, tetapi untuk membiarkan bahwa marjinalisasi — dan juga sentralisasi — menjadi proses yang tidak konsisten dengan dirinya sendiri (Hardiman 270-280). Keempat, dekonstruksi selalu berkaitan dengan sejarah. Artinya, dekonstruksi berciri historis, tetapi ciri tersebut tanpa sejarah. Konsep-konsep kesejarahannya tidak menginduk ke masa lalu, tetapi membiarkan hal-hal tersebut terkait dengan masa lalunya. Setiap istilah memiliki sejarahnya sendiri dan sudah diperlihatkan bahwa istilah-istilah yang diunggulkan juga tidak stabil, karena memiliki jaringan dengan hal-hal lain. Misalnya istilah subjek yang memiliki perbedaan pemahaman dalam teologi Yahudi dan Kristiani, Rene Descartes dengan cogito -nya, dan juga menurut Sigmund Freud atau Jacques Lacan (Hardiman 281). Kelima, tidak ada yang bebas teks karena dekonstruksi tidak membedakan antara teks dan konteks. Semua yang dianggap konteks sebenarnya berada di dalam teks dan dapat diakses langsung. Dalam pembacaan dekonstruktif makna teks mengacu pada rangkaian jejak-jejak, yaitu konteks-konteks di dalam teks itu yang memberi teks itu makna (Hardiman 281-282). Dekonstruksi berbeda dengan hermeneutika normal karena mengandaikan tiadanya makna asli sebuah teks dan juga ketidakmungkinan keutuhan makna teks. Oleh karena itu, sebuah teks dapat diinterpretasi sampai tidak terhingga dan karena itu pula dekonstruksi disebut hermeneutika radikal (Hardiman 285). Menurut Derrida, makna dalam hermeneutika radikal selalu ditangguhkan dengan munculnya kemungkinan- kemungkinan makna lain. Oleh karena itu, tindakan memahami juga tidak pernah dipastikan, karena memahami itu sendiri merupakan kegiatan penangguhan. Hermeneutika radikal membiarkan makna tidak pernah definitif. Pertanyaan, “apakah makna teks dipahami?” akan dijawab dengan provokasi bahwa teks itu dipahami sekaligus tidak pernah dipahami. Karena cara-cara baca lain akan menangguhkan klaim pemahaman yang telah dicapai (Hardiman 306) Teori Estetika Film Estetika film dalam jurnal ini menggunakan teori yang ada dalam buku Film Art: An Introduction . Buku ini ditulis oleh David Bordwell, Kristin Thompson, dan Jeff Smith yang lebih mengarah pada teori produksi film. Ada beberapa aspek yang coba dipetakan oleh mereka dengan menyebutnya sebagai tipe, jenis, bentuk, dan gaya film. A. Tipe Film Pada klasifikasi ini, mereka melihat bahwa film bisa dikelompokan berdasarkan sumber ide atau cara menuangkan idenya. Penggunaan sumber ide secara imajinasi disebut film fiksi, sedangkan sumber ide yang berasal dari fakta disebut sebagai film dokumenter. Sementara, tipe film lain adalah film animasi yang cara menuangkan idenya dengan membuat benda mati atau tidak bergerak menjadi seolah-olah hidup. Pengambilan gambarnya dilakukan secara frame by frame dan teknik ini sekarang disebut stop motion (Bordwell et al. 389). Beberapa contoh film animasi adalah film Antz (1998) karya Eric Darnell dan Tim Johnson; Kung Fu Panda (2008) karya John Stevenson dan Mark Osborne; atau seri kartun seperti Scooby-Doo, Where Are You!, Shaun the Sheep, The Flintstones, Si Unyil , Muppet Show, dan sebagainya. Tipe film terakhir adalah film eksperimental atau sering juga disebut avant-garde film . Banyak alasan mengapa film eksperimental dibuat, misalnya ingin mengungkapkan pengalaman pribadi atau sudut pandang tertentu dengan cara tertentu yang eksentrik. Oleh karena itu, tipe ini sering tidak berkompromi dengan pasar seperti film-film fiksi (Bordwell et al. 371). Film eksperimental juga sering melawan tren film-film konvensional dan tidak berusaha ke arus utama ( mainstream ) atau distribusi tradisional. Para pembuat film ini seringkali mendorong media film agar dapat menjelajahi banyak kemungkinan. Kebanyakan film tipe ini dibuat dengan biaya rendah dengan durasi pendek, walaupun ada yang berdurasi panjang. Beberapa contoh dari film eksperimental adalah film Lichtspiel: Opus I (1921) dan Lichtspiel: Opus II (1922) karya Walter Ruttmann; Rhythmus 21 (1921) dan Rhythmus 23 (1923) karya Hans Richter; serta Desistfilm (1954) dan Mothlight (1963) karya Stan Brakhage. B. Jenis Film Klasifikasi kedua adalah jenis film yang di dalam dunia perfilman dikenal dengan genre. Kata yang dari bahasa Perancis ini terkait dengan kata genus dalam ilmu Biologi yang merupakan klasifikasi terhadap tumbuhan dan hewan. Beberapa genre film pada film fiksi adalah film melodrama, komedi, western, detektif, gangster, adventure, road movie, horor, fiksi ilmiah (science fiction), musikal, dan sebagainya (Bordwell et al. 329). Industri film Hollywood adalah yang mengawali munculnya genre dalam film fiksi, karena menyadari bahwa setiap orang memiliki selera filmnya masing-masing. David Bordwell dan kawan-kawannya mencoba membuat klasifikasi terhadap genre film dokumenter, meskipun tidak mendetail. Genre tersebut menurut mereka terdiri dari film kompilasi, film wawancara ( talking-head film ), direct cinema , cinéma-vérité , film alam ( nature ), film potret, atau penggabungan beberapa genre tersebut (356-357). Genre yang dikemukakan di atas terkesan membingungkan, karena mencampuradukkan antara klasifikasi jenis dengan gaya pembuatannya. Ada beberapa teoritisi yang mencoba mengklasifikasikan sebagai genre, misalnya Patricia Aufderheide dalam buku Documentary Film: A Very Short Introduction serta Dave Monahan dan Richard Barsam dalam buku Looking at Movies: An Introduction to Film . Genre film dokumenter oleh Patricia Aufderheide dibagi enam dengan tinjauan representasi realitas subjeknya. Genre tersebut adalah public affair , propaganda pemerintah, advokasi, sejarah, etnografi, dan alam (56-117). Sementara, Dave Monahan dan Richard Barsam membagi genre menjadi empat dari perspektif maksud pembuatannya. Genre tersebut adalah faktual, instruksional, persuasif, dan propaganda (62-63). Bagaimanapun, genre dalam film dokumenter belum menjadi kesepakatan secara umum di dunia film. Klasifikasi yang mulai banyak digunakan adalah papark Bill Nichols yang menggunakan istilah moda film dokumenter. Klasifikasinya adalah poetic documentary, expository documentary, observational documentary, participatory documentary, reflexive documentary, dan performative documentary (Buckland, 153-176). Klasifikasi ini lebih banyak disepakati oleh pembuat film dengan menyebutnya sebagai gaya dokumenter. Poetic documentary adalah cara merepresentasikan realitas melalui rangkaian fragmen; menggunakan impresi yang subjektif; aksi yang tidak koheren; dan asosiasi yang longgar. Moda ini menekankan suasana hati, ritme, dan pengaruh yang lebih dari sekadar menampilkan pengetahuan atau tindakan persuasi. Moda ini tidak menggunakan pendekatan continuity editing serta tidak menampilkan setting waktu dan tempat yang sangat spesifik. Penonton mengikuti alurnya untuk mengeksplorasi asosiasi dan pola yang melibatkan ritme temporal dan jukstaposisi shot (Nichols, 102). Moda kedua adalah expository documentary yang menekankan ciri khasnya pada voice-over commentary yang dikombinasikan dengan rangkaian shot dan bertujuan agar lebih deskriptif serta informatif. Voice-over commentary berisi serangkaian fakta atau argumen yang memberi informasi abstrak, terutama karena tidak dapat dilakukan oleh gambar. Voice-over commentary juga bisa memberi komentar terhadap aksi atau peristiwa dalam gambar yang tidak dipahami penonton (Buckland 156). Observational documentary merupakan film yang tidak ada campur tangan pembuatnya dalam peristiwa yang sedang dibuat. Moda ini dikenal dengan Direct Cinema yang tidak menggunakan voice-over commentary , intertitle , dan wawancara. Penekanannya lebih menghadirkan potongan kehidupan atau representasi langsung dari peristiwa dalam kehidupan. Tujuannya adalah untuk sekadar mengamati peristiwa yang sedang berlangsung. Alasan penekanannya adalah perekaman peristiwa dalam waktu yang sebenarnya ( real time ) (Buckland 161-162). Participatory documentary menuntun penonton saat menyaksikan ‘sejarah dunia’ yang diwakili oleh seseorang. Pembuat film masuk ke dalam frame dan menjadi aktor sosial serta mengkonfigurasi secara argumentatif peristiwanya (Nichols, 116). Kehadiran pembuat film lebih menonjol dibandingkan dengan tiga moda sebelumnya, karena pembuat film berinteraksi langsung dengan orang atau peristiwa yang sedang diangkat. Konten dalam participatory documentary umumnya didasarkan padawawancara yang bertujuan agar memperoleh komentar menarik atau tanggapan khusus dari orang-orang yang difilmkan. Pembuat film dapat menyandingkan atau membandingkan antara satu opini dengan opini lain kepada penonton, sehingga dapat memberi penawaran sudut pandang yang seimbang (Buckland 163-164). Reflexive documentary memiliki ciri yaitu pembuat filmnya mencoba menantang pembuatan film dokumenter sebagai sarana dalam mengungkapkan kebenaran. Moda ini menunjukkan cara pembuatan film dan tidak hanya berpura-pura menghadirkan potongan realitas. Artinya, proses pembuatan film merupakan fokus atau perhatian utama dibanding peristiwanya. Ketika kehadiran pembuat film diketahui penonton dalam participatory documentary , maka reflexive documentary  menunjukkan bahwa proses pembuatan filmnya diketahui oleh penonton (Buckland 169-170) Moda terakhir adalah performative documentary yang berbeda cara menangkap dunianya seperti bentuk dokumenter lainnya. Moda ini berstatus paradoks, karena bertujuan mewakili dunia secara tidak langsung. Performative documentary memunculkan suasana ( mood ) secara tradisional yang ditemukan dalam film fiksi. Tujuannya adalah untuk menyajikan fakta di dalam filmnya secara subjektif, ekspresif, bergaya, menggugah, dan mendalam (Buckland 171-172). C. Bentuk dan Gaya Film ( Film Form and Style ) Klasifikasi ini merupakan satu kesatuan yang dianggap sebagai teori estetika dari David Bordwell dan kawan-kawannya, yaitu bentuk film ( film form ) dan gaya film ( film style ). Bentuk film ( film form ) berkaitan dengan aspek-aspek penceritaan atau naratif. Sementara, gaya film ( film style ) berkaitan dengan aspek-aspek teknis film yang digunakan secara sistematis. a. Bentuk Film ( Film Form ) Bordwell dan kawan-kawannya menyatakan bahwa bentuk film terbagi menjadi dua, yaitu bentuk naratif dan non naratif serta memiliki komponen cerita, plot, subjek atau tokoh, ruang, waktu, dan struktur dramatik. Bentuk naratif diartikan sebagai rangkaian peristiwa di dalam film yang dihubungkan oleh kausalitas (sebab-akibat) serta terjadi di dalam ruang dan waktu (73). Sementara, bentuk non naratif adalah film yang peristiwanya tidak selalu memiliki hubungan dengan sebab-akibat; belum tentu menggunakan tokoh sentral; atau tidak menggunakan ruang dan waktu yang jelas. Dalam film dokumenter, bentuk non naratif diklasifikasikan menjadi categorical form dan rhetorical form . Categorical form adalah ketika pembuat film menggunakan bentuk kategorisasi yang cenderung menggunakan pola pengembangan cerita yang sederhana. Kategorisasinya bisa dari permasalahan kecil ke besar, lokal ke nasional, atau pribadi ke publik (Bordwell et al. 358). Rhetorical form  menyajikan argumen yang eksplisit dan persuasif yang bertujuan untuk membujuk penonton agar setuju dengan opini yang disajikan. Penonton bisa setuju dan bertindak berdasarkan opini tersebut ataupun sebaliknya (Bordwell et al. 364). b. Gaya Film ( Film Style ) Terdapat dua teknik dalam pengaturan pengambilan gambar saat membuat shot , yaitu mise-en-scène  dan sinematografi. Kemudian ada editing yang merupakan pertimbangan teknik ketika menyusun satu shot   ke shot  selanjutnya. Selain itu, terdapat peran suara dalam kaitannya dengan shot   yang menjadi pertimbangan oleh pembuat film (Bordwell et al. 111). ● Mise-en-Scène Mise-en-scène  diambil dari terminologi teater Perancis yang berarti staging on action atau menempatkan aksi di atas panggung. Hal tersebut mengacu pada penataan elemen-elemen visual yang terdapat di dalam frame atau layar (Giannetti 47). Dari semua teknik film, mise-en-scène merupakan aspek yang sangat diperhatikan penonton (Bordwell et al. 112). Contohnya penonton yang terpengaruh dengan gaya rambut tokoh Molly Jensen dalam film Ghost (1991) karya Jerry Zucker. Penonton juga akan mengingat papan skateboard  Marty McFly yang digunakan untuk melarikan diri dari perundung di sekolahnya dalam film Back to the Future  (1985) karya Robert Zemeckis. Mise-en-scène memiliki komponen sebagai sarana pilihan dan kontrol, yaitu setting dan properti; kostum dan makeup ; staging ; dan lighting . Staging  mencakup akting para pemain dan juga gerak saat pengambilan gambar (Bordwell et al. 115). ● Sinematografi Sinematografi merupakan proses pengambilan gambar yang bergerak (Hall 1). Secara harfiah dapat diartikan melukis gerak dengan cahaya, tetapi menurut Blain Brown bisa juga dipahami sebagai proses menulis gerakan dengan cahaya. Prosesnya lebih dari proses fotografi belaka, karena juga harus mengambil ide, kata, aksi, emosi, nada ( tone ), dan semua bentuk komunikasi nonverbal lainnya. Setelah itu diterjemahkan ke dalam bentuk visual. Sementara, teknik sinematografi merupakan keseluruhan metode dan teknik yang digunakan sinematografer untuk menambahkan lapisan makna dan subteks dari konten film, baik permainan aktor, setting, dialog, dan lain-lain (2). Sinematografer akan bekerja sama dengan sutradara ketika membentuk mood dan dari film. Mood  bisa diibaratkan sebagai tujuan dari pencapaian aspek visual yang wujud bisa berupa rasa, suasana, atau nuansa. Sementara, look merupakan instrumen dalam mewujudkan mood yang terdiri dari   framing , camera placement , lighting , tonalitas, dan komposisi visual. Framing Framing   menurut Dave Monahan dan Richard Barsam adalah proses ketika seorang sinematografer menentukan segala sesuatu yang akan muncul di batas frame   pada sebuah shot (429) Wujudnya berupa batas berbentuk persegi panjang yang terjadi karena lensa kamera. Pembuat film bisa menentukan lebar dari persegi panjang itu (Bordwell et al. 181). Framing terdiri dari beberapa aspek, yaitu aspect ratio , type of shot , dan camera angle . Aspect ratio  merupakan perbandingan antara tinggi dan lebar layar atau frame  (Monahan & Barsam 425). Dalam dunia film dan televisi terdapat beberapa macam wujudnya, yaitu 1.33:1 atau 1.375:1 (Academy Standard); 1.66:1 (Europe Widescreen Standard); 1.85:1 (American Widescreen Standard); 2.35:1 sampai dengan 2.45:1 (CinemaScope) (Bordwell et al. 181). Sementara pada penyiaran televisi terdapat 4:3 yang disebut Standard Definition Television dan 16:9 yang dikenal dengan High Definition Television  (Zettl 108). American Widescreen Standard merupakan aspect ratio  yang banyak digunakan sebagai standar film komersial. Framing  juga bisa membuat penonton merasa jauh atau dekat dengan subjek yang dilihat. Aspek framing   ini sering disebut type of shot yang ukurannya skala tubuh manusia dalam suatu shot . Lanskap atau pemandangan kota dari atas biasanya diambil menggunakan extreme long shot . Ketika tokoh dalam film sudah terlihat, namun lanskap sebagai latar belakangnya tetap mendominasi. Setelah itu, ketika pengambilan gambar seseorang dimulai dari lutut sampai kepala, maka framing ini disebut medium long shot   atau knee shot . Sementara medium shot   adalah framing tokoh dari pinggang sampai kepala, sehingga gestur dan ekspresinya lebih tampak. Ukuran shot dari dada ke atas sampai kepala disebut medium close-up , sedangkan close-up  hanya menampilkan bagian kepala, kaki, tangan, atau objek kecil. Tujuannya untuk penekanan ekspresi wajah, detail isyarat, atau objek penting. Ukuran terakhir adalah extreme close-up   yang mengisolasi sebagian wajah dengan memperbesar objek (Bordwell et al. 189). Saat pembuat film melakukan framing  yang berhubungan dengan sudut tertentu pada subjek, hal itu disebut camera angle . Macam-macamnya adalah  eye leve l, high angle , dan low angle . Eye level   adalah camera angle yang posisi lensa kameranya sejajar dengan mata tokoh. High angle merupakan camera angle yang posisi lensa kameranya di atas mata tokoh. Sementara, low angle  adalah camera angle  yang posisi lensa kameranya di bawah dengan mata tokoh. Ada beberapa camera angle khusus yang digunakan oleh pembuat film, yaitu  top angle, bird eye view, frog eye view,  dan dutch angle. Top angle dan bird eye view adalah camera angle yang posisi lensa kameranya di atas mata tokoh secara ekstrem, bahkan top angle posisinya tegak lurus ke bawah. Frog eye view  menggunakan posisi lensa kamera di bawah mata tokoh secara ekstrem. Sementara, dutch angle  adalah ketika framing-nya dimiringkan ke kiri atau kanan dan juga dikenal dengan canted angle atau  crazy angle. Camera Placement Camera placement merupakan peletakan kamera pada titik tertentu yang menjadi keputusan kunci dalam bercerita. Keputusan ini menentukan segala sesuatu yang dilihat penonton, sehingga lebih dari sekadar untuk mendapatkan gambar yang bagus. Segala hal yang tidak dilihat penonton juga sama pentingnya dengan yang mereka lihat (Brown, 302). Camera placement ini berkaitan dengan keputusan dalam menggerakan kamera dan lensanya atau tidak. Ada dua macam yang digunakan oleh pembuat film, yaitu kamera statis ( camera static ) yang dikenal juga dengan still framing dan mobile framing . Terminologi  mobile framing dipilih karena dari aspek kamera yang dapat bergerak bukan hanya badan kameranya, namun lensa juga dapat digerakan. Terutama kalau menggunakan lensa variable focal length atau lebih dikenal dengan lensa zoom . Beberapa macam mobile framing  adalah pan-shot , tilt-shot , track shot , crane shot , handheld camera , dan zooming Tonalitas Tonalitas adalah pertimbangan terhadap cahaya yang digunakan pada film, sedangkan lighting merupakan komponen mise-en-scène yang berhubungan dengan sinematografi. Sinematografer menjadi pihak yang berkewajiban mengatur lighting  pada suatu produksi film, terutama untuk mengontrol tonalitasnya. Tiga aspek tonalitas yang diatur dalam film adalah eksposur ( brightness ), kontras, dan warna (Bordwell et al.159). Kontras adalah pada perbedaan area yang paling gelap dan paling terang pada suatu shot , karena mata penonton sangat peka terhadap perbedaan warna, bentuk, tekstur, dan aspek lain dari sebuah shot . Kontras dalam gambar membantu sinematografer dalam mengarahkan mata penonton ke bagian-bagian penting dari frame . Hal ini dapat memberikan kualitas emosi dan ekspresi pada shot . Kualitas ekspresi dan emosi ini yang mengarah pada mood , seperti gembira, ceria, muram, atau takut (Bordwell et al. 160). Eksposur ( brightness ) dapat dipahami sebagai pengaturan jumlah cahaya yang akan melewati lensa kamera. Terkadang penonton melihat eksposur yang terlalu gelap, misalnya untuk menunjukkan bagian sumur tua yang sudah tidak terpakai. Bisa juga digunakan pada peristiwa yang terlalu terang untuk menggambarkan ruang surga (Bordwell et al. 160). Meskipun demikian, pembuat film akan selalu mencoba eksposur yang seimbang dan sesuai penceritaan dalam film. Sementara, warna adalah unsur rupa yang memberikan nuansa untuk terciptanya karya seni tertentu, sehingga dapat menampilkan karya yang menarik dan menyenangkan (Kurniawan & Hidayatullah 33). Sejak awal, seniman visual sudah memakai warna dengan tujuan simbolis dan mungkin didapatkan melalui kebudayaannya. Implikasinya mungkin mirip bila diterapkan pada masyarakat yang berbeda, namun secara umum cool colors seperti biru, hijau, atau ungu dapat menunjukkan ketenangan dan sikap acuh tak acuh. Warm colors seperti merah, kuning, atau oranye menunjukkan rangsa ngan, agresivitas, atau kekerasan. Warna-warna tersebut cenderung tampak menonjol di bagian gambar (Giannetti 23). Komposisi Visual Komposisi visual adalah penataan segala elemen visual di dalam frame dengan berbagai cara. Tujuannya untuk membuat gambar menjadi utuh, sehingga menarik perhatian penonton dan mereka merasa nyaman. Integrasi antar elemen diperoleh dengan mengkomposisikan massa, cahaya, dan warna. pengaturan yang dilakukan adalah untuk membuat penonton (Ward 10). Ada beberapa komposisi visual yang sering digunakan oleh pembuat film, misalnya rule of thirds, golden ratio, balanced composition, unbalanced composition , dan lain-lain. ● Editing Editing tidak hanya penyambungan shot-shot untuk kebutuhan cerita, namun juga menjadi upaya untuk mengontrol psikologi penonton (Pudovkin, 75). Editing sendiri adalah kekuatan kreatif yang fundamental, karena melalui teknik tersebut, gambar yang tidak berhubungan bisa direkayasa sedemikian rupa sehingga menjadi serangkaian gambar yang tampak hidup (Pudovkin, 25). Sementara, David Bordwell dan rekan-rekannya mengatakan bahwa editing merupakan penyuntingan dan perakitan shot-shot dengan jukstaposisi yang diinginkan pembuat filmnya. Sesudah memotong shot  hingga ukuran yang tepat, lalu editor akan memutuskan shot yang disambungkan (217). Pendekatan editing terdiri dari dua macam, yaitu continuity editing dan alternatives to continuity editing. Continuity editing   merupakan penyusunan shot-shot   yang didukung oleh mise-en-scène , sinematografi, dan berdasarkan kesinambungan cerita (Bordwell et al. 230). Editing tidak hanya penyambungan antar shot , tapi juga mempertimbangkan keterhubungan antar shot -nya (dimensi editing), yaitu dimensi grafis, ritmis, ruang, dan waktu (Bordwell et al. 219). Continuity editing   bertujuan memberikan informasi cerita dengan jelas melalui rangkaian shot   (Bordwell et al. 230). Sementara, fungsi dalam penceritaan adalah untuk menunjang pemilihan on-screen space  dan off-screen space. Pendekatan continuity editing  terbagi menjadi dua aspek besar, yaitu spatial continuity dan temporal continuity. Spatial continuity memperhatikan beberapa persyaratan, yaitu kaidah 180°, establish shot, re-establish shot, screen direction, eyeline match, shot/reverse shot , serta match on action . Sementara, temporal continuity  harus memperhatikan  temporal order (urutan waktu),  temporal frequency  (pengulangan waktu), dan temporal duration (durasi).  Temporal duration  juga dibagi menjadi tiga macam, yaitu story duration   atau rentang waktu peristiwa terjadi; plot duration ;  dan screen duration  atau masa putar di layar (Bordwell et al. 251). Pendekatan kedua adalah alternatives to continuity editing  yang merupakan penyambungan shot-shot  dengan kemungkinan lain dari continuity editing (Bordwell et al. 252). Caranya adalah melanggar satu, dua, atau semua syarat yang menjadi ketentuan dalam pendekatan continuity editing. Ada pembuat film yang menggunakannya dengan sengaja dan ada juga yang filmnya memang tidak memungkin untuk menggunakan continuity editing ,  contohnya film dokumenter atau film eksperimental. ● Suara Suara pada film naratif bisa bersumber dari dalam layar atau luar layar dan bisa juga bersumber dari dalam atau luar ruang cerita. Oleh karena itu, suara selalu menjadi bagian dari ritual menonton film (Phillips 159-189). Tim Harrison menyatakan bahwa suara bisa menjadi instrumen yang ampuh dalam menciptakan perasaan luas suatu lingkungan dalam dimensi cerita (160). William H. Phillips membagi unsur suara menjadi spoken words, sound effects, music , dan silence (162). Sementara, David Bordwell dan rekan-rekannya membagi unsur suara menjadi  speech , music , dan noise  (267). Speech  atau spoken words adalah bentuk suara dengan atributnya yang keluar dari tokoh dalam film. Suara tersebut dapat berwujud dialogue , monologue , dan narration . Dialogue  adalah pembicaraan dari dua orang atau lebih yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, tujuan, dan impian karakter. Secara umum, dialoguemenggunakan percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Monologue atau sejenis dialog yang disampaikan atau diekspresikan oleh satu orang untuk diri sendiri. Sementara, monologue adalah pembicaraan dari satu orang dan yang diekspresikan secara langsung kepada penonton disebut direct address  (Phillips, 162-166). Jenis ketiga adalah narration  yang merupakan komentar atau cerita tentang subjek dalam film dan umumnya dilakukan oleh seseorang di luar ruang cerita (Phillips, 681). IV. PEMBAHASAN Film Short Cut sepintas tampak kurang menarik, karena film-film seperti ini sudah banyak yang membuatnya. Bila ditinjau dari tipe filmnya, film ini adalah film dokumenter dengan bentuk filmnya ( film form ) adalah film non naratif berupa categorical film .  Genre filmnya adalah film faktual ( factual film ) dan moda yang digunakan adalah observational documentary . Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa film dengan moda ini memiliki ciri yang kuat, yaitu pembuat filmnya tidak melakukan intervensi pada peristiwa yang sedang dibuat. Modus dari tipe ini adalah tidak adanya wawancara, voice-over commentary , dan intertitle . Bila dilihat lebih dalam dari komponen bentuk filmnya ( film form ), maka cerita film ini sangat sederhana, yaitu seorang barber laki-laki yang sedang menata rambut pelanggannya. Kebetulan pelanggan tersebut adalah seorang perempuan. Oleh karena itu, subjeknya hanya ada dua, yaitu barber dan pelanggannya.  Story space -nya terjadi di suatu kota dan plot space -nya terjadi di sebuah salon. Film ini menggunakan struktur dramatik yang datar dengan temporal order  yang kronologis tanpa menggunakan temporal frequency . Story duration -nya sekitar 30 menit dengan screen duration 2 menit 37 detik. Pada gaya filmnya ( film style ) film ini tidak menggunakan tiga aspek yang sering digunakan oleh expository documentary , yaitu voice-over commentary, wawancara, atau intertitles . Film ini hanya mengandalkan sound effects saja, seperti gesekan telapak tangan, gesekan dua mata gunting, keheningan dan sebagainya. Suara-suara tersebut dapat memberi nuansa yang hangat dan tenang. Walaupun terkadang loudness dari sound effects saat barber mencukur rambut pelanggannya seringkali diperdengarkan lebih keras dibanding suara lain. Pendekatan editing -nya menggunakan alternatives to continuity editing yang tidak mengindahkan kaidah 180 derajat dan hal ini sangat berpengaruh pada arah pandang dari subjeknya, terutama screen direction dan eyeline match. Shot/reverse shot dan match on action juga tidak digunakan, sehingga cutting -nya terasa melompat-lompat dari satu shot   ke shot   yang lain. Hanya saja editor film ini sangat terampil memainkan ritme dengan mengatur jukstaposisi setiap shot -nya, sehingga penonton tidak merasakan lompatan di setiap penyambungannya. Establish shot  hanya digunakan sekali saat pemotongan rambut selesai. Kekuatan film ini sesungguhnya ada pada mise-en-scène  dan sinematografinya. Pada mise-en-scène , tokoh utama film ini diperlihatkan sebagai figur dengan dandanan nyentrik, namun tetap tampak urakan. Ia berpakaian rapi dengan kostum berupa kemeja bermotif kotak-kotak berwarna biru. Selain itu, ia juga memakai topi homburg di kepalanya. Secara makeup tokoh tersebut memiliki banyak tato serta terdapat piercing di kedua telinganya dan bibirnya. Dari awal film sudah diperlihatkan aksi sang barber yang sangat piawai memainkan guntingnya. Tokoh lain yang menjadi pelanggan adalah seorang perempuan. Hal ini menunjukkan kontradiksi persepsi yang beredar di masyarakat bahwa orang yang urakan dianggap tidak mungkin melakukan pekerjaan yang sifatnya halus. Pada aspek staging ditunjukkan gestur dan mimik yang tenang dari perempuan yang dicukurnya. Hal ini membuktikan bahwa konsumen perempuan tersebut sangat percaya. Pada bagian akhir film, juga diperlihatkan mimik wajah yang sumringah dari pelanggan perempuan ketika selesai dicukur. Hal tersebut memberi arti kepuasan dari tokoh perempuan tersebut. Selain itu, juga menunjukkan bahwa sang barber sudah sangat berpengalaman. Seperti yang dijelaskan oleh Martin McQuillan, setidaknya ada beberapa strategi yang digunakan dalam teori dekonstruksi, yaitu adanya pasangan makna yang berlawanan; terpinggirkan (marjinal); dan berciri historis atau teks tersebut terkait dengan masa lalunya. Dari paparan di atas bisa dilihat bahwa ada ciri historis, yaitu kebanyakan yang mencukur rambut perempuan adalah perempuan juga atau laki-laki yang feminin. Hal tersebut juga membuktikan adanya pasangan makna yang berlawanan. Tentunya barber laki-laki yang tampak urakan seperti ini tidak banyak jumlahnya. Strategi tersebut diperkuat dengan banyaknya penggunaan type of shot berukuran close-up   dan extreme close-up . Balutan change focus lensa kamera juga memperkuat kepiawaian tokoh tersebut dalam mencukur rambut perempuan. Penonton seperti dibiarkan melihat lukisan pointilisme. Dari awal film, penggunaan close-up dan  extreme close-up  tidak memberi kesempatan penonton melihat tempat besar yang menjadi setting ruang tersebut. Setelah semua aksi selesai, kemudian penonton diperlihatkan ruang yang lebih luas menggunakan two shot  yang berwujud medium shot . Dalam film ini juga ditunjukkan beberapa properti yang tidak berkaitan dengan peristiwa mencukur. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa sinematografernya terkadang melakukan change focus pada benda-benda di dekat sang barber, yaitu poster band hardcore-punk asal Amerika Serikat, Bad Brains (Gambar 3) dan bass gitar (Gambar 4). Hal ini dapat menunjukkan identitasnya sebagai pemain bass gitar, baik sebagai hobi ataupun sebagai anggota suatu band hardcore-punk . Bila ingin diinterpretasikan lebih definitif, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh tersebut memiliki dua profesi, yaitu pemain bass gitar pada sebuah band dan barber. Hal ini selaras dengan strategi kelima yang menjelaskan bahwa konteks-konteks di dalam teks itu yang memberi teks itu makna. Bila menggunakan interpretasi dari Derrida, maka pemaknaan yang penulis lakukan di atas sangatlah subjektif. Sangat mungkin pengamat lain bisa melihat dengan lebih jauh dan cermat. Beberapa aspek ilmu film yang penulis sebutkan juga sangat subjektif. Walaupun memang sangat mungkin ada pemaknaan yang sama dengan pengamat lain. Penulis menggunakan pepatah, “Don’t judge a book by its cover” untuk menyimpulkan pesan dari film ini. Tokoh yang terlihat urakan ternyata sangat mampu dan lihai menjalankan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh perempuan. V. SIMPULAN Film Short Cut adalah film dokumenter bergenre film faktual dengan moda  observational documentary .  Film yang berdurasi pendek ini memanjakan penonton dengan sinematografi, editing , dan penataan suara yang baik. Staging    dalam   mise-en-scène -nya juga sangat menunjukkan kepiawaian tokoh dalam mencukur seorang perempuan. Walaupun penampilannya berbanding terbalik penampilan para barber yang ada dalam konvensi masyarakat. Hal ini selaras dengan strategi adanya pasangan makna yang berlawanan; terpinggirkan (marjinal); dan berciri historis atau teks tersebut terkait dengan masa lalunya. Pada sisi lain, pembuat film juga memperlihatkan makna secara implisit bahwa barber tersebut juga berprofesi sebagai pemain bass gitar di suatu band. Sebenarnya sangat mudah menangkap pesan utama film ini, yaitu jangan menilai seseorang dari tampilan luarnya. VII. KEPUSTAKAAN Aufderheide, Patricia. Documentary Film: A Very Short Introduction . Oxford University Press, 2007. Dave, Monahan, and Barsam Richard. Looking at Movies . 7th ed., New York: W.W. Norton & Company, 2021. Bordwell, David, et al. Film Art: An Introduction . 12th ed., New York: McGraw-Hill, 2021. Brown, Blain. Cinematography Theory and Practice: Image Making for Cinematographers and Directors . 3rd ed., New York: Routledge, 2016. Buckland, Warren. Film Studies: An Introduction . 2nd ed.,  London: Teach Yourself Publisher, 2015. Giannetti, Louis.  Understanding Movies . 14th ed., New Jersey: Pearson, 2017. Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015. Harrison, Tim. Sound Design for Film . Lanham: Crowood Press, 2021. Hifni, Ahmad. Hermeneutika Moderat: Teori Penafsiran Teks dalam Pandangan Paul Ricoeur dan Al-Jurjani . Kuningan: Nusa Litera Inspirasi, 2018. Kurniawan, Agung dan Riyan Hidayatullah. Estetika Seni . Yogyakarta: Arttex, 2016. Nichols, Bill.   Introduction to Documentary . Bloomington: Indiana University Press, 2001. Phillips, William H. Film: An Introduction . 12th ed., Boston: Bedford/St. Martin’s, 2009. Pudovkin, Vsevolod Illarionovich. Film Technique and Film Acting . New York: Grove Press Inc., 1960. Susanto, Edi.   Studi Hermeneutika: Kajian Pengantar . Jakarta: Kencana, 2016. Zettl, Herbert. Video Basics . 8th ed.,  Boston: Cengage Learning, 2017. Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Imaji  Volume 15 Nomor 1 pada halaman 28-41. Diterbitkan pada bulan Maret 2024 oleh Fakultas Film dan Televisi – Insitut Kesenian Jakarta. ISSN 1907-3097 DOI: 10.52290/i.v15i1.168 28 | JURNAL IMAJI https://imaji.ikj.ac.id/index.php/IMAJI/article/view/168/145 I: 10.52290/i.v15i1.16828 | JURNAL IMAJI

SEJARAH FILM DOKUMENTER AWAL DUNIA

SEJARAH FILM DOKUMENTER AWAL DUNIA

ABSTRAK Penelitian ini secara kritis bertujuan untuk mempertanyakan kebenaran bahwa film-film Robert Flaherty adalah film dokumenter awal di dunia. Terminologi film dokumenter dikemukakan oleh John Grierson setelah menonton film Moana(1926) karya Robert Flaherty. Film dokumenter menurutnya adalah perlakuan aktualitas secara kreatif (creative treatment of actuality). Untuk menjawab hal tersebut, metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini metode sejarah. Ada tiga tahap dalam metode ini, yaitu pencarian sumber keterangan atau bukti sejarah (heuristik); penilaian atau pengujian bahan-bahan sumber dari sudut pandang nilai kenyataannya (kritisisme); dan sinthese atau penyajian yang bersifat formal dari temuan. Tahap ini meliputi penyusunan kumpulan data sejarah dan kemudian penyajiannya dalam bentuk tertulis. Teknik pengumpulan datanya akan menggunakan studi kepustakaan dan dokumen. Sedangkan analisis datanya akan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologi, antropologi dan politik. Ada yang menarik bahwa pada awal film dibuat, terdapat film-film karya Brighton School, yaitu perkumpulan fotografer di Inggris yang telah membuat film dokumenter. Hanya saja film ini kemudian baru ditemukan pada kurun waktu 1970-an. Sangat mungkin film-film tersebut merupakan film-film dokumenter awal di dunia. Kata Kunci: Dokumenter, John Grierson, Brighton School I. PENDAHULUAN Pada tanggal 8 Februari 1926, seorang sosiolog bernama John Grierson menerbitkan tulisannya di harian The New York Sun setelah menonton film Moana karya Robert Flaherty yang dirilis pada tahun yang sama. Pada saat itu, Grierson untuk pertama kalinya memperkenalkan terminologi film dokumenter (documentary film). Baginya, Robert Flaherty tidak lagi menggunakan cara bercerita model film fiksi Hollywood. Dalam Directing the Documentary, John Grierson mengartikan dokumenter sebagai perlakuan aktualitas secara kreatif atau creative treatment of actuality (Rabiger dan Hermann 20). Setelah itu, Grierson menyinggung kembali terminologi dokumenter dalam esainya yang berjudul First Principle of Documentary . Tulisannya tersebut dipublikasikan oleh Cinema Quarterly dari tahun 1932 sampai dengan 1934 (Katz dan Nolen 406). Sampai sekarang ini, masih banyak pengamat atau pun pembuat film dokumenter yang meyakini bahwa film-film Robert Flaherty merupakan film dokumenter awal di dunia. Terutama beberapa film awalnya, seperti Nanook of the North (1922), Moana (1926), dan Man of Aran (1934). Film Nanook of the North dan Moana sendiri menjadi kontroversi dan polemik di kalangan teoretisi film, karena dianggap terlalu banyak campur tangan Flaherty di dalam peristiwanya. Menurut Jill Nelmes, Flaherty tidak segan-segan mengarang peristiwa saat menggambarkan kehidupan keluarga Suku Inuit yang tinggal di bagian utara Kanada. Salah satu contohnya adalah membangun igloo (rumah suku Eskimo) dengan sisi yang terbuka. Hal tersebut bertujuan agar dapat melakukan syuting interior. Hal yang lebih kontroversial lagi adalah penggunaan tombak tradisional saat perburuan tokoh Nanook. Tokoh yang memerankan Nanook secara faktual sudah menggunakan senjata modern saat berburu. Selain itu, Flaherty juga memasukkan adegan penduduk asli Polinesia sedang melakukan ritual yang sudah lama tidak mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari dalam film Moana (216). Adanya fakta-fakta di atas, tidak membuat film-film Robert Flaherty luntur sebagai film dokumenter awal, karena sudah terlanjur melekat dengan terminologi dokumenter yang digagas John Grierson. Sebagian besar masyarakat film di Indonesia sendiri juga tidak kritis dengan mencari fakta dan mempertanyakan lagi kebenaran film Nanook of the North sebagai film dokumenter pertama di dunia. Banyak orang yang sudah menerima begitu saja ( taken for granted ) fakta yang disajikan tentang film tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mencoba kritis dan mengetengahkan lagi film-film yang dapat disebut film dokumenter awal. Walaupun ada beberapa permasalahan yang menyebabkannya, namun seharusnya bisa diangkat ke permukaan dalam sejarah film dunia. Harapan ke depannya adalah adanya studi lanjutan yang dapat membongkar lebih banyak referensi film-film dokumenter sebelum tahun 1920-an. Secara umum, penulisan sejarah film dimulai dari pengujian persistence of vision ; penayangan gambar yang diproyeksikan; dan penemuan teknologi fotografi. Tiga aspek tadi kemudian mempengaruhi munculnya teknologi perekaman serta penayangan kembali gambar bergerak yang kemudian dikenal dengan film. Kemudian muncul dua bersaudara dari Prancis bernama Louis dan August Lumière yang menyempurnakan teknologi tersebut. Mereka berhasil menayangkan hasil rekamannya di Grand Café di salah satu sudut kota Paris (Thompson dan Bordwell 9). Film-film yang mereka tayangkan adalah hasil perekaman langsung para pekerja pabrik mereka dan kereta api yang akan memasuki stasiun. Kemudian film-film tersebut diberi judul Workers Leaving the Lumière Factory (1895) dan The Arrival of a Train (1896). Sebenarnya film ini lebih dekat sebagai film dokumentasi, tetapi banyak yang menganggap bahwa film-film ini adalah cikal-bakal film dokumenter. Kata film pada tipe ini sebenarnya merujuk pada aspek teknis film. Film dokumentasi adalah perekaman menggunakan teknologi film yang di dalamnya terkandung data, informasi atau dokumen. Hal-hal tersebut nantinya diperlukan sebagai catatan atau bukti dengan tujuan tertentu (Hermansyah 60). Bila film-film mereka hanya berupa dokumentasi, maka film apakah yang bisa dianggap sebagai film dokumenter awal? Faktor-faktor apakah yang menyebabkan film-film tersebut belum diakui sebagai film dokumenter awal? II. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian ini menggunakan salah satu pendekatan dalam metode penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian sejarah. Menurut Nina Herlina, penelitian sejarah merupakan penelitian yang mempelajari kejadian atau peristiwa yang berkaitan dengan manusia di masa lampau. Tujuannya adalah untuk merekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif (1). Dalam buku Metode Sejarah, Gilbert J. Garraghan mengungkapkan bahwa metode sejarah merupakan seperangkat prinsip dan aturan sistematis yang berkaitan dengan sejarah. Perangkat dan aturan tersebut berfungsi untuk membantu dalam pengumpulan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesis hasil yang dicapai. Hasil sintesis tersebut umumnya dalam bentuk tertulis (Herlina 1-2). Dari pengertian tersebut, maka terdapat tiga tahap yang dapat dilakukan dalam metode sejarah. Pertama, pencarian bukti-bukti sejarah atau sumber-sumber keterangan. Tahap ini sering disebut dengan heuristik dan merupakan tahap awal di dalam semua penulisan sejarah. Kedua, penilaian atau pengujian bahan-bahan sumber dari sudut pandang kebenarannya (nilai kenyataan) semata-mata dan sering disebut kritik sumber (kritisisme). Ketiga, penyajian yang bersifat formal dari temuan berdasarkan kegiatan heuristik dan kritisisme. Tahap ini meliputi penyusunan kumpulan data sejarah dan kemudian penyajian atau penceritaannya di dalam batas-batas kebenaran yang objektif, baik arti atau maknanya. Penyajian pada umumnya dalam bentuk tertulis dan tahap ketiga ini disebut sinthese (Wasino dan Hartatik 11-12). Pada penelitian ini sumber dan bukti sejarah bisa didapatkan melalui situs daring YouTube. Sumber-sumber lain melalui buku dan situs daring tentang perfilman Inggris di masa awal. Untuk menguji dan menilai, penulis mengandalkan buku dan jurnal yang mengulas tentang definisi film dokumenter. Sedangkan untuk pendekatan penyajiannya, penulis menggunakan pendekatan politik, sosiologi, dan antropologi. Dalam buku Metode Penelitian Sejarah: Dari Riset Hingga Penulisan, sejarah dalam arti objektif adalah sebagai peristiwa yang hanya sekali terjadi ( einmalig ). Keseluruhan proses peristiwa yang berlangsung terlepas dari subjek mana pun. Oleh karena itu, objektif yang dimaksud adalah dalam pengertian tidak memuat unsur-unsur subjek, baik pengamat maupun penulis (Wasino dan Hartatik 7). Sartono Kartodirdjo menyatakan dalam buku yang sama bahwa sejarah dalam arti subjektif merupakan konstruksi yang disusun oleh penulis sebagai uraian atau cerita. Hal tersebut merupakan kesatuan yang terrangkaikan dan mencakup fakta-fakta untuk menggambarkan gejala sejarah, baik proses maupun struktur (Wasino dan Hartatik 6). III. PEMBAHASAN
1. Film-Film Brighton School dan Newsreel
Mengungkap fakta sejarah tidak semudah membalik telapak tangan. Inggris adalah salah satu negara yang ilmuwannya memberi sumbangsih pada teknologi film. Salah satunya adalah William Friese-Greene, seorang ilmuwan yang menemukan teknologi bernama Chronophotographic Camera. Perangkat ini dapat merekam 10 gambar per detik (frame per second). Thomas Alva Edison kemudian membeli alat ini dan mematenkannya di Amerika Serikat. Ia memberi nama alat tersebut Kinetograph Camera. Cara untuk melihat pertunjukan alat ini belum menggunakan sistem proyeksi, tetapi dengan cara mengintip. Oleh karena itu, setiap film hanya bisa disaksikan oleh satu orang saja. Edison memberi alat untuk menonton ini dengan nama Kinetoscope. Sistem proyeksi film yang awal ditemukan oleh dua bersaudara dari Jerman, yaitu Max dan Emil Skladanowsky. Mereka memberi nama temuannya Bioscope dan menggunakan dua strip film yang berjalan berdampingan. Masing-masing film memiliki lebar 3,5 inci dan masing-masing film diproyeksikan secara bergantian. Skladanowsky bersaudara menunjukkan film berdurasi lima belas menit pada tanggal 1 November 1895 di suatu teater vaudevillebesar di Berlin. Ternyata sistem Bioscope ini terlalu rumit dan kemudian Skladanowsky bersaudara akhirnya mengadopsi standar film strip tunggal dengan lebar 35mm. Film strip tunggal yang digunakan oleh penemu yang lebih berpengaruh. Mereka berkeliling Eropa sampai tahun 1897, tetapi tidak mendirikan perusahaan produksi yang stabil (Thompson dan Bordwell 8). Beberapa tahun kemudian, perangkat-perangkat inilah yang kemudian hari disempurnakan oleh Louis dan August Lumière dengan penambahan teknik intermittent movement. Teknik ini mengadopsi dari teknik mesin jahit, sehingga penyinaran terhadap film menjadi sempurna dan gambar yang ditayangkan menjadi lebih jelas. Setelah mempertunjukkan film-film mereka di Grand Café di Paris, Lumière bersaudara kemudian mengirim para operator kamera ke seluruh penjuru dunia. Film-film dokumentasi yang didapatkan kemudian diputar di Prancis. Film-film seperti ini kemudian dikenal dengan istilah newsreel. Menurut Ephraim Katz dan Ronald Dean Nolen, newsreel atau disebut juga film berita adalah jurnal film tentang peristiwa terkini (1076). Frank Eugene Beaver menambahkan bahwa newsreel adalah jenis film pendek berdurasi 10-15 menit yang muncul sebagai bagian dari program film, sampai munculnya televisi pada 1950-an. Biasanya berisi kompilasi berita dalam waktu yang tidak jauh dengan saat pemutaran dan terkadang memuat satu atau dua feature yang menarik bagi masyarakat (257-258). Film-film dokumenter awal dianggap kurang lebih sama dengan newsreel. Pada masa itu memang masih terkendala dengan suara. Film-film yang ditampilkan adalah film bisu dan yang menjadi kekuatannya adalah gambar dan tulisan. Bila diamati lebih teliti, beberapa film sudah menggunakan pendekatan yang berbeda. Film-film tersebut memperlihatkan proses dari suatu peristiwa. Beberapa film tersebut dibuat oleh perkumpulan fotografer di kota Brighton, Inggris. Mereka dikenal dengan sebutan “Brighton School” yang memang lebih masyhur dengan film-film fiksinya seperti The Big Swallow (1901), Stop Thief! (1901), dan Fire (1901) karya James Williamson; Twin’s Tea Party (1896) karya Robert Paul; serta The Kiss in the Tunnel (1899), Grandma’s Reading Glass (1900), dan Mary Jane Mishap (1903) karya George Albert Smith. Sebenarnya mereka juga memproduksi beberapa film nonfiksi yang diberi judul A Visit to Peek Frean and Co.’s Biscuit Works (1906) dan Making Christmas Crackers (1910) yang diproduksi oleh Cricks & Martin Co. Selain itu, ada pula film yang berjudul A Day in the Life of a Coalminer (1910) yang diproduksi oleh Kineto Co. (Hermansyah 58). Sekali lagi, film-film ini dianggap menyerupai newsreel, sehingga tidak ada yang memperhatikan perbedaannya. Bila ditinjau dengan lebih seksama, film-film tersebut berbeda dengan film-film berita pada masa itu. Ketiga film di atas sudah mencoba menggunakan susunan penceritaan secara kronologis. Kebetulan sekali ketiganya memberikan informasi secara berurut tentang suatu proses dalam aktivitas tertentu. Film A Visit to Peek Frean and Co.’s Biscuit Works bercerita tentang proses pembuatan biskuit. Mulai dari membuat adonan, mencetak, memanggang, mengemas hingga kereta-kereta kuda yang keluar dari pabrik untuk mendistribusikan biskuit tersebut. Film Making Christmas Crackers memperlihatkan proses pembuatan hadiah natal tradisional di Inggris. Akhir dari film ini diberikan sentuhan fiksi tentang keluarga yang sedang merayakan Natal dan kemudian sinterklas datang tiba-tiba untuk memberikan hadiah. Film A Day in the Life of a Coalminer bercerita proses penambangan batu bara di Inggris. Ada kemiripan dengan film sebelumnya, yaitu penggunaan aspek fiksi di awal dan akhir film. Pada awal film ini terdapat pengadeganan seorang suami yang diantar oleh istri dan anak-anaknya berangkat kerja. Pada akhir film diperlihatkan lagi adegan suami pulang kerja yang disambut istri dan anaknya. Penutup film ini diperlihatkan mereka sekeluarga menghabiskan waktu di ruang tengah dekat perapian. 2. Faktor-Faktor Penyebab Film-Film Brighton School Belum Diakui sebagai Film Dokumenter Awal Sesungguhnya film-film Brighton School baru ditemukan kembali pada tahun 1970-an. Isu tersebut baru diangkat lagi pada tahun 1978 saat diselenggarakan kongres The International Federation of Film Archives (FIAF) di kota Brighton (Hermansyah 94). Masyarakat perfilman dunia baru mengetahui lagi bahwa film-film Inggris telah menyumbang banyak bahasa film (film language) pada perfilman dunia, termasuk film dokumenter. Kemudian ada yang harus dijawab dengan faktor-faktor yang menyebabkan ketiga film di atas belum masuk sebagai film dokumenter awal. Untuk menjawabnya perlu diperjelas terlebih dahulu perbedaan antara film dokumenter dan newsreel. Film dokumenter menurut Frank Beaver yang mengutip World Union of Documentary adalah film yang metode pembuatan filmnya merekam segala aspek realitas dan objeknya merupakan hal-hal faktual. Terkadang dapat dibenarkan menggunakan rekonstruksi (pemeragaan) yang baik. Tujuan penggunaan hal ini adalah untuk beberapa alasan. Pertama, supaya filmnya menjadi lebih menarik karena dapat melibatkan aspek emosi penonton. Kedua, untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman penonton. Ketiga, untuk memberikan solusi permasalahan dalam film tersebut, baik dalam bidang ekonomi, budaya dan hubungan antar manusia (119). Kata film di sini bukanlah aspek teknis dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film merupakan lakon dari cerita gambar hidup (414). Adanya kata cerita memberikan konsekuensi di dalamnya, yaitu harus ada plot, ruang, waktu, aspek dramatik dan subjek atau tokoh. Film dokumenter adalah film yang memungkinkan subjeknya bukan manusia. Oleh karena itu, ketiga film Brighton School di atas tetap bisa dianggap sebagai film dokumenter. Film-film itu memenuhi kriteria-kriteria yang telah disebutkan sebelumnya. Ide utamanya adalah proses dalam aktivitas tertentu. Subjeknya terdapat manusia yang menjadi pengantar cerita dalam proses aktivitasnya. Plotnya adalah proses dalam pembuatan atau aktivitas penambangan. Ruangnya ada di pabrik dan tempat penambangan. Waktunya adalah masa pada saat itu, yaitu tahun 1900-an dan awal 1910-an. Dramatisasi yang mencolok terdapat pada film Making Christmas Crackers (1910) dan A Day in the Life of a Coalminer (1910) yang menghadirkan pengadeganan di dalamnya agar lebih menarik. Faktor pertama yang menyebabkan film-film ini dianggap hilang adalah dampak dari Perang Dunia I yang dimulai pada tahun 1914. Martin Scorsese pernah menceritakan hal ini di dalam film Hugo (2011) yang mengangkat seorang sineas Prancis bernama Georges Méliès. Saat Perang Dunia I terjadi, ia lebih rela membakar film-filmnya daripada dirampas oleh negara untuk dijadikan boot-heel (sol sepatu) tentara Prancis. Pada masa itu bahan baku film masih berbentuk seluloid. Lembaga paten di Inggris juga menjelaskan bahwa mereka juga memanfaatkan seluloid untuk boot-heel tentara mereka. Artinya, masih ada kemungkinan bahwa film-film dokumenter Brighton School tidak hanya tiga film di atas, tetapi masih banyak lagi. Mungkin saja film-film itu ikut dilebur untuk dijadikan boot-heel tentara oleh pemerintahan mereka pada masa itu. Faktor kedua adalah hegemoni wacana film dunia yang dari awal dikuasai oleh Amerika Serikat dan Prancis. Bukti paling nyata adalah buku pegangan dalam pendidikan film dunia hanya ada dua, yaitu Film Art: An Introduction karya David Bordwell, Kristin Thompson serta Jeff Smith yang berasal dari Amerika Serikat; dan Aesthetic of Film karya Jacques Aumont, Michel Marie, Alain Bergala dan Marc Venet yang berasal dari Prancis. Penulisan buku-buku sejarah film pun jarang sekali memasukkan Brighton School dalam pembahasannya. Hal ini bisa dimaklumi karena gerakan di Inggris ini menyumbang begitu banyak bahasa sinematik yang selama ini sudah diklaim oleh Amerika Serikat ataupun Prancis. Perbincangan tentang kongres The International Federation of Film Archives (FIAF) di kota Brighton juga hanya sekali disinggung dalam buku Film History: An Introduction karya Kristin Thompson dan David Bordwell yang diterbitkan pada tahun 2003. Pada edisi terbarunya isu tersebut bahkan sudah tidak dibahas lagi. IV. KESIMPULAN Setidaknya ada tiga film dari Brighton School yang bisa dianggap sebagai film dokumenter awal, yaitu A Visit to Peek Frean and Co.’s Biscuit Works (1906) dan Making Christmas Crackers (1910) dari Cricks & Martin Co.; serta A Day in the Life of a Coalminer (1910) dari Kineto Co. Karena baru ditemukan pada tahun 1970-an, maka tidak mengherankan kalau John Grierson baru melihat film model seperti itu pada film Moana (1926) karya Robert Flaherty. Walaupun teknologi informasi sudah sedemikian majunya, penulisan sejarah dengan menyertakan bukti konkret ternyata belum cukup untuk melakukan klaim bahwa suatu karya merupakan karya pertama di dunia. alat tersebut Kinetograph Camera . Cara untuk melihat pertunjukan alat ini belum menggunakan sistem proyeksi, tetapi dengan cara mengintip. Oleh karena itu, setiap film hanya bisa disaksikan oleh satu orang saja. Edison memberi alat untuk menonton ini dengan nama Kinetoscope . DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Beaver, Frank Eugene. Dictionary of Film Terms: The Aesthetic Companion to Film Analysis . New York: Twayne Publisher, 1994. Herlina, Nina. Metode Sejarah . Edisi Revisi Kedua. Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, 2022. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Katz, Ephraim and Ronald Dean Nolen. The Film Encyclopedia: The Complete Guide to Film and the Film Industry . 7th Edition. New York: HarperCollins Publishers, 2012. Nelmes, Jill (Ed.). Introduction to Film Studies . 5th Edition. Oxon: Routledge, 2011. Thompson, Kristin and David Bordwell. Film History: An Introduction . 4th Edition. New York: McGraw Hill, 2018. 2. Jurnal Abbas, Irwan. “Memahami Metodologi Sejarah Antara Teori dan Praktik” Jurnal Etnohistori, Vol. 1, No. 1, 2014, pp. 23-41. Hermansyah, Kusen Dony. “Studi Perbandingan Wacana Film Dokumenter dengan Film Dokumentasi, Jurnalistik Televisi, dan Video Blogging” Jurnal Imaji, Vol. 13, No. 1, Maret 2022, pp. 57-68. Hermansyah, Kusen Dony. “Kesalahan Pemikiran Tentang Riset dalam Pembuatan Film Dokumenter” Jurnal Imaji, Vol. 10, No. 2, Juli 2018, pp. 93-102. Wardah, Eva Syarifah. “Metode Penelitian Sejarah” Jurnal Tsaqofah, (Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2014, pp. 163-175. Wasino dan Endah Sri Hartatik. Metode Penelitian Sejarah: Dari Riset Hingga Penulisan. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama, 2018 3. Website The Great War (1914-1918) Forum. https://www.greatwarforum.org/topic/172575-celluloid-in-boot-heel-production.Audio/Video A Visit to Peek Frean and Co.’s Biscuit Works. Cricks and Martin Co., 1906, https://www.youtube.com/watch?v=8O2EYrueHNE A Day in the Life of a Coal Miner. Kineto Production Company, 1910, https://www.youtube.com/watch?v=O7kgSKVCvfI Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Imaji Volume 13 Nomor 3 pada halaman 223-231. Diterbitkan pada bulan Desember 2022 oleh Fakultas Film dan Televisi – Insitut Kesenian Jakarta. ISSN 1907-3097 https://imaji.ikj.ac.id/index.php/IMAJI/article/view/84/85

STUDI PERBANDINGAN WACANA FILM DOKUMENTER DENGAN FILM DOKUMENTASI,  JURNALISTIK TELEVISI, DAN VLOG

STUDI PERBANDINGAN WACANA FILM DOKUMENTER DENGAN FILM DOKUMENTASI, JURNALISTIK TELEVISI, DAN VLOG

ABSTRAK Dalam produksi film, peristilahan dokumenter seringkali sudah begitu saja ( taken for granted ) tanpa ada pengamatan lebih lanjut. Hal ini terkadang menyebabkan kegaduhan saat ada yang mempertanyakan perbedaannya dengan dokumentasi, pemberitaan di televisi atau video blogging ( vlog ). Bagaimanapun, produk-produk tersebut memang memiliki kemiripan dengan film dokumenter. Tulisan ini berusaha memperjelas kepada khalayak agar tidak kebingungan saat harus membedakan dokumenter dengan produk audio-visual di atas. Terkadang pembuat film kebingungan ketika diminta menjelaskan perbedaannya dengan produk audio-visual lainnya. Perbedaan pengertian ini akan diamati dari sudut pandang ilmu bahasa dan keilmuan yang mendasar dalam film terutama film dokumenter serta ilmu komunikasi. Metode penelitian yang akan digunakan dalam pengamatan ini metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan. Sumber datanya adalah produk-produk audio-visual yang telah disebutkan. Teknik pengumpulan datanya akan didapatkan dari studi kepustakaan dan dokumen. Sedangkan analisis datanya akan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan teori yang digunakan adalah teori film dokumenter, teori jurnalistik televisi dan teori tentang webloging. Walaupun memiliki banyak kemiripan seperti fakta sebagai objek materi dan ideologi sebuah karya, film dokumenter tetap memiliki aspek dasarnya yang tidak dimiliki produk audio visual lainnya. Kata kunci: dokumenter, dokumentasi, jurnalistik televisi, video blogging I. PENDAHULUAN Istilah film dokumenter tidak asing lagi untuk banyak orang. Sejarahnya juga hampir sepanjang film fiksi. Pada akhir abad ke-18, film fiksi sudah diproduksi, terutama oleh perkumpulan fotografer di Inggris yang dikenal dengan Brighton School. Pada awal abad ke-20, mereka sudah membuat film dokumenter. Cricks and Martin Films sudah memproduksi film yang berjudul A Visit to Peek Frean and Co.’s Biscuit Works pada tahun 1906. Setelah itu, Kineto Films pada tahun 1910 juga membuat film dengan bentuk yang sama dengan judul A Day in the Life of a Coal Miner . Kalau disetarakan pada masa sekarang, film tersebut menyerupai company profile film. Film pertama menceritakan proses pembuatan biskuit di sebuah pabrik, sedangkan film yang kedua menggambarkan proses penambangan batubara di Inggris. Keunikan pada film kedua ini adalah bahwa pembuat filmnya sudah menyisipkan perekayasaan adegan. Pada awal film diperlihatkan seorang suami yang akan berangkat kerja dan diantar oleh isteri serta anaknya menuju pintu pagar rumah mereka. Pada akhir film diperlihatkan sebaliknya, ketika suami disambut oleh istri dan anaknya. Permasalahannya adalah bahwa pada masa itu belum ada terminologi untuk bentuk film seperti di atas. Film-film milik Brighton School sendiri sempat menghilang tanpa jejak dan baru ditemukan sekitar 1970-an. Hal ini terungkap pada kongres The International Federation of Film Archives (FIAF) di Brighton pada tahun 1978 (Hermansyah 94). Terminologi film dokumenter sendiri baru muncul ke permukaan tidak didasarkan kedua film di atas. Dalam wacana film dokumenter, filmfilm karya Robert Flaherty merupakan landasan munculnya terminologi tersebut. Ahli yang memformulasikan peristilahan itu adalah seorang sosiolog bernama John Grierson. Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai asisten pegawai di Empire Marketing Board (EMB), yaitu sebuah badan pemerintah untuk mempromosikan perdagangan Inggris. Grierson yang menyebutkan bahwa film dokumenter adalah film yang memperlakukan aktualitas secara kreatif atau creative treatment of actuality (Rabiger & Hermann 20). Ia mengulas film tersebut dan tulisannya dimuat pada tanggal 8 Februari 1926 di harian The New York Sun setelah menonton film Moana karya Robert Flaherty yang dirilis tahun 1926. Terminologi ini ditulis dan disinggung kembali dalam esainya yang berjudul First Principle of Documentary . Esai tersebut kemudian dipublikasikan oleh Cinema Quarterly pada tahun 1932 hingga 1934 (Katz & Nolen 406). Menurut Grierson, cara bercerita Robert Flaherty tidak lagi mendongeng seperti film-film fiksi Hollywood. Misalnya saja dalam film Nanook of the North yang mengikuti kehidupan Nanook dan keluarganya dari Suku Inuit di bagian utara Kanada. Film ini memperlihatkan perjalanan mereka dalam mencari makanan serta berdagang di Semenanjung Ungava di Quebec Utara, Kanada. Mereka diceritakan sebagai orang-orang yang tidak mengenal rasa takut dan bertahan hidup dari alam sekitarnya. II. PEMBAHASAN Sampai hari ini film dokumenter melekat pada film-film yang banyak dibuat oleh individu maupun lembaga. Oleh karena itu, sangat sulit untuk menghitung jumlah produksi film dokumenter tiap tahunnya. Lembaga seperti sekolah kejuruan audio-visual, sekolah seni, perusahaan pemerintah dan perusahaan swasta, banyak yang memproduksi film tipe ini. Orang-orang yang membuat filmnya juga tidak bisa dikatakan sedikit. Umumnya mereka membuat film dokumenter pada satu tipe saja yaitu tipe expository documentary. Tipe ini memiliki karakteristik yang khas, yaitu voice over commentary yang dikombinasikan dengan serangkaian gambar. Tujuannya agar film tersebut lebih deskriptif dan informatif serta dapat ditangkap secara langsung oleh penonton, terutama maksud dari adegan per adegannya. Selain itu yang juga menjadi kekhasannya adalah paparan fakta atau argumen yang diilustrasikan oleh gambar dan suara tersebut (Buckland 156). Ketika muncul tipe film dokumenter lain, banyak orang yang kemudian gagap dalam menangkap kejelasannya. Apakah film yang mereka lihat itu film dokumenter atau bukan. Setidaknya ada dua tipe yang kemudian para pembuat film sendiri kebingungan apakah benar itu film dokumenter atau sekadar dokumentasi menggunakan media film atau video. Dua tipe itu adalah tipe poetic documentary dan observational documentary . Selain itu ada juga tipe performative documentary yang justru mirip dengan film fiksi karena banyaknya rekonstruksi peristiwa untuk menjelaskan dan mengilustrasikan fakta-faktanya. Bahkan film dokumenter tipe ini ada juga yang lebih membingungkan karena wujudnya ada yang berupa film animasi atau film eksperimental. Selain kebingungan dengan film atau video dokumentasi, ada pula kebingungan para pembuat film ketika film dokumenter dibandingkan dengan jurnalistik televisi yang juga menggunakan kombinasi voice over commentary dan fakta pendukung menggunakan gambar-gambar. Produk terakhir yang kemudian membuat para pembuat film menjadi kebingungan adalah munculnya video blogging yang terlihat seperti tipe participatory documentary atau juga disebut interactive documentary . Dari permasalahan-permasalahan di atas, mungkin banyak orang bisa melihat persamaan yang ada di keempat produk audio-visual tersebut, akan tetapi yang menjadi kegelisahannya adalah bagaimana membedakan keempat produk audio-visual, baik secara paradigmanya maupun wujudnya? A. Tinjauan Literatur Berbicara tentang terminologi film sebenarnya juga bukan hal yang mudah. Setidaknya ada tiga pengertian dari film itu sendiri. Pertama, film diartikan sebagai bahan baku selaput tipis berbasis emulsi yang dilapisi asetat yang tepinya terdapat lubang perforasi (Oakey 116). Kedua, film adalah bahan untuk merekam gambar yang bergerak (Singleton 70). Ketiga, film atau gambar bergerak adalah serangkaian gambar fotografis pada film strip yang diproyeksikan secara berurutan dengan cepat ke layar melalui pencahayaan. Karena adanya fenomena optik yang disebut persistence of vision, maka rangkaian gambar tersebut dapat menciptakan ilusi gerak yang aktual, halus, dan berkesinambungan. [1] Secara terminologi dasar memang film dianggap sebagai benda maupun suatu medium saja. Tetapi pada literatur utama dalam pendidikan film, aspek penceritaan selalu dimasukan di dalam produk film. Ada dua literatur yang digunakan dalam dunia pendidikan film, yaitu Film Art: an Introduction karya David Bordwell dkk., dan Aesthetic of Film karya Jacques Aumont dkk. Dalam kedua buku tersebut sangat jelas dipaparkan bahwa film sebagai bagian seni memiliki dua aspek, yaitu cerita dan teknik untuk mewujudkan cerita tersebut. Penelitian ini akan lebih memfokuskan pada buku Film Art: An Introduction , karena penulis menganggap lebih sistematis dalam paparannya. David Bordwell dan kawan-kawannya membagi dua estetika film, yaitu bentuk film ( film form ) dan gaya film ( film style ). Bentuk film berhubungan dengan cerita dan penceritaan. Hal-hal yang berhubungan dengan teknik-teknik untuk mewujudkan disebutnya sebagai gaya film ( film style ). Hal ini juga diperkuat oleh James Monaco yang menyatakan bahwa film juga memiliki isi (content), sehingga sangat mungkin terdapat aspek politik di dalamnya. Ia memandang bahwa pemilihan pendekatan dan penggayaan tertentu dari pembuat film pada dasarnya bersifat politis dan mencoba merangkul keterhubungan antara pembuat film, objek film, media film dan penontonnya (Monaco, 261). Setidaknya, aspek politik yang disinggung oleh Monaco akan diawali di dalam cerita sebelum menjadi bagian dari teknik film. Oleh karena itu bila coba diformulasikan definisinya, maka film adalah medium berwujud selaput tipis yang digunakan untuk merekam gambar yang di dalamnya menceritakan hal-hal tertentu untuk menyampaikan pesan tertentu dari pembuatnya. Produk-produk audio-visual lainnya yang memiliki kemiripan dengan film dokumenter adalah dokumentasi, jurnalistik televisi dan video blogging (vlog). Mencari literatur yang mendefinisikan dokumentasi bukanlah hal yang mudah. Setidaknya terdapat pada kamuskamus bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa dokumentasi adalah pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang pengetahuan. Bisa juga diartikan sebagai pemberian atau pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-keterangan, seperti gambar dan kutipan.[2] Dokumentasi dalam Merriam-Webster adalah dokumen, catatan, dan lain-lain yang digunakan untuk membuktikan sesuatu atau membuat sesuatu menjadi resmi.[3] Pada kamus Oxford Learner’s Dictionary , dokumentasi adalah dokumen yang diperlukan untuk sesuatu, atau yang memberikan bukti atau bukti sesuatu. Selain itu, juga bisa dimaknai sebagai instruksi tertulis untuk menggunakan suatu produk, terutama program atau peralatan komputer.[4] Dalam terjemahan bebas, film dokumentasi adalah perekaman menggunakan teknologi film yang di dalamnya terkandung data, informasi atau dokumen. Hal-hal tersebut nantinya diperlukan sebagai catatan atau bukti dengan tujuan tertentu. Tujuan penggunaan film dokumentasi memang bermacam-macam, namun secara teknis posisi kamera hanya sebagai alat perekam saja dan tidak lebih. Terminologi jurnalistik televisi setidaknya mengacu pada ilmu jurnalistik dan teknologi televisi. Jurnalistik sendiri dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah journalism. Tim P. Vos menyebutkan bahwa jurnalistik merupakan seperangkat keyakinan, bentuk, dan praktik yang terlibat dalam pembuatan dan distribusi berita dan diskusi yang signifikan secara sosial (Vos 9). Ia juga melanjutkan bahwa hal tersebut juga bisa menjadi bisnis atau praktik yang secara teratur memproduksi dan menyebarkan informasi penting tentang hal-hal terkini (aktual) dan menjadi kepentingan publik (Vos 3). Secara tradisional, jurnalistik bisa dikatakan sebagai pekerjaan untuk secara teratur terlibat dalam pengumpulan, pemrosesan, dan penyebaran berita dan informasi untuk melayani kepentingan publik (Burns & Matthews 43). Encyclopedia Britannica memberikan definisi tentang jurnalisme, yaitu pengumpulan, persiapan, dan distribusi berita dan komentar terkait serta materi fitur melalui media cetak dan elektronik seperti surat kabar, majalah, buku, blog, webcast, podcast, situs jejaring sosial dan media sosial, dan email serta melalui radio, film, dan televisi.[5] Kata televisi memiliki beberapa pengertian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , televisi adalah pesawat penerima gambar siaran televisi. Selain itu, bisa juga diartikan sebagai sistem penyiaran gambar yang disertai suara melalui kabel atau melalui udara / angkasa dengan menggunakan alat. Perangkat tersebut dapat mengubah cahaya dan suara menjadi gelombang listrik serta mengubahnya kembali menjadi berkas cahaya yang dapat dilihat dan didengar.[6] Televisi di dalam Merriam-Webster memiliki lima pengertian, yaitu perangkat penerima televisi; industri penyiaran televisi; televisi sebagai media komunikasi; program yang didistribusikan melalui Internet yang dirancang untuk dilihat dalam format yang sama dengan siaran televisi; dan yang terakhir adalah sistem elektronik yang berfungsi untuk mentransmisikan gambar dan suara dari objek diam atau bergerak secara bersama-sama menggunakan kabel atau udara. Peralatan tersebut dapat mengubah cahaya dan suara menjadi gelombang listrik, lalu mengubahnya kembali menjadi cahaya yang dapat dilihat dan suara yang dapat didengar.[7] Sedangkan dalam Oxford Learner’s Dictionary , televisi dimaknai sebagai program yang disiarkan di televisi; sistem, proses, atau bisnis penyiaran program televisi; dan juga dapat diartikan sebagai peralatan elektronik yang memiliki layar dan seseorang dapat menonton program dengan gambar bergerak dan suara.[8] Bila digabungkan dari dua pengertian di atas bisa diambil kesimpulan bahwa jurnalistik televisi adalah adalah pengumpulan, persiapan, dan distribusi program berita dan informasi yang disiarkan ( broadcast ) melalui stasiun televisi. Tentu saja berita tersebut secara teratur diproduksi dan disebarkan serta menjadi kepentingan publik. Masyarakat yang ingin mengakses berita atau informasi tersebut dapat menggunakan pesawat televisi. Terminologi terakhir adalah video blogging atau terkadang ada yang menyebut sebagai video podcasts. Terminologi ini berasal dari dua peristilahan, yaitu kata video dan web-blogging. Pada masa lalu, kata video sering dikaitkan dengan videotape dan televisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, video adalah rekaman gambar hidup atau program televisi untuk ditayangkan melalui pesawat televisi.[9] Dalam Merriam-Webster video adalah rekaman film atau program televisi yang diputar melalui pesawat televisi. Bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dan digunakan dalam sistem transmisi atau penerimaan gambar televisi.[10] Sedangkan dalam Oxford Learner’s Dictionary , video adalah sistem perekaman gambar bergerak dan suara, baik menggunakan metode penyimpanan data digital atau (dulu) menggunakan kaset video. Selain itu, video juga diartikan sebagai film berdurasi pendek atau rekaman suatu peristiwa yang dibuat menggunakan teknologi digital dan dapat dilihat di komputer, terutama melalui jaringan internet.[11] Terminologi blog atau weblog adalah sebuah website dengan urutan waktu yang disajikan secara kronologis tetapi terbalik serta diunggah di internet. Tindakan memelihara dan mengunggah blog ini disebut blogging . Blog biasanya menjadi tempat berbagi pengetahuan dan pandangan serta menyatukan orang-orang yang sepemikiran. Pada masa sekarang ini, banyak orang yang suka menulis. Oleh karena itu, terdapat beragam blog dengan tujuan yang berbeda. Perbedaan tidak hanya dalam perihal konten, tetapi juga cara penyampaian dan penulisan konten kepada para pembacanya.12 Web-blogging sendiri sering disebut sebagai online personal diary atau berarti tindakan seseorang yang mencatat cerita, pengalaman, saran, atau hal-hal lainnya melalui konten di website miliknya (Birley 4). Dengan memadukan pengertian kedua pengertian di atas, maka video-blogging atau vlog bisa diartikan sebagai perekaman cerita, pengalaman, saran, atau hal-hal lainnya menggunakan perangkat khusus yang dalam hal ini adalah kamera video. Menurut Aghnia Dian Lestari video yang dikategorikan sebagai vlog berbentuk monolog yang direkam menggunakan kamera didukung dengan teknik penyuntingan sederhana. Para vlogger dapat membicarakan berbagai pandangan pribadinya terkait politik, sosial-budaya, hingga beragam hal remeh yang terjadi dalam kesehariannya (2021). B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang sumber datanya adalah produk-produk audiovisual, yaitu film dokumenter, video dokumentasi, jurnalistik televisi dan video blogging. Untuk teknik pengumpulan datanya akan menggunakan studi kepustakaan dan studi dokumen. Semua data sebisa mungkin dikumpulkan melalui peninjauan literatur-literatur yang ada di masa sekarang. Akan tetapi, film bukanlah bidang yang memiliki banyak literatur dasar seperti bidang seni lainnya. Sangatlah sulit untuk bisa mendapatkan literatur film baru yang mengulas peristilahan dasar. Kamus dan ensiklopedia film kebanyakan merupakan terbitan lama dan hampir tidak ada yang baru. Oleh karena itu, penulis lebih memanfaatkan kamus dan ensiklopedia daring supaya bisa mendapatkan terminologi-terminologi dasar. Jurnal-jurnal film pun lebih mengulas hal-hal terkini dibanding mengulas hal-hal yang mendasar. Oleh karena itu, dengan sangat terpaksa beberapa literatur lama juga digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan untuk analisis datanya, penulis akan menggunakan teknik analisis kualitatif. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan aspek-aspek persamaan dan perbedaan yang ada di dalam keempat produk audio-visual di atas. Sedangkan teori yang digunakan untuk adalah teori analisis wacana, terutama menggunakan fungsi untuk membongkar maksud-maksud dan maknamakna tertentu (Eriyanto 5). C. Hasil dan Diskusi a. Persamaan Bila dilihat sebagai produk audio-visual, keempat hal di atas jelas memiliki persamaan. Setidaknya terdapat dua persamaan yang utama, yaitu penggunaan teknologi untuk merekam dan atribut pada objek perekamannya. Persamaan yang pertama adalah teknologi untuk merekam peristiwanya. Sebelum adanya teknologi video, alat yang digunakan untuk merekam adalah kamera film. Oleh karena itu, dokumentasi yang menggunakan film sering disebut film dokumentasi. Pada bidang jurnalistik, berita yang direkam menggunakan kamera film disebut newsreel dan bukan film news . Kata reel merujuk pada gulungan film yang secara fisik sering disebut dengan film reel . Wujud newsreel sangat mirip dengan film dokumenter yang menggunakan narasi atau voice-over commentary . Bahkan ada yang menyebutnya sebagai short documentary film , karena durasinya yang pendek serta penggunaan rangkaian gambar yang informasinya lebih ditekankan pada narasinya. Pada masa itu belum ada reporter yang membawakan berita. Karena durasinya yang pendek, biasanya newsreel diputar di bioskop sebelum pertunjukan feature film dimulai. Setelah muncul teknologi video, banyak orang yang membubuhi produk-produk audio visual itu dengan nama depan video. Misalnya, video dokumentasi, video corporate, video tutorial, video art dan sebagainya. Video corporate sebenarnya tidak lebih dari film dokumenter berjenis company profile . Video tutorial merupakan bagian dari jenis instructional documentary . Bahkan video art yang juga tidak lebih dari film eksperimental. Oleh karena itu, huruf “V” pada kata vlog merupakan singkatan dari kata video blogging . Dalam bidang jurnalistik televisi, karena teknologi di perekaman dan penyiarannya menggunakan teknologi video, maka berita tersebut dikenal dengan istilah berita televisi ( television news ). Terutama untuk membedakan dengan berita dari media cetak. Pada masa sekarang ini, baik dokumentasi, berita, video blogging , dan dokumenter menggunakan media rekam yang sama yaitu video digital. Persamaan kedua adalah atribut pada objek atau peristiwa yang direkam. Objek atau peristiwa yang direkam harus faktual dan aktual. Kata faktual sendiri berarti nyata. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, faktual adalah sesuatu yang berdasarkan kenyataan atau mengandung kebenaran.[13] Dalam Oxford Learner’s Dictionaries , faktual adalah sesuatu yang berdasarkan atau mengandung fakta.[14] Pada kamus daring Merriam- Webster , faktual adalah sesuatu yang berkaitan dengan fakta. Bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang terbatas pada atau berdasarkan fakta.[15] Kata aktual menurut Oxford Learner’s Dictionaries adalah sesuatu yang digunakan untuk menekankan hal yang nyata atau ada dalam kenyataan. Selain itu, bisa juga digunakan untuk menekankan bagian terpenting dari sesuatu.16 Dalam kamus daring Merriam-Webster, kata aktual memiliki beberapa pengertian, yaitu sesuatu yang ada dalam kenyataan; sesuatu yang jelas atau tidak salah; sesuatu yang digunakan untuk penekanan; atau sesuatu yang ada atau terjadi pada saat itu.[17] Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertiannya mirip dengan kamus Merriam-Webster, kata aktual berarti sesuatu yang betul-betul ada atau terjadi; sesuatu yang sedang menjadi pembicaraan orang banyak, misalnya tentang peristiwa; dan yang terakhir adalah sesuatu yang baru saja terjadi.[18] Bila dilihat dari paparan di atas, sesuatu yang aktual akan selalu berhubungan dengan sesuatu yang faktual. Tentu saja film dokumenter sudah sesuai dengan formulasi terminologi yang dikemukakan oleh John Grierson, yaitu creative treatment of actuality. Warren Buckland menambahkan tiga persyaratan sebuah film dapat disebut sebagai dokumenter. Pertama, peristiwanya tidak direkayasa dan dapat memberi sesuatu lebih dari apa yang direkam. Hal ini lebih merujuk pada keotentikan peristiwanya. Kedua, film dokumenter secara konvensional dipahami sebagai film non-fiksi, di mana segala hal yang digambarkan di dalamnya adalah nyata dan bukan imajiner. Ketiga, pembuat film dokumenter sering diasumsikan hanya mengamati dan merekam secara obyektif peristiwa–peristiwa nyata dan sedang terjadi (Buckland 154). b. Perbedaan - Film dokumentasi Bila dilihat perbedaannya, maka dari definisinya film dokumentasi lebih merujuk pada suatu proses perekaman peristiwa yang faktual yang berfungsi sebagai media penyimpanan informasi tertentu. Masalah penggunaan nantinya, sudah tidak lagi menjadi bahasan dalam penelitian ini. Contoh dari film dokumentasi atau video dokumentasi ada banyak, baik untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok. Misalnya adalah film dokumentasi pernikahan, ulang tahun, kegiatan perusahaan¸ dan lain sebagainya. - Video-blogging Sedangkan video-blogging ( vlog ) sudah jelas merupakan online personal diary. Artinya vlog merupakan catatan pribadi seseorang yang berwujud audio-visual. Tidak ada kekhususan dalam bentuknya, karena bisa membahas banyak hal. Beberapa contohnya adalah review seperti yang dilakukan oleh Justinus Lhaksana, Ronny Pangemanan atau Binder Singh yang mengulas segala hal tentang dunia sepakbola. Ada pula yang bentuknya memberi pengajaran atau tutorial, misalnya tutorial cara menggunakan melakukan rias wajah, seperti yang dilakukan oleh Tasya Farasya, Nanda Arsyinta dan Rachel Goddard. Selain itu, ada yang berwujud obrolan atau video podcasts, seperti channel YouTube dari Deddy Corbuzier, Vincent Rompies dan Deddy Mahendra Desta (Vindes), dan Denny Sumargo (Curhat Bang Denny). Bahkan ada pula yang memberi laporan pandangan mata saat berjalanjalan di suatu tempat dan hanya memperlihatkan pemandangan saja. Suaranya terkadang hanya menggunakan musik, tetapi banyak pula yang memberikan dialog atau voice-over commentary. Vlog seperti ini biasanya akan membubuhi tulisan di gambar videonya dengan keteranganketerangan yang dibutuhkan pemirsanya. Pada akhirnya, banyak dari vlog tersebut tidak jauh berbeda dengan jurnalistik televisi, namun channel-nya dimiliki secara pribadi. Contoh dari vlog seperti ini terdapat di YouTube pada channel Backpacker Tampan, Nick K, The Lost Boys, Brett Conti dan Flosavanah. - Jurnalistik televisi Awalnya jurnalisme diterapkan pada laporan (reportase) peristiwa terkini saat masih dalam bentuk media cetak, khususnya surat kabar. Kemunculan radio, televisi, dan yang terakhir adalah internet, maka penggunaan istilah tersebut diperluas dan mencakup perangkat komunikasi cetak dan elektronik. Reportasenya tetap berhubungan dengan peristiwa atau isu yang faktual dan aktual. Artinya jurnalistik televisi adalah praktik yang secara teratur memproduksi dan menyebarkan informasi penting tentang hal-hal yang aktual dan faktual serta menjadi kepentingan publik. Setelah itu, hasilnya kemudian disiarkan melalui stasiun televisi. Adanya kepentingan publik sebagai salah satu tujuannya, maka membuat jurnalistik televisi memiliki ideologi yang tersemat di dalamnya. Ideologi yang diusung sudah seharusnya berkaitan dan berpihak pada kepentingan masyarakat umum. Jurnalistik televisi di Indonesia banyak diproduksi oleh stasiun televisi RCTI, MNCTV, Global TV, Metro TV, NET-TV, TV-One, ANTV, dan sebagainya. Terkadang, stasiun-stasiun televisi tersebut memproduksi berita dengan durasi yang panjang dan lebih mendalam dibandingkan dengan berita dalam wujud liputan. Misalnya saja, Metro TV memiliki program yang disebut Metro Inside ; SCTV pernah mempunyai program dengan judul Sigi 30 Menit ; dan Trans TV juga memiliki program dengan judul Reportase Investigasi . - Film dokumenter Sesuai dengan pembahasan dalam buku Film Art : An Introduction , sebuah film harus memiliki bentuk yaitu cerita (naratif). Oleh karena itu perbedaan yang paling jelas dengan film dokumentasi, video blogging dan jurnalistik televisi adalah masalah naratif ini. Masih dalam buku yang sama, ada konsekuensi ketika ada cerita yaitu hal-hal yang terkandung di dalamnya. Hal-hal tersebut adalah plot (alur), subjek, konsep ruang, konsep waktu dan struktur dramatik. Halhal tersebut jelas tidak menjadi persyaratan di dalam ketiga produk audio visual lainnya. Akan tetapi, pada film dokumenter persyaratan itu menjadi wajib. Pertama , plot atau alur yang merupakan peristiwa atau bagian dari peristiwa yang dipilih oleh pembuat film. Artinya dalam satu cerita tertentu, tidak semua peristiwanya bisa dipilih dan disajikan kepada penonton. Peristiwa-peristiwa tersebut nantinya diolah sedemikian rupa sehingga memiliki keterhubungan satu sama lain. Dalam film fiksi, keterhubungannya berupa hubungan sebab dan akibat atau kausalitas. Sedangkan dalam film dokumenter, keterhubungannya tidak hanya kausalitas, tetapi bisa jadi menggunakan aspek lain seperti ruang, waktu, dan subjek. Plot inilah yang memandu penonton dalam mengikuti cerita di dalam film. Setelah olahannya lengkap, kemudian baru bisa dilanjutkan untuk dibuat skenarionya. Kedua , subjek dalam dokumenter bisa berupa manusia ataupun bukan manusia, seperti hewan, tumbuhan dan bahkan pemikiran. Banyak sekali film-film dokumenter yang mengetengahkan tentang manusia dan kehidupannya. Misalnya film Honeyland karya Tamara Kotevska dan Ljubo Stefanov. Film yang dirilis tahun 2019 ini bercerita tentang ibu tua yang berprofesi sebagai pencari madu. Ia tinggal di dataran tinggi Makedonia Utara. Sedangkan film dokumenter yang tidak membahas tentang manusia adalah The Fog of War karya Errol Morris yang dirilis tahun 2003. Film ini membahas tentang pemikiran Robert McNamara yang merupakan mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat dan dianggap sebagai arsitek Perang Vietnam. Pemikiran tersebut berupa sebelas strategi perang. Ketiga , konsep ruang yang merangkum ruang yang hanya terlihat di layar ( screen space ); ruang yang terasa di dalam plot (plot space); dan ruang cerita (story space) atau ruang besar tempat peristiwa itu berlangsung. Contoh konsep ruang ini adalah pada film Night and Fog (1956) karya Alain Resnais, di mana story space -nya terjadi di Polandia, lalu plot space -nya di wilayah kamp konsentrasi NAZI di kota Auschwitz dan kota Lublin. Sedangkan screen space -nya berupa ruang-ruang di dalam dan di luar kamp konsentrasi tersebut. Keempat , konsep waktu yang terdiri dari urutan, durasi dan frekuensi. Urutan waktu ( temporal order ) di dalam film dapat berwujud kronologis dan linear atau juga bisa berwujud non-linear dan tidak kronologis. Untuk durasi waktu ( temporal duration ), setidaknya ada tiga macam durasi di dalam film, yaitu screen duratio n atau masa putar suatu film; plot duration adalah akumulasi durasi dari peristiwa-peristiwa yang diperlihatkan dan diperdengarkan di dalam film; dan story duration atau rentang waktu peristiwa tersebut terjadi. Sedangkan frekuensi waktu ( temporal frequency ) sendiri di dalam film diartikan sebagai pengulangan waktu yang secara fisik bisa dilihat dan dirasakan oleh penonton. Contoh temporal frekuensi adalah di dalam film The Thin Blue Line karya Errol Morris. Pembuat filmnya mengulang berkali-kali peristiwa penembakan seorang polisi oleh seorang pemabuk. Kelima , struktur dramatik akan selalu ada di dalam sebuah cerita. Tangga dramatik dalam suatu film bisa datar atau turun-naik seperti roller coaster. Oleh karena itu struktur dramatik di dalam cerita film dokumenter sudah seharusnya menjadi salah satu yang diperhatikan. Karena hal ini pula yang menjadi pembeda dengan ketiga produk audio-visual lainnya. Struktur dramatik ini adalah aspek yang memungkinkan peristiwa-peristiwa di dalam sebuah film bisa dipindah-pindah seperti puzzle. Bagaimanapun, pembuat film tidak hanya ingin pesannya tersampaikan, tetapi juga menarik untuk ditonton. D. Analisis Bila dilihat persamaannya, baik film dokumenter, film dokumentasi, jurnalistik televisi dan videoblogging adalah pada dua aspek, yaitu alat perekamnya dan atribut objeknya atau peristiwa yang direkam. Peristiwa yang direkam harusnya faktual dan aktual sebagai atribut objeknya. Artinya objek atau peristiwanya harus nyata dan isunya masih diperbincangkan pada saat ini. Persamaan lainnya adalah alat untuk merekamnya, yaitu kamera. Baik itu kamera film atau kamera video analog pada masa lalu, maupun kamera video digital pada masa sekarang. Untuk perbedaannya, film dokumentasi atau video dokumentasi hanya sekadar merekam peristiwa atau objek yang faktual dan aktual dan tidak lebih. Tujuan penggunaannya hanya sebagai arsip pribadi atau kelompok. Video-blogging memang merekam objek atau peristiwa secara langsung, tetapi wujud dan temanya bisa sangat acak. Para vlogger sangat mungkin membuat karyanya dengan gaya dan isu yang sama pada setiap episodenya, tetapi bisa juga membuatnya dengan gaya dan isu yang berbeda-beda. Pada akhirnya, wujud video blogging ini sangat beragam dan saat diperhatikan ada yang berupa video tutorial, video podcasts, video liputan dan sebagainya. Artinya dalam video-blogging masih belum ada kaidah yang pasti dan beberapa di antaranya lebih mirip dengan jurnalistik televisi. Jurnalistik televisi pastinya sudah lebih jelas karena ada keterkaitan dengan ideologi yang berkaitan dengan publik. Inti dari jurnalistik televisi adalah liputan dan laporan peristiwa atau isu terkini kepada khalayak umum. Persamaannya dengan dokumenter ada dua, yaitu adanya ideologi dan penggunaan narasi. Pada penyajiannya, jurnalistik televisi dan tipe expository documentary memiliki kesamaan, yaitu menggunakan material rangkaian gambar bergerak atau diam yang dipadukan dengan narasi dalam wujud voiceover commentary. Sedangkan pada ideologinya mungkin tidak sama, tetapi film dokumenter pasti memiliki ideologi tertentu. Terutama saat memilih subjek dan isu yang ingin diangkat. Pada film dokumenter, cerita atau naratif adalah aspek yang membedakannya dengan ketiga produk audio visual lainnya. Kalau hanya story telling, maka jurnalistik televisi dan video blogging juga bisa melakukan klaim bahwa keduanya juga menggunakan. Sedangkan naratif memiliki konsekuensi lain, yaitu komponen dalam penceritaannya. Komponen-komponen tersebut adalah subjek, konsep ruang, konsep waktu, struktur dramatik, dan juga plot atau alur yang di dalamnya terdapat keterhubungan antar peristiwa, di mana penonton dapat dengan mudah mengikuti cerita filmnya. III. KESIMPULAN Hal-hal yang dapat disimpulkan dari tulisan ini sangatlah sederhana, karena hanya mengulas persamaan serta perbedaan wacana. Selama ini, hal-hal mendasar tentang definisi dan pengertian dari suatu subjek pengetahuan sangat jarang dibahas. Film dokumenter akan dibandingkan dengan tiga produk audio-visual lain, yaitu film dokumentasi, jurnalistik televisi, dan video blogging . Persamaan dari keempat produk audio-visual tersebut ada dua, yaitu penggunaan alat perekam (kamera) dan atribut objek atau peristiwa yang direkamnya (peristiwa yang faktual dan aktual). Perbedaannya adalah bahwa film dokumentasi atau video dokumentasi hanya sekadar merekam peristiwa atau objek yang faktual dan aktual. Video blogging juga merekam peristiwa secara langsung, tetapi bentuknya bisa sangat beragam, karena belum ada kaidah tetap dan pasti dalam keilmuannya. Oleh karena itu, wujudnya ada yang hanya berupa obrolan ( video podcasts ), ulasan, tutorial, atau bahkan liputan. Subjek yang menyampaikan bisa individu, kelompok atau juga organisasi tertentu, baik organisasi non-profit ataupun perusahaan. Jurnalistik televisi memiliki ideologi yang berkaitan dengan publik dan intinya adalah liputan dan laporan peristiwa atau isu terkini yang ditujukan untuk khalayak umum sebagai audiens. Memang ada persamaan lain dengan dokumenter selain persamaan di atas. Persamaan tersebut adalah adanya ideologi serta penggunaan narasi ( voice-over commentary ). Kesamaan ideologi yang dimaksud di sini adalah bahwa pada film dokumenter dan jurnalistik televisi mengusung ideologi tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Terutama saat memilih subjek dan isu yang ingin diangkat di dalam karya tersebut. Secara wujud, jurnalistik televisi memiliki kesamaan dengan tipe expository documentary . Kesamaan itu adalah penggunaan material rangkaian gambar bergerak atau diam yang dipadukan dengan narasi. Film dokumenter memiliki persyaratan tersendiri yang memberi batas yang tegas ketiga produk audio visual lainnya, yaitu cerita atau naratif. Jika hanya aspek story telling , maka video blogging atau berita di televisi bisa mengklaim juga menggunakannya. Aspek naratif dalam sebuah film, termasuk film dokumenter memiliki konsekuensi tersendiri, yaitu komponen-komponen dalam penceritaannya yang termasuk di dalamnya plot, struktur dramatik dan subjek. IV. DAFTAR PUSTAKA “Actual”. Merriam-Webster, (n.d.), https:/ www.merriam-webster.com/dictionary actual. Retrieved January 30, 2020. “Actual”. Oxford Learner’s Dictionary, (n.d), https://www.oxfordlearnersdictionaries com/ definition/english/actual?q=actual. Retrieved Januari 30, 2022. “Aktual”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (n.d.), https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri aktual. Retrieved Januari 30, 2022. Birley, Shane. The Vlogger’s Handbook: Love it! Live it! Vlog it! London (LDN): QEB Publishing, 2019. Buckland, Warren. Film Studies . London: Teach Yourself Publishers, 2015. Burns, Lynette Sheridan & Matthews, Benjamin J. Understanding Journalism . London (LDN): SAGE Publication, Ltd., 2018. “Documentation”. Oxford Learner’s Dictionary, 2022, https://www oxfordlearnersdictionaries com/definition/english documentation?q=documentation. Retrieved Januari 30, 2022. “Dokumentasi”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (n.d.), https://kbbi.kemdikbud.go.id entri/dokumentasi. Retrieved Januari 30, 2022. “Documentation”. Merriam-Webster, (n.d.), https://www.merriam-webster.com dictionary/documentation. Retrieved January 30, 2022. Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media . Yogyakarta (YO): Lkis, 2006. “Factual”. Merriam-Webster. (n.d.), https:/ www.merriam-webster.com/dictionary factual. Retrieved January 30, 2020. “Factual”. Oxford Learner’s Dictionary. (n.d.), https://www.oxfordlearnersdictionaries com/ definition/english factual?q=factual. Retrieved Januari 30, 2022. “Faktual”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (n.d.), https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri faktual. Retrieved Januari 30, 2022. Hermansyah, Kusen Dony. “Kesalahan Pemikiran tentang Riset dalam Pembuatan Film Dokumenter.” Imaji , ed.10, no. 2, 2018, pp. 93-102. “Journalism”. Encyclopaedia Britannica, 2020, https://www.britannica.com/topic journalism. Retrieved Januari 30, 2022. Katz, Ephraim & Nolen, Ronald Dean. The Film Encyclopedia: The Complete Guide to Film and the Film Industry . (7th Ed.). New York: Harper Collins Publishers, 2012. Lestari, Aghnia Dian. “Video Blogging (Vlogging) Sebagai Bentuk Presentasi Diri.” Jurnal Signal , vol. 7, no. 1, 2019, pp. 39-40. Monaco, James. How to Read a Film: Movies, Media, Multimedia. Oxford: Oxford University Press, Inc., 2000, pp. 261-283. Oakey, Virginia. Dictionary of Film and Television Terms . New York: Barnes & Noble, 1983. Rabiger, Michael & Hermann, Courtney. Directing the Documentary. Burlington, VT: Focal Press, 2020. Sharmaa, Anupam Kumar., Jaina, Rishabh., Kumara, Diwakar., Teckchandania., Anurag., Jain, Vaibhav. “Implementation of Reward-based Methodology in Web Blogging Environment”. Global Transitions Proceedings , vol. 2, no. 2, 2021, pp. 579-583. Singleton. Ralph. Filmmaker’s Dictionary. Los Angeles, CA: Lone Eagle Publishing Co., 1990. Stephenson, R., Sklar, Robert., Murphy, Arthur D., Manvell, Roger., and Andrew, Dudley. Encyclopedia Britannica (19 Nov. 2020). Available: https://www.britannica com/art/ motion-picture “Televisi”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (n.d.), https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri televisi. Retrieved Januari 30, 2022. “Television”. Merriam-Webster, (n.d.), https:/ www.merriam-webster.com/dictionary television . Retrieved January 30, 2020. “Television”. Oxford Learner’s Dictionary, (n.d.), https://www.oxfordlearners dictionaries com/definition/english television?q=television. Retrieved Januari 30, 2022. “Video”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (n.d.), https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri video. Retrieved Januari 30, 2022. “Video”. Merriam-Webster, (n.d.), https:/ www.merriam-webster.com/dictionary video. Retrieved January 30, 2020. “Video”. Oxford Learner’s Dictionary, (n.d.), https://www.oxfordlearnersdictionaries com/ definition/english video_1?q=video. Retrieved Januari 30, 2022, from https://www oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/video_1?q=video Vos. Tim P. Journalism . Berlin (BE): De Gruyter, 2018. ---- Footnote: 1. R. Stephenson, Robert Sklar, Arthur D. Murphy, Roger Manvell, and Dudley Andrew. Encyclopedia Britannica (2020): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://www.britannica.com/art/motion-picture. 2. KBBI. Kemdikbud.go.id (2016): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/dokumentasi 3. Merriam-Webster.com (2022): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://www.merriam- webster.com/dictionary/documentation 4. Oxfordlearnersdictionaries.com (Oxford University Press, 2022): online, Internet, 30 Jan. 2022 Available: https:// www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/ documentation?q=documentation 5. Journalism.Britannica.com (2020): online, Internet, 30 Jan. 2022. 2022. Available: https://www.britannica.com/topic/ journalism 6. KBBI. Kemdikbud.go.id (2016): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/televisi 7. Merriam-Webster.com (2022): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://www.merriam-webster.com/dictionary/television 8. Oxfordlearnersdictionaries.com (Oxford University Press, 2022): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://www.oxfordlearners dictionaries.com/definition/english/ television?q=television 9. KBBI. Kemdikbud.go.id (2016): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/video 10. Merriam-Webster.com (2022): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://www.merriam- webster.com/ dictionary/video 11. Oxfordlearnersdictionaries.com (Oxford University Press, 2022): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/ video_1?q=video 12. Anupam Kumar Sharmaa, Rishabh Jaina, Diwakar Kumara, Anurag Teckchandania, Vaibhav Jain. Implementation of Reward-based Methodology in Web Blogging Environment (2021): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: http://www.cac. psu.edu/jbe/twocont.html. 13. KBBI. Kemdikbud.go.id (2016): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://kbbi.kemdikbud.go.id/ entri/faktual 14. Oxfordlearnersdictionaries.com (Oxford University Press, 2022): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/ english/factual?q=factual 15. Merriam-Webster.com (2022): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://www.merriam-webster.com/dictionary/factual 16. Oxfordlearnersdictionaries.com (Oxford University Press, 2022): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/ actual?q=actual 17. Merriam-Webster.com (2022): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://www.merriam-webster.com/dictionary/actual 18. KBBI.Kemdikbud.go.id (2016): online, Internet, 30 Jan. 2022. Available: https://kbbi.kemdikbud.go.id/ entri/aktual Catatan : Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Imaji Volume 13 Nomor 1 pada halaman 57-68. Diterbitkan pada bulan Maret 2022 oleh Fakultas Film dan Televisi – Insitut Kesenian Jakarta. ISSN 1907-3097 https://imaji.ikj.ac.id/index.php/IMAJI/issue/view/10

TERMINOLOGI DASAR: EDITING FILM

TERMINOLOGI DASAR: EDITING FILM

Mendengar kata editing, sesuatu yang terlintas dalam pikiran adalah memotong dan menyambung gambar. Pemikiran ini memang tidak salah, tetapi tidak seratus persen benar. Ternyata, profesi seorang editor tidaklah mudah seperti yang dibayangkan, memotong dan menyambung gambar. Ada banyak tahap yang harus dilalui untuk bisa membantu sutradara dan produser menghasilkan film terbaik menurut versi mereka. Sebelum jauh membahas editing, maka perlu dipahami terlebih dahulu definisi dari editing itu sendiri. Dalam beberapa kamus film dan buku teks film terdapat pendapat atau pemahaman yang kurang lebih sama tentang editing film. Bagaimanapun, definisi editing sendiri memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada akademisi dan teoritisi yang mendefinisikannya dengan sederhana. Tetapi ada pula yang mendefinisikan dengan paparan yang cukup panjang. Pendapat pertama dapat dilihat seperti yang dikemukakan oleh David Bordwell, Kristin Thompson dan Jeff Smith dalam buku mereka yang berjudul Film Art: An Introduction . Menurut mereka editing terbagi menjadi dua definisi. Dalam pembuatan film, editing adalah tindakan dalam memilih dan menggabungkan shot-shot yang diambil dengan kamera. Sedangkan pada film yang sudah selesai dibuat, editing adalah seperangkat teknik yang mengatur hubungan antar shot.[1] Sedangkan Brewer's Cinema: A Phrase and Fable Dictionary menyebutkan bahwa editing adalah penyusunan potongan-potongan shot yang terpisah dan terkadang disebut dengan cutting .[2] William H. Phillips menyatakan bahwa editing adalah tindakan untuk memilih dan mengatur sequence yang diproses dari materi shot (film atau kaset video).{3} Pendapat lain adalah dari Ralph Singleton yang menyatakan bahwa editing merupakan proses memilih, menyusun, dan menyusun gambar dan suara sehingga menjadi alur cerita yang logis dan memiliki irama.[4] Sedangkan Virginia Oakey mencoba memisahkan kata edit dan editing. Menurutnya edit adalah tindakan untuk mengkorelasikan, menyusun, menyinkronkan, memangkas, atau memotong film. Tindakan ini juga termasuk menyatukan gambar dan suara agar tercapai porsi dan proporsi yang tepat. Sedangkan editing adalah proses kreatif dalam mengkorelasikan, menata ulang, menyinkronkan dan memotong film, baik audio maupun visual, untuk menghasilkan versi final yang diinginkan.[5] Christopher Bowen sangat menarik pendapatnya tentang definisi editing, di mana ia mencoba untuk mengurainya dari penggunaan katanya. Sebagai kata kerja transitif, "mengedit" dapat berarti meninjau, memperbaiki, memodifikasi, membuang, dan/atau menyusun shot-shot menjadi wujud baru yang dapat diterima oleh penonton. Terminologi ini pertama kali digunakan secara luas pada bidang penulisan. Kemudian diserap oleh film dan diterapkan pada gambar bergerak serta kreasi suara.[6] Untuk pembuat film, istilah "editing" adalah kata benda. Definisinya adalah tindakan penyusunan gambar dan suara ( shot ) sebagai individual clip yang kemudian dijadikan sebuah cerita yang koheren. Oleh karena itu, editor adalah orang yang menyusun sekumpulan materi gambar dan suara. Dimulai dari menonton materi tersebut, menyusun, memotong, menyambung, menyempurnakan, memodifikasi komponen-komponen gambar dan suara sehingga menjadi bentuk atau cerita baru yang dapat diterima oleh penonton.[7] Richard Barsam dan mendefinisikan editing sebagai kekuatan kreatif dasar sinema, yaitu proses menggabungkan dan mengkoordinasikan shot-sho t menjadi keseluruhan film.[8] Sedangkan Annette Kuhn dan Guy Westwell memaparkan bahwa editing adalah penyusunan shot-shot yang terpisah, terkadang disebut cutting .[9] Kuhn dan Westwell juga menambahkan bahwa pemahaman editing tidak hanya milik seorang editor. Karena editing merupakan proses yang kompleks dalam pengambilan keputusan selama praproduksi yang berkaitan dengan setups , shooting , dan scene yang akan diambil nantinya. Didefinisikan begitu, karena editing tidak hanya melibatkan editor film tetapi juga orkestrasi yang cermat pengarahan sutradara, akting pemain, gambar yang diambil sinematografer, suara yang direkam sound recordist serta dekorasi dan special effect yang ditata oleh penata artistik.[10] Beberapa pendapat di bawah ini menggunakan profesi editor untuk menunjukan definisi kata editing. Frank Eugene Beaver berpendapat bahwa editor merupakan individu yang bertanggung jawab atas konstruksi estetika film pada tahap pascaproduksi. Dalam pembuatan film, editor yang akan menentukan gaya cutting , transisi, dan pengembangan naratif (penceritaan). Penyusunan ulang adegan secara cerdas akan membantu penciptaan efek dramatik dan peningkatan ritme. Selain itu juga membuang materi yang tidak digunakan. Sutradara dan produser bekerja sama dengan editor dalam membuat keputusan editing ini. Terutama saat tahapan roughcut ( first assembly ) dan final cut .[11] Ralph Singleton menambahkan bahwa dalam tahapan editing, rough cut merupakan first assembly yang dari footage yang dipilih. Fine cut adalah rough cut yang dikerjakan dalam versi lebih rumit. Sedangkan final cut adalah versi yang nantinya akan disesuaikan dengan hasil akhirnya. Namun, perlu dicatat bahwa proses editing berkembang dan bukan suatu tahapan yang kaku.[12] Sedangkan menurut Maria T. Pramaggiore dan Tom Wallis, editor adalah orang yang bertanggung jawab untuk menyusun sebuah film dari kumpulan footage yang kemudian dikembangkan; dan mengambil penggunaan pacing , transisi pengambilan shot , serta memutuskan shot atau scene mana yang akan digunakan.[13] Lebih detail lagi ditambahkan oleh William H. Phillips bahwa seorang editor terkadang bekerja sama dengan sutradara untuk menentukan shot paling efektif yang akan digunakan, ukuran durasi shot -nya, dan transisi antara shot -nya.[14] Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat dipahami bahwa editing adalah suatu koordinasi antara shot satu dengan shot lain yang terpisah. Koordinasi yang dilakukan dilakukan editor pada tahapan editing adalah dengan cara menonton footage (materi); membuang shot-shot yang tidak digunakan; melakukan assembly atau pengurutan shot ; membuat rough cut ; membuat fine cut ; hingga menjadi final cut . Selama proses editing berlangsung, editor terkadang akan mempresentasikan pekerjaannya dalam setiap tahap kepada sutradara. Hal inilah yang membuat film yang dibuat akan semakin sempurna. Diskusi yang terjadi antara sutradara dan editor serta produser sangatlah penting, demi hasil yang diinginkan. Menurut penulis, ada satu hal lagi yang penting dalam editing. Sebelum melakukan koordinasi terhadap materi shot -nya, editor harus mempertimbangkan banyak hal. Pertimbangan tersebut sangat berkaitan dengan ilmu lain di dalam film, yaitu penulisan skenario, mise-en-escѐne , sinematografi, suara, penyutradaraan dan lain sebagainya. Selain itu juga perlu dipahami bahwa editing tidak hanya berkaitan dengan editor. Pemikiran tentang editing film sudah harus ada sejak praproduksi. Oleh karena itu setiap pimpinan divisi yang akan bekerja di lapang harus memiliki editorial thinking . Baik seorang penulis skenario, sutradara, sinematografer, penata artistik, sound recordist dan yang lainnya. Karena hal tersebut sangat berpengaruh pada kualitas shot ( footage ) yang akan dihasilkan nantinya. Bila coba disimpulkan, maka menurut penulis definisi editing adalah koordinasi secara kreatif antara shot satu dengan shot lain yang sesuai dengan skenario, konsep cerita atau ide film yang sedang dibuat dengan mempertimbangkan mise-en-escѐne , sinematografi dan suara. Secara sederhana koordinasi yang dimaksud adalah menyeleksi materi shot, memotong, menyambung, dan menyusun sehingga menjadi film yang diinginkan pembuatnya. Endnote: [1] David Bordwell, Kristin Thompson dan Jeff Smith, Film Art : an Introduction , Edisi Keduabelas (Chicago:MacGraw-Hill. 2019). hal. G-2. [2] Johnathan Law (Ed.), Brewer's Cinema: A Phrase and Fable Dictionary. (London: Cassell. 1995), hal. 136. [3] Williams H. Phillips, Film: An Introduction , Edisi Keempat (New York: Bedford/St. Martin's. 2009). hal.673. [4] Ralph Singleton, Filmmaker’s Dictionary (Los Angeles : Lone Eagle Publishing Co. 1990), hal. 102 [5] Virginia Oakey, Dictionary of Film and Television Terms , (New York: Barnes & Noble. 1983), hal. 62. [6] Christopher Bowen, Grammar of the Edit , Edisi Keempat (New York: Routledge. 2017). hal. 20. [7] Ibid . [8] Richard Barsam dan Dave Monahan, Looking at Movies: An Introduction to Film, Edisi Ketiga (New York: W.W. Norton & Co. 2010), hal. 496. [9] Annette Kuhn dan Guy Westwell, A Dictionary of Film Studies (Oxford University Press. 2012). hal 136-137. [10] Ibid . [11] Frank Eugene Beaver, Dictionary of Film Terms: The Aesthetic Companion to Film Analysis (New York: Twayne’s Publisher. 1994). hal.132. [12] Ralph Singleton, Filmmaker’s Dictionary (Los Angeles : Lone Eagle Publishing Co. 1990), hal. 102 [13] Maria T. Pramaggiore dan Tom Wallis, Film: A Critical Introduction , Edisi Kedua (London: Pearson. 2007), hal. 433. [14] Williams H. Phillips, Film: An Introduction , Edisi Keempat (New York: Bedford/St. Martin's. 2009). hal.673.

TERMINOLOGI DASAR: SEQUENCE

TERMINOLOGI DASAR: SEQUENCE

Mendefinisikan SEQUENCE bukanlah perkara mudah. Antara tiga peristilahan dasar yaitu shot, scene dan sequence , bisa jadi terminologi yang terakhir yang cukup sulit menemukan kesepakatannya. Menurut William H. Phillips kata sequence sering didefinisikan secara berbeda oleh pembuat film, kritikus dan cendekiawan film. [1] Beberapa teoritisi mendefinisikannya terlalu sederhana sehingga seringkali sedikit sulit untuk dipahami ketika dihadapkan pada sebuah scene yang berdurasi panjang. Seperti yang diungkapkan oleh Richard Barsam dan Dave Monahan, di mana menurut mereka sequence adalah urutan dari serangkaian shot yang diedit dan ditandai oleh kesatuan yang melekat antara tema dan tujuannya. [2] Bisa juga dilihat definisi yang dipaparkan oleh Ralph Singelton. Menurutnya sequence adalah serangkaian shot dengan kesinambungan lokasi, aksi, waktu atau cerita dan biasanya memiliki bagian awal, tengah dan akhir. [3] Menurut Frank Eugene Beaver, sequence adalah suatu unit film yang terdiri dari sejumlah scene dan saling berkaitan serta secara bersamaan membentuk segmentasi yang integral dari cerita film. Contohnya adalah adegan terkait opera dalam film Citizen Kane (1941) karya Orson Welles. Sequence tersebut terbentuk dari adegan–degan latihan, pertunjukan, dan review beberapa adegan. [4] Sedangkan David Bordwel, Kristin Thompson dan Jeff Smith mengartikan sequence sebagai istilah yang biasa digunakan untuk segmen film yang cukup besar dan melibatkan satu rangkaian aksi lengkap. [5] Christopher J. Bowen memaknai sequence sebagai sejumlah shot yang digabungkan bersama untuk menggambarkan aksi atau peristiwa tertentu. Terkadang disamakan dengan scene , tetapi mungkin lebih menyerupai scene yang durasinya lebih panjang dan memiliki beberapa hal-hal yang menjadi kunci di dalamnya. [6] William H. Phillips menambahkan bahwa secara garis besar perbandingan beberapa sequence yang ada di dalam film akan memiliki sub tema dan pandangan yang berbeda. Pembuat film harus dapat melihat bahwa sequence sebagai sekelompok scene yang terkait dengan aspek naratif. Walaupun hal-hal yang menyatukan scene-scene tersebut tidak disepakati secara universal. [7] Menurut Annette Kuhn dan Guy Westwell, sequence merupakan serangkaian shot dan scene yang terkait dalam sebuah film. Analoginya adalah bab dalam sebuah buku. Sequence juga merupakan fase aksi yang signifikan atau sesuatu yang berjalan di dalam plot. Penonton menyadari (secara intuitif) bahwa sequence baru telah dimulai ketika suatu film memperlihatkan pergeseran waktu, ruang, atau aksi. Transisi antara sequence film kadang-kadang ditandai oleh perangkat teknik sinematik seperti fade , dissolve , wipe, cut to black dan lain sebagainya. [8] Dalam The Film Encyclopedia, Ephraim Katz dan Ronald Dean Nolen mendefinisikan sequence sebagai sejumlah adegan yang dihubungkan bersama oleh waktu, setting , atau kesinambungan cerita untuk membentuk satu episode yang menyatu dalam sebuah film. Hal ini sering disamakan dengan bab dalam sebuah buku, sehingga scene menjadi setara dengan sebuah paragraf dan shot setara dengan sebuah kalimat. Secara tradisional, urutan dimulai dengan fade-in dan diakhiri dengan fade-out atau perangkat transisi optik lainnya. Walaupun dalam sebuah film tidak selalu seperti itu atau tidak selalu menggunakan transisi optik. [9] Sebagai penjelasannya, yang dimaksud dengan episode oleh Ephraim Katz dan Ronald Dean Nolen adalah bagian peristiwa yang seakan-akan berdiri sendiri. Bagian terakhir adalah definisi dari Susan Hayward yang menyatakan bahwa sequence biasanya terdiri dari beberapa scene dan berkaitan dengan unit-unit logis yang sama dari makna yang akan disampaikan. Dengan alasan ini, panjang durasi sequence adalah setara dengan kesinambungan visual dan/atau naratif dari sebuah episode dalam film. Oleh karena itu, sequence dapat disamakan dengan bab dalam novel. Hal ini berguna ketika seseorang menonton film, sehingga bisa merasakan struktur formal film tertentu serta hubungan antar peristiwanya. Oleh karena itu, film (secara naluriah) dikonstruksi di sekitar rumus pengulangan, konflik dan variasi. Rata-rata sebuah film mainstream atau Hollywood memiliki 23-24 sequence . Siedangkan film-film Eropa cenderung ke arah angka yang lebih rendah, yaitu 11-18 sequence . [10]
[1] Williams H. Phillips, Film: An Introduction , Edisi Keempat (New York: Bedford/St. Martin's. 2009). hal. 120.
[2] Richard Barsam dan Dave Monahan, Looking at Movies: An Introduction to Film, Edisi Ketiga (New York: W.W. Norton & Co. 2010), hal. 557.
[3] Ralph Singleton, Filmmaker’s Dictionary (Los Angeles : Lone Eagle Publishing Co. 1990), hal. 150.
[4] Frank Eugene Beaver, Dictionary of Film Terms: The Aesthetic Companion to Film Analysis (New York: Twayne’s Publisher. 1994). hal. 305.
[5] David Bordwell, Kristin Thompson dan Jeff Smith , Film Art : an Introduction , Edisi Kesebelas (Chicago: MacGraw-Hill. 2017). hal. G-5.
[6] Christopher Bowen, Grammar of the Edit , Edisi Keempat (New York: Routledge. 2017). hal. 348.
[7] Williams H. Phillips, Op.Cit .
[8] Annette Kuhn dan Guy Westwell, A Dictionary of Film Studies (Oxford University Press. 2012). hal 591.
[9] Ephraim Katz dan Ronald Dean Nolen, The Film Encyclopedia 7th Edition: The Complete Guide to Film and the Film Industry , Edisi Ketujuh (New York: Collins Reference. 2012). hal. 1321.
[10] Susan Hayward, Cinema Studies: The Key Concepts, Edisi Ketua (London: Routledge. 2000) hal. 324.

TERMINOLOGI DASAR: FILM

TERMINOLOGI DASAR: FILM

Hampir setiap orang di dunia ini pastinya mengenal film. Setiap harinya sudah hampir dipastikan ada saja film yang diproduksi. Akan tetapi secara definisi ternyata menjadi tidak mudah karena ada beberapa istilah yang serupa. Terminologi film sendiri setidaknya merujuk pada dua hal. Pertama , bahan tipis yang dapat digulung dan memiliki lubang perforasi yang sering disebut film seluoid. Kedua , hasil perekaman menggunakan film seluloid yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Selain itu ada terminologi lain yang merujuk pada pengertian serupa dengan film yaitu cinema (sinema) dan movie . Oleh karena itu, setidaknya perlu dijelaskan posisi terminologi-terminologi di atas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan dalam bioskop). Selain itu juga dianggap sebagai lakon dari cerita gambar hidup. [1] Bila mencoba melihat buku Filmmaker’s Dictionary yang disusun oleh Ralph Singleton, setidaknya ada lima pengertian yang merujuk pada kata film. Pertama , bahan transparan yang fleksibel, memiliki lubang dan dapat digulung. Berbahan daar selulosa triasetat dan besi oksida yang dilapisi emulsi peka cahaya. Kedua , bahan untuk merekam gambar yang bergerak. Ketiga , gambar bergerak. Keempat , secara umum berhubungan dengan bioskop. Kelima , bahan untuk membuat gambar bergerak. [2] Sedangkan Virginia Oakey tidak jauh berbeda, yaitu bahan baku selaput tipis berbasis emulsi yang dilapisi asetat. Pada bagian tepi terdapat lubang perforasi. Digunakan untuk membuat imaji fotografi ketika terkena cahaya di kamera. Strip film juga digunakan ketika diproyeksikan melalui proyektor. Makna lain dari film adalah kata lain dari movie atau gambar bergerak. [3] Dalam Brewer's Cinema: A Phrase and Fable Dictionary , dijelaskan bahwa film adalah selapis selulosa yang berlapis emulsi peka cahaya. Misalnya seperti yang digunakan dalam fotografi diam dan fotografi yang bergerak. Istilah ini di Inggris juga biasa digunakan untuk merujuk pada gambar bergerak. Sedangkan kata movie lebih umum digunakan di AmerikaSerikat. [4] Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa film memiliki dua pengertian. Pertama , film adalah bahan baku seluloid yang wujudnya berupa selaput tipis dan berfungsi sebagai ruang penyimpananan hasil perekaman gambar. Kedua , film merupakan sebuah pertunjukan dalam wujud gambar yang bergerak atau gambar hidup. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa film juga memiliki nama lain yaitu sinema dan movie . Pembedaan peristilahan di atas secara tajam dilakukan oleh James Monaco dalam buku How to Read a Film yang diterjemahkan oleh Asrul Sani dengan judul Cara Menghayati Sebuah Film . Monaco memisahkan ketiga kata tersebut dengan konteksnya masing-masing. Istilah movie lebih mengarah pada aspek ekonomi. [5] Beliau menjelaskan bahwa awal pemutaran cinématographe oleh Lumière Bersaudara di Paris, sudah ada aspek ekonomi. Masyarakat yang ingin menonton pertunjukan tersebut harus membayar 1 Franc Perancis. Negara Perancis sendiri juga memunculkan pengusaha bernama Charles Pathé. Setelah melihat pertunjukan yang dilakukan oleh Georges Méliès, Pathé merasa bahwa tontonan tersebut dapat diproduksi lebih banyak. Menggandeng seniman dari Amerika Serikat bernama Ferdinand Zecca, Charles Pathé melatih banyak orang untuk menjadi kamerawan, pemain, sutradara, dan set dekorator. Charles Pathe banyak mendistribusikan film-filmnya ke Amerika Serikat dan Eropa. Produknya memunculkan wabah nickleodeon di Amerika Serikat. Nickleodeon sendiri adalah tempat petunjukan seperti bioskop yang sangat sederhana. Dikelola oleh imigran Yahudi dari Eropa Barat. Mereka membuat tempat hiburan tersebut untuk para imigran yang menjadi pekerja kelas bawah, terutama para imigran dari Eropa Timur. Oleh karena itu, Charles Pathé dianggap sebagai peletak dasar industri film. Istilah sinema ( cinema ) merujuk pada aspek estetika karya-karya dari para pembuat film. [6] Teknologi film yang berkembang, terus-menerus melahirkan eksperimentasi. Hampir bersamaan dengan Lumière Bersaudara, para fotografer di wilayah Brighton, Inggris membuat banyak film. Kumpulan mereka sering disebut dengan Brighton School . Walaupun teknologinya masih sederhana namun pencapaian teknis mereka banyak yang masih digunakan hingga sekarang. Pertengahan dekade 1910-an, para seniman di Eropa seperti di Perancis, Jerman, Italia dan negara-negara Skandinavia juga banyak melakukan eksperimen. Misalnya saja di Perancis, perusahaan Gaumont sudah mengadaptasi novel ( Film D’art ). Sineas di Swedia mengangkat keindahan alam di negaranya. Sineas Denmark menceritakan alam Afrika yang dibuat di studio dalam film-film mereka. Para seniman seni rupa di beberapa negara Eropa Barat bahkan ada yang menggunakan sinema sebagai pengganti media kanvas. Sebut saja Hans Richter dan Walter Ruttman dari Jerman; Luis Bunuel dan Salvador Dali dari Spanyol; serta Louis Delluc, Abel Gance, Germaine Dulac, Marcel L'Herbier dan Jean Epstein dari Perancis. Mereka akhirnya melahirkan gerakan dalam perfilman seperti film impresionisme, ekspresionisme, film dada, film surealisme, sinema murni ( pure cinema ), film abstrak dan sebagainya. Istilah yang ketiga adalah film, yang merujuk pada aspek politik. James Monaco memandang bahwa, pemilihan pendekatan realisme oleh seorang sutradara, umumnya bertujuan untuk mengurangi jarak antara subjek di dalam film dengan penontonnya. Sutradara juga bisa menggunakan pendekatan ekspresionisme untuk mengarahkan penonton agar tercapai perubahan pemikiran. Keputusan estetis tersebut pada dasarnya bersifat politis. Sangat kentara bahwa rujukannya adalah keterhubungan antara sutradara, subjek film, media film dan penontonnya. [7] James Monaco menambahkan bahwa setiap film yang dipertontonkan mengandung setidaknya satu dari tiga hal. Pertama , tingkat ontologis yaitu kandungan nilai dalam film yang cenderung membongkar nilai-nilai tradisional kebudayaan. Kedua , tingkat mimetis yaitu bahwa film merupakan cerminan realitas atau bisa juga melahirkan kembali realitas. Ketiga , tingkat inheren yaitu sifat komunikatif film yang sangat padat memberikan suatu dimensi politik yang wajar pada hubungan antara film dan penontonnya. Walaupun sedikit berbeda, para sutradara New Wave dari Perancis memiliki pendapat yang justru menguatkan pendapat James Monaco tersebut. Sutradara bernama Jean Luc Godard pernah menyatakan bahwa setiap seni film yang diproduksi merupakan hasil dari struktur masyarakat di mana senimannya hidup dan seorang seniman harus terlibat dalam masalah-masalah sosial-politik bukan dalam artian tradisional. Perbedaan pandangannya adalah bahwa menurut mereka seni hanya memiliki satu fungsi yaitu untuk menghibur manusia. Keberadaan seniman adalah untuk mengatur fungsi seni tersebut. Terutama pada masa sekarang, di mana anggota masyarakat yang memiliki waktu senggang bertambah banyak. [8]
[1] Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 414.

[2] Ralph Singleton, Filmmaker’s Dictionary (Los Angeles : Lone Eagle Publishing Co. 1990), hal. 70.

[3] Virginia Oakey, Dictionary of Film and Television Terms , (New York: Barnes & Noble. 1983), hal. 116.

[4] Jonathan Law (Ed.), Brewer's Cinema: A Phrase and Fable Dictionary (London: Cassell 1995), hal. 197.

[5] James Monaco, Penerjemah Asrul Sani, Cara Menghayati Sebuah Film (Jakarta: Yayasan Citra 1984), hal. 238.

[6] Ibid ., hal. 258.

[7] Ibid . hal. 261.

[8] David Albert Peransi, Film/Media/Seni (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005), hal.119-120.

ELEGY

ELEGY

Don't sing today Except elegy .... Jakarta - July, 4th. 2011

PARK BENCH

PARK BENCH

A student tired after demo
Resting for a moment while waiting for a glass of coffee
Was sound asleep when a hot beverage brewing
Dream of victory over the ruling class
Campus flag cover his face
His Snoring spit twilight with sunset accompanied
Park bench remained silent
Enjoy the melodious strains of the human snoring
Soundly in dusk crib

Pasar Minggu – Jakarta, Indoensia
March, 11th – 15th. 2004

AT CHANGI AIRPORT

AT CHANGI AIRPORT

This world is getting annoying
Changi's floor like catwalk
All uphold the head

The women primped
The men who dressed up
And The soldiers who walked slowly

Changi Airport – Singapore
 February, 10th. 2007

LONG HOUSE

LONG HOUSE

The house was too long for me
But why did I fall asleep in it
Like bees to find their nest
I’m enamored of its mystical

Baligundi, Putussibau – West Kalimantan, Indonesia
September, 30th. 2007

PADLOCKS ON THE IRON-WIRE FENCE

PADLOCKS ON THE IRON-WIRE FENCE

Is it sign ?
Or it’s only iron and steel
Without any meaning
And then, who’s going to believe ?

Is it love ?
Or it’s only padlocks without keys
Which sticking tight to iron-wire fence
And then, who’s begin this ?

Is it strengthened tie ?
Or it’s only twisting tight on the iron-wire fence
That always waiting for someone who open it
And then, who’s going to end this ?

Is it noble bond ?
Or it’s only displayed padlocks
Which letting rusty as time goes by
And then,who’s going to care of this ?

Is it eternity ?
Or it’s only mere fleetingness
Which is going to sweep by wind and rain
And then, who’s going to wait it ?

N Tower, Seoul – Republic Of Korea 
June, 24th. 2008

bottom of page